Konten Ramah Anak Belum Bertambah
Persentuhan anak dan media bisa memperluas cakrawala anak, tetapi juga berpotensi memberikan ekses negatif bagi tumbuh kembang anak. Hingga kini, konten ramah anak di media belum memadai.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran membayangi orangtua ketika mendapati anak bersentuhan dengan media. Meskipun sudah ada regulasi, konten di media ataupun di ruang digital masih problematik. Konten ramah anak di media pun dinilai belum memadai.
Indri Astuti (32), ibu rumah tangga asal Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, menilai, masih banyak tayangan di televisi ataupun media digital yang belum ramah anak hingga saat ini. Hal itu memaksanya untuk mengakses aplikasi televisi berlangganan, seperti Mola TV.
”Di sana tayangannya lebih edukatif. Banyak permainan eksperimen yang bikin anakku suka banget,” katanya saat dihubungi, Kamis (23/7/2020).
Baca juga: Gawai Dibatasi, Bermain di Luar Terancam Pandemi
Selama ini, Indri juga selalu membentengi dan mendampingi anak dalam mengakses gawai. Bahkan, sering kali ia hanya memberikan gawai kepada putranya tanpa akses internet. ”Kalau belajar sesuatu lewat Youtube, masih aku kasih akses internet, tetapi aku dampingi,” ujarnya.
Meski konten di Youtube adalah tontonan untuk anak-anak, sering kali iklan yang ditampilkan tidak tepat untuk anaknya yang masih berusia enam tahun. Untuk itu, ia mengawasi pemakaian internet secara ketat.
Terkait dengan konten kekerasan, Indri menilai gim daring adalah salah satu media yang dapat memberi pengaruh buruk tersebut. Gim berbau pertempuran atau tembak-menembak kini banyak beredar di dunia maya.
”Kalau gim-gim yang berbau kekerasan, tidak bisa ditawar. Sudah pasti enggak aku kasih. Dia paling main gim ular-ularan atau minecraft,” katanya.
Indri hanya memberikan akses gawai kepada anaknya setiap akhir pekan. Gawai tersebut bisa digunakan sepenuhnya untuk bermain gim yang ramah anak. Durasi yang ia berikan juga hanya dua jam per hari.
Baca juga: Jangan sampai Anak Berprestasi Kehilangan Dunianya
Menurut Ketua Perhimpunan Perlindungan Advokasi Anak Indonesia (Peran Indonesia) Muhammad Joni, konten ramah anak di berbagai media kini belum memadai. Sebaliknya, justru konten berbau kekerasan amat mudah ditemui.
Ia menilai, konten kekerasan, baik verbal maupun visual, seharusnya dikendalikan, bukan dihilangkan. Sebab, anak juga harus memiliki kemampuan untuk memahami kekerasan tersebut sebagai kenyataan sosial. ”Anak perlu diedukasi dan memahami kenyataan sosial tersebut, tetapi harus sesuai batasan,” katanya.
Pengendalian, menurut dia, bisa dilakukan dengan regulasi, pengawasan, dan tindakan. Seperti halnya dalam melawan hoaks, konten kekerasan di media sosial juga bisa dilawan dengan kebijakan perang digital.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, konten kekerasan untuk media konvensional saat ini cenderung masih bisa dikendalikan. Akan tetapi, konten kekerasan di media sosial yang saat ini perlu dilawan.
”Media cetak, media daring, dan media televisi hendaknya terus mengajak masyarakat untuk memerangi hal ini,” katanya.
Dengan saling menjalin keterbukaan tersebut, prinsip pengawasan akan terjalin dengan sendirinya. Anak akan sungkan melewati rambu-rambu bermedia sosial sehingga konten-konten berbau kekerasan bisa ditekan.
Pedoman penyiaran
Terkait tayangan ramah anak di media, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Agung Suprio menjelaskan, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sudah dirancang untuk melindungi anak dan remaja. Sebab, remaja dan anak merupakan kelompok rentan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Selama jam tayang anak dan remaja, katanya, dilarang menampilkan konten kekerasan dan perundungan. ”Kami menerapkan standar tinggi terhadap tayangan ramah anak. Ketika ada laporan masuk dari warga, kami akan memproses laporan tersebut. Jika ditemukan pelanggaran, stasiun televisi yang dilaporkan bersangkutan bisa terkena sanksi administratif,” ujarnya.
Program siaran digolongkan ke dalam lima klasifikasi berdasarkan kelompok usia. Khusus anak dan remaja terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu P (usia 2-6 tahun), A (7-12 tahun), dan R (13-17 tahun).
Klasifikasi P mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan sesuai perkembangan anak pra-sekolah.
Kontennya tentang hiburan dan pendidikan yang memiliki muatan serta nilai-nilai pendidikan. Siaran ini tayang antara pukul 07.00-09.00 dan 15.00-17.00.
Klasifikasi A bermuatan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu anak-anak tentang lingkungan sekitar. Siaran ini dapat menampilkan nilai-nilai dan perilaku antisosial sepanjang bukan sebagai suatu hal yang dapat dibenarkan dan diikuti dengan penggambaran sanksi dan/atau akibat atas perilaku antisosial tersebut. Siaran ini diutamakan tayang pukul 05.00 hingga 18.00.
Selanjutnya, klasifikasi R memiliki penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.
Siaran ini boleh membahas atau menggambarkan adegan yang terkait dengan seksualitas serta pergaulan antara pria-wanita sepanjang disajikan dalam konteks pendidikan fisik dan psikis remaja.
Siaran dengan klasifikasi P, A, dan R harus disertai dengan imbauan atau peringatan tambahan tentang arahan dan bimbingan orangtua.
Agung menambahkan, KPI mendapat sejumlah aduan dari publik yang mengeluhkan tayangan sinetron, hiburan, dan siaran jurnalistik. Kendati demikian, tidak semua aduan berakhir dengan sanksi.
KPI akan memverifikasi terlebih dahulu akurat atau tidaknya laporan tersebut. Jika ditemukan pelanggaran, stasiun televisi akan dikenai sanksi berjenjang dari surat teguran pertama, surat teguran kedua, penghentian tayangan sementara, hingga pembatasan durasi.
Diskusikan dengan anak
Psikolog anak dan keluarga, Saskhya Aulia Prima, menambahkan, orangtua harus memetakan nilai apa yang ingin didapat si anak ketika menonton sebuah tayangan. Setelah menonton, orangtua harus mengajak anak berdiskusi tentang tayangan yang baru ditonton.
Khusus untuk anak berusia di bawah delapan tahun, lanjutnya, tayangan sedapat mungkin jangan terlalu lama. Cari tayangan yang scene-nya tidak terlalu cepat. Ini agar konsentrasi anak tak terganggu.
Masih untuk anak usia dini, lanjutnya, tidak dianjurkan menonton tayangan yang terlalu imajinatif. Misalnya tentang orang yang melompat dari satu gedung ke gedung lain. ”Nah, anak di bawah tujuh tahun itu, kan, belum bisa membedakan yang nyata dan rekayasa. Tayangan seperti ini berisiko buat dia,” tuturnya.
Orangtua harus memetakan nilai apa yang ingin didapat si anak ketika menonton sebuah tayangan. Setelah menonton, orangtua harus mengajak anak berdiskusi tentang tayangan yang baru ditonton.
Tayangan yang berpotensi untuk memicu trauma, seperti film horor, pun tak dianjurkan bagi anak. Kalau tayangan terlalu seram, ada kekhawatiran si anak menjadi susah tidur. ”Kemudian untuk tayangan, seperti sinetron, yang tak memiliki insight sama sekali mending tidak usah ditonton,” ujarnya.
Di saat pandemi Covid-19, dia menganjurkan anak menonton tayangan yang memicu tubuhnya ikut bergerak, seperti tayangan olahraga. Selain itu, tayangan interaktif dan bisa melatih anak dalam mengembangkan kecerdasannya pun dibutuhkan.
Di luar tayangan televisi, katanya, orangtua memiliki banyak pilihan untuk tayangan anak. Sejumlah aplikasi sudah menyediakan konten khusus anak, seperti Youtube dan Netflix. ”Tinggal sama orangtuanya saja untuk mencari tahu lebih agar anak mendapat tontontan yang baik,” ucapnya.