Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak terhadap orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pembatasan sosial yang berlangsung selama masa pandemi akan memberi tekanan psikososial terhadap anak-anak dan remaja.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak terhadap orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Pembatasan sosial yang berlangsung selama masa pandemi akan memberi tekanan psikososial terhadap anak-anak dan remaja.
Situasi itu disadari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Menjelang Hari Anak Nasional 2020 yang jatuh pada 23 Juli, menurut dia, anak-anak di Indonesia sedang mengalami masa sulit.
Bagi anak, tak mudah tinggal dan belajar dari rumah dalam waktu cukup lama. Karena itu, peran orangtua dalam mendampingi anak sangat penting.
”Tahun ini adalah tahun yang sulit bagi anak. Mereka tak bisa pergi ke sekolah, bertemu teman-teman dan guru, dan tidak bisa bermain di luar rumah karena harus berjarak untuk sementara waktu,” ujar Bintang, di Jakarta, Senin (20/7/2020).
Tahun ini adalah tahun yang sulit bagi anak.
Menurut Spesialis Perlindungan Anak dari Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Ali Aulia Ramly, jika tekanan yang dialami anak itu berlangsung lama, muncul ancaman berupa risiko terjadinya gangguan jiwa.
”Hal yang lebih serius dibandingkan bosan ditunjukkan dalam studi global yang meneliti tentang situasi isolasi, termasuk ketika perang dan saat pandemi ebola dulu. Studi ini memperlihatkan, saat terjadi kondisi isolasi, anak-anak, terutama remaja, akan merasakan depresi,” papar Aulia.
Ia menjelaskan, anak-anak rentan mengalami berbagai tekanan akibat pandemi Covid-19. Rasa takut berlebihan dapat muncul akibat banyaknya informasi yang diterima mereka mengenai dampak buruk pandemi. Tekanan kian berat dengan pembatasan sosial yang mengharuskan anak di rumah.
Hal tersebut selaras dengan studi yang dilakukan Wahana Visi Indonesia melalui penilaian cepat tentang Dampak Covid-19 dan Pengaruh pada Anak Indonesia. Studi memperlihatkan, ada tiga faktor yang memengaruhi kesehatan jiwa anak selama pandemi, yakni fasilitas pendukung pembelajaran daring yang minim, ketidakmampuan anak belajar secara mandiri, dan meningkatnya tekanan psikososial dari lingkungan.
Terkait dengan tekanan psikososial, studi menunjukkan, 47 persen anak merasa bosan di rumah, 35 persen anak merasa khawatir tertinggal pelajaran, dan 15 persen anak merasa tak nyaman belajar di rumah.
Selain itu, terungkap pula ada 20 persen anak merasa rindu dengan teman-teman di sekolah dan 10 persen khawatir dengan penghasilan orangtua.
Masyarakat, terutama orangtua ataupun orang terdekat dari anak, menurut Aulia, sebaiknya memahami gejala-gejala gangguan psikososial, seperti turunnya semangat beraktivitas, kurang konsentrasi, dan sulit mengendalikan emosi. ”Jika gejala gangguan tersebut muncul, sebaiknya segera konsultasikan dengan ahli,” ujar Aulia.
Tantangan dan risiko
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah mengakui, tatanan kehidupan baru di tengah pandemi memberi tantangan sekaligus risiko masalah kesehatan jiwa kepada anak.
Untuk anak usia dini 0-6 tahun, tantangan terjadi ketika orangtua mulai aktif bekerja di kantor. Bagi anak yang ditinggal di rumah, kondisi cenderung bisa tertangani jika ada pengasuh yang menunggu anak.
Sebaliknya, untuk anak yang tak memiliki pengasuh dan diserahkan ke tempat penitipan, akan timbul kekhawatiran pada orangtua. Anak juga belum tentu dapat melakukan berbagai protokol kesehatan yang ditentukan di tempat penitipan.
Tantangan terjadi pula pada anak berusia 7-18 tahun. Anak yang harus belajar di rumah diminta beradaptasi dengan tanggung jawab belajar. Hal ini kian berat saat orangtua bekerja di kantor. Anak harus belajar mandiri tanpa bimbingan orangtua di rumah.
Namun, menurut Fidiansjah, dampak yang lebih mengkhawatirkan ialah peningkatan kekerasan kepada anak selama belajar di rumah. ”Ada 62 persen anak mengalami kekerasan verbal dan 11 persen anak mengalami kekerasan fisik,” ujarnya.
Kekerasan terhadap anak dapat berdampak serius berupa luka batin. Anak korban kekerasan dalam keluarga pun bisa mencari sandaran di media sosial untuk lari dari luka batin. Mereka bergabung dengan grup di medsos yang tidak terkontrol sehingga rawan dieksploitasi.
Kompas edisi Senin (20/7/2020) menulis, sebuah grup di media sosial yang beranggotakan anak-anak menjadi tempat bagi mereka untuk berbagi kesedihan karena perlakuan buruk orangtua. Anggota grup bebas mengunggah undangan bergabung di grup Whatsapp. Kenyataannya, di grup-grup WA, ditemukan beberapa anggotanya berbagi foto dan video mengandung konten pornografi.
Bintang pun mengingatkan orangtua untuk memberi perhatian khusus saat anak-anak berada di rumah, mendampingi mereka belajar, termasuk saat mengakses internet agar tidak terpapar hal-hal negatif.
Menurut dia, