Pengembangan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil mesti berlandaskan sains agar pengelolaannya berkelanjutan. Hal ini disebabkan kawasan tersebut terdampak perubahan iklim dan lingkungan akibat aktivitas manusia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim ataupun lingkungan akibat aktivitas manusia. Untuk itu, pengembangan dan perawatan ekosistem pulau-pulau kecil ini mesti mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Strategi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil terhadap Ancaman Global dan Pembangunan”, yang diselenggarakan Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Mataram (Unram), di Jakarta, Senin (27/7/2020).
Pengajar Ilmu Kelautan Unram, Sitti Hilyana, memaparkan, saat ini Indonesia menghadapi risiko bencana dan dampak perubahan iklim. Namun, kondisi itu tidak diiringi dengan upaya mitigasi yang optimal. Hal itu ditunjukkan dari minimnya akses informasi iklim, cuaca, kebencanaan, dan potensi sumber daya ikan bagi nelayan pesisir ataupun pulau-pulau kecil.
”Sering kali yang paling terdampak adalah nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka menjadi korban perubahan cuaca ekstrem karena badai dan gelombang tinggi,” ujarnya.
Dampak perubahan iklim ini harus segera disikapi degan mendesain ulang tata kehidupan ekologis pulau-pulau kecil. Adanya pandemi Covid-19 memberi peluang transformasi ekologis dengan pola adaptif dalam berbagai aktivitas termasuk pulau-pulau kecil sehingga kondisi alam mengalami perubahan.
”Saat pandemi, udara semakin bersih karena polusi teratasi, lapisan ozon membaik, dan tekanan terhadap alam semakin kecil. Ini seolah-olah menandakan bumi sedang beristirahat dari tekanan dan beban berat aktivitas manusia,” tuturnya.
Sering kali yang paling terdampak adalah nelayan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka menjadi korban perubahan cuaca ekstrem karena badai dan gelombang tinggi.
Peneliti Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sri Suryo Sukoraharjo, menambahkan, pengetahuan nelayan terhadap laut turut berkontribusi mengurangi beban di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Para nelayan harus mengetahui kapan waktu tepat untuk berlayar atau menangkap ikan dan kapan waktu untuk membiarkan perairan itu pulih kembali.
Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil juga makin terancam akibat eksploitasi ikan dengan sistem yang merusak. Penangkapan itu akan menghancurkan habitat, menghambat pertumbuhan karang baru, mengurangi populasi ikan, hingga mengganggu keseimbangan ekosistem.
Meski demikian, Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jamaluddin Jompa menekankan, pemerintah harus menyampaikan status terancam satwa laut secara jelas. Penyampaian status itu berdasarkan data dari lembaga atau badan khusus yang memonitor status kepunahan satwa.
”Jangan sampai pemerintah seenaknya mengatakan (satwa) ini terancam tanpa data. Karena penentuan terancam dan akan terancam itu harus ada status dari IUCN (Badan Konservasi Dunia),” ujarnya.
Menurut Jamal, kejelasan status itu amat penting disampaikan agar tidak berlebihan menakut-nakuti masyarakat atau nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di laut. Di sisi lain, jangan sampai pemerintah tidak memiliki data sains untuk memastikan keberlanjutan ekosistem.
”Intinya, dalam mengembangkan dan merawat pulau-pulau kecil, harus dipastikan hadir dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian kebijakan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan itu harus didasari dengan sains,” katanya.
Pemantauan air laut
Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir Laut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dida Migfar Ridha mengatakan, pihaknya telah mengedepankan sains dalam proses identifikasi pencemaran laut yang berakibat pada pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu upaya berbasis sains yang dilakukan adalah pemantauan kualitas air laut di seluruh wilayah pesisir di Indonesia. Parameter pemantauan tersebut, antara lain, residu tersuspensi, oksigen terlarut, amonia total, kandungan fosfat, minyak, dan lemak.
”Kami memperkuat instrumen pencegahan pencemaran meliputi kajian lingkungan hidup strategis dan tata ruang, menetapkan baku mutu, dan menerapkan amdal. Kami juga memetakan hotspot pencemaran dan kegiatan sumber pencemar,” ujarnya.