Dari Budi Utomo sampai Pagebluk
Para dokter menjadi garda terdepan penanganan pandemi Covid-19. Dulu, kepedulian mereka pada nasib rakyat melahirkan gerakan yang menumbuhkan kesadaran sosial hingga terbentuklah Indonesia.
Kiprah tenaga kesehatan, terutama para dokter, tercatat dalam sejarah perjalanan Indonesia. Kepedulian mereka pada nasib rakyat melahirkan gerakan untuk menumbuhkan kesadaran sosial hingga terbentuklah negeri ini. Kini, mereka menjadi garda terdepan menghadapi pandemi Covid-19.
Sejarah perjalanan negeri ini tak pernah bisa dilepaskan dari peran dokter dan hal itu makin terlihat dalam pandemi Covid-19. Selain menjadi ujung tombak kesehatan masyarakat, sejarah mencatat peran para dokter dalam melahirkan kesadaran sosial berbangsa hingga terbentuknya Republik Indonesia.
Semangat mengabdi pada kemanusiaan itu ditunjukkan, antara lain, oleh Tri Maharani (48), biasa dipanggil Maha, dokter spesial emergensi dari Kediri, Jawa Timur. Setelah tertular Covid-19 dari pasien yang dirawatnya, Maha menginisiasi gerakan sosial untuk mendukung pasien Covid-19.
Sebagian besar gajinya sebagai pegawai negeri digunakan untuk membeli makanan, buah, vitamin, hingga boneka bagi pasien Covid-19. ”Saya ingin memberi dukungan kepada penyintas. Saya mengalami sendiri, dukungan dari orang lain saat menjalani perawatan amat penting, apalagi pasien Covid-19 sering mengalami stigma,” kata Maha, yang juga ahli penanganan gigitan ular.
Setelah tertular Covid-19 dari pasien yang dirawatnya, Maha menginisiasi gerakan sosial untuk mendukung pasien Covid-19.
Inisiatif Maha menggerakkan tindakan serupa oleh sejawatnya di Aceh dan Yogyakarta. Bersama sukarelawan Laporcovid19.org, Maha memprakarsai jaringan penyintas yang memperjuangkan gerakan antistigma Covid-19.
Upaya menyumbangkan gaji dan menjadi sukarelawan tak hanya saat pandemi ini. Sebelumnya, Maha yang menjadi dokter selama 23 tahun mendedikasikan 90 persen gajinya untuk membeli serum anti bisa ular dan disumbangkan ke berbagai rumah sakit di Indonesia.
Maha juga menjadi sukarelawan medis dalam tiap kejadian bencana alam, seperti letusan Merapi tahun 2010 hingga gempa Ambon 2019. Terakhir, ia menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Sulianti Saroso sebagai rujukan pasien Covid-19.
”Ayah saya menjadi dokter tentara. Almarhum pernah ikut berperang bersama Bung Tomo dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945. Ibu perawat. Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi dokter adalah panggilan dan pengabdian,” ujar Maha.
Baca juga : Mengapa Banyak Dokter Gugur di Masa Covid-19?
Di tengah karut-marut penanganan wabah, termasuk keterlambatan pemberian insentif, kita bisa melihat perjuangan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Sugih Wibowo, dokter Puskesmas Camba di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, misalnya, sendirian merawat ratusan pasien Covid-19 di tempat isolasi hingga hampir dua bulan.
Sebagai satu-satunya dokter di fasilitas isolasi, Sugih harus berjaga 24 jam. Sugih yang pernah lama bertugas di Papua memiliki pengalaman sebagai sukarelawan medis dalam bencana gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Banyak kisah heroik lain para dokter selama pandemi, bahkan sebagian telah gugur. Menurut catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hingga Jumat (14/8/2020), dokter yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 78 orang. Indonesia termasuk negara dengan angka kematian dokter akibat Covid-19 tertinggi di dunia.
Pergerakan nasional
Kisah para dokter menghadapi pandemi Covid-19 mengingatkan pada perjuangan para pendahulu mereka dalam mendirikan bangsa ini. Sejarah mencatat, peran sosial politik para dokter dimulai dengan kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Dokter Sutomo dan beberapa mahasiswa kedokteran lain di Batavia Medical College (STOVIA), bersama dengan dokter senior Wahidin Sudirohusodo, menjadi tokoh utama kelahiran organisasi modern pertama yang menumbuhkan bibit kesadaran nasional Indonesia. Seperti disebutkan Ki Hadjar Dewantara dalam buku 20 Mei Pelopor 17 Agustus (1950), Budi Utomo merupakan cikal bakal kelahiran gerakan revolusioner kebangsaan. Tanggal berdirinya pun ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Kelahiran Budi Utomo menandai peran penting dokter dalam gerakan nasionalis Indonesia. Seperti ditulis sejarawan Universitas Sydney, Australia, Hans Pols, dalam buku Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia (2018), sejak awal para dokter di Indonesia terlibat dalam asosiasi dan partai politik. Mereka juga menjadi penulis dan aktivis.
