Sistem Deteksi Dini Bencana Hidrometeorologis Dikembangkan
Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis karena memiliki banyak pulau dengan gunung api dan aliran sungai serta penghasil hujan terbesar di dunia. Pengembangan sistem deteksi dini bencana diperlukan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis, seperti banjir, longsor, puting beliung, dan kekeringan. Guna memitigasi bencana tersebut, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengembangkan sejumlah sistem deteksi dini yang berbasis teknologi penginderaan jauh.
Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Didi Setiadi mengemukakan, Indonesia sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologis karena memiliki banyak pulau dengan gunung api dan aliran sungai serta penghasil hujan terbesar di dunia.
Kita semua berkewajiban melindungi keselamatan masyarakat dengan mengurangi risiko, memberikan peringatan dini, dan menanggulangi bencana hidrometeorologis.
”Kita semua berkewajiban melindungi keselamatan masyarakat dengan mengurangi risiko, memberikan peringatan dini, dan menanggulangi bencana hidrometeorologis,” ujarnya dalam webinar, Kamis (30/7/2020).
Guna memitigasi bencana hidrometeorologis tersebut, PSTA Lapan melakukan pemantauan dan prediksi kondisi atmosfer dengan menggunakan satelit, radar, dan model atmosfer. Lapan kemudian meneliti dan mengembangkan sejumlah sistem pendukung keputusan (DSS) yang bertujuan sebagai alat deteksi dini.
Sejumlah DSS yang telah dikembangkan, antara lain, adalah Sadewa (satellite disaster early warning system), Santanu (sistem pemantau hujan spasial), Semar (sistem embaran maritim), dan Srikandi (sistem informasi komposisi atmosfer Indonesia).
Sadewa merupakan DSS untuk mendukung pengelolaan risiko bencana hidrometeorologis oleh otoritas terkait. Sadewa memantau secara real time dan memprediksi kejadian hujan ekstrem yang berpotensi menimbulkan bencana banjir dan longsor di seluruh wilayah Indonesia.
Resolusi spasial sistem ini mencapai 5 kilometer hingga tiga hari ke depan. Sadewa didukung oleh sistem pengamatan berbasis satelit serta sistem prediksi berbasis model penelitian dan peramalan cuaca (weather research and forecasting/WRF) dan komputerisasi berbasis tinggi (high performance computing/HRC).
”Sadewa umumnya mampu menyimulasikan siklus diurnal curah hujan dengan baik. Tetapi, waktunya masih ada perbedaan sekitar dua jam, demikian pula intensitas curah hujan umumnya juga lebih tinggi dari pengamatan,” kata Didi.
Sementara Santanu merupakan sistem informasi deteksi hujan berbasis teknologi radar X- Band. Sistem ini mampu menghasilkan peta terjadi hujan secara berkelanjutan setiap 2 menit near real time dengan resolusi 120 meter.
Santanu memiliki keunggulan, yakni relatif terjangkau, andal, dimensi lebih efisien, dan mudah untuk perawatan ataupun instalasi. Santanu juga dapat ditempatkan di daerah terpencil sehingga dapat melengkapi area yang tidak dapat terjangkau oleh jaringan radar cuaca yang sudah ada di Indonesia.
Selain itu, terdapat juga DSS yang akan dikembangkan tahun ini, yaitu Srirama (sistem informasi perubahan iklim Indonesia), Jatayu (jaringan pengamatan atmosfer untuk transportasi wilayah udara), Indra (input data sumber air), dan Kamajaya (kajian awal musim wilayah Indonesia jangka madya).
Permodelan prakiraan cuaca
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Erwin Makmur menyatakan, BMKG dan sejumlah pihak berusaha terus menyempurnakan metode prakiraan cuaca sehingga didapat permodelan yang sesuai dengan karakter iklim di Indonesia.
Salah satu permodelan yang terus dikembangkan adalah prediksi cauaca numerik. Prediksi cuaca ini dilakukan dengan menyelesaikan persamaan-persamaan aljabar dari persamaan dasar pengendali atmosfer. Namun, permodelan ini memerlukan infrastruktur komputer khusus dan daya listrik yang besar.
”Karakter dari permodelan ini adalah penggunaan komputer super cepat. Kami banyak menggunakan data lokal, seperti jaringan radar BMKG, pengamatan udara atas, dan stasiun BMKG yang ada di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Saat ini, para peneliti di BMKG juga tengah melakukan eksperimen untuk mengetahui peringatan dini cuaca ekstrem selama tiga hari ke depan. Eksperimen tersebut menggunakan pengumpulan metode ganda sehingga diharapkan dapat menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang tinggi.