Selain Sutomo, kita mengenal dokter Cipto Mangunkusumo, salah satu pendiri Indische Partij pada 1912, organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh kolonial Belanda. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara, mereka dikenal sebagai ”Tiga Serangkai” yang menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri.
Ada juga dokter Radjiman Wedyodiningrat, yang aktif di Budi Utomo dan pada 1945 terpilih memimpin Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara, yang lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional, juga mengambil studi di STOVIA, tetapi tak sampai tamat karena sakit. Tokoh lain yang sempat mengenyam pendidikan dokter di STOVIA meski tidak selesai adalah jurnalis Tirto Adi Suryo dan M Roem, mantan Menteri Luar Negeri.
Mengatasi wabah
Meski aktif berpolitik, para dokter ini umumnya tak meninggalkan peran sebagai tenaga medis, khususnya mengatasi wabah yang menjadi tujuan awal didirikannya pendidikan kedokteran di Hindia Belanda. Sebelum menjadi STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi) pada 1898, institusi itu bernama Sekolah Dokter Jawa, yang lulusannya bergelar ”Dokter Djawa”, tetapi sebagian besar pekerjaannya sebagai mantri cacar yang mewabah kala itu.
Berbeda dengan di India yang banyak kaum intelektual awalnya berlatar belakang bidang hukum, di Indonesia, sekolah kedokteran termasuk paling awal didirikan sehingga banyak tokoh pejuang masa lalu berlatar belakang dokter. ”Hal ini disebabkan saat itu, Hindia Belanda berulang kali didera wabah mematikan,” ujar Rusdhy Hosein (75), dokter yang juga sejawaran dan pendiri Perkumpulan Sejarah Kedokteran Indonesia.
Baca juga : Kebangkitan Pascakorona
Dokter Radjiman, misalnya, sejak 1934 memilih tinggal di Desa Dirgo, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dan mengabdi sebagai dokter ahli penyakit pes. Ia meniru jejak pamannya, Wahidin Sudirohusodo, yang juga menangani wabah pes di Malang.
Dalam biografi Wahidin Sudirohusodo terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1978 dikisahkan, setelah lulus dari sekolah dokter, Wahidin ditugaskan pemerintah kolonial Belanda menanggulangi wabah cacar di berbagai pelosok Pulau Jawa.
Wahidin mulai berkeliling Jawa pada 1906 dan rela tak dibayar rakyat miskin. Pengalaman berpraktik di daerah ini melahirkan kepeduliannya pada nasib bangsa. Ia pun menggalang dana untuk biaya pendidikan rakyat hingga turut menginisiasi kelahiran Budi Utomo.
Pengabdian pada profesi dan keberpihakan kepada masyarakat juga ditunjukkan dokter Cipto yang pernah menjadi ujung tombak penanganan penyakit pes yang mewabah di Malang dan menewaskan jutaan jiwa penduduk Hindia Belanda dalam kurun waktu 1911-1934.
Wahidin mulai berkeliling Jawa pada 1906 dan rela tak dibayar rakyat miskin.
Seperti ditulis Hans Pols, pada 1912, Cipto mengajukan diri pindah ke Malang untuk membantu menangani wabah. Sebelumnya, ia merupakan dokter yang berpraktik pribadi di Solo.
Kedatangan Cipto ke pusat wabah di Malang memberi harapan bagi penduduk yang sebelumnya tak tertangani karena para dokter Belanda enggan turun ke lapangan. Selain karena hanya mau membantu sesama orang Eropa, mereka tak ingin tertular dari pasien yang kebanyakan petani miskin.
Cipto kemudian meraih penghargaan bintang Order of Orange Nassau dari Kerajaan Belanda atas kontribusinya menangani wabah. Namun, ia menolaknya karena ingin mempertahankan sikap kritis dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
”Cipto, Wahidin, dan banyak lagi dokter, yang aktif dalam perjuangan serta berjiwa pengabdian pada masyarakat, lahir karena karakter pendidikan dokter di masa lalu yang kini makin sulit ditemukan,” kata Rusdhy.
Di era kolonial hingga awal kemerdekaan, menurut Rusdhy, pendidikan dokter berorientasi meningkatkan kesehatan masyarakat. Mereka diajarkan pencegahan dan promosi perilaku hidup sehat, bukan hanya klinis. Hal ini mirip dengan pendidikan guru sebagai pendidik masyarakat. Pendidikan dokter saat itu ditanggung negara dan lulusannya ditempatkan di sejumlah daerah.
”Saya masih mengalaminya saat kuliah di Fakultas Kedokteran UI (Universitas Indonesia) tahun 1965-1972. Namun, sejak 1980-an, pendidikan dokter menjadi komersial dan identik dengan biaya mahal. Setelah lulus, dokter bebas memilih menjadi dokter klinik di kota hingga spesialis demi mengembalikan biaya sekolah yang mahal,” ujarnya.
Belajar dari pandemi Covid-19, Rusdhy berharap ada reorientasi bidang kedokteran dalam membangun kesehatan masyarakat. Sosok dokter pengabdi bisa menjadi inspirasi, tetapi hal itu hanya bisa diperbanyak jika sistem kesehatan, termasuk pendidikan kedokteran, berorientasi pada layanan kesehatan publik.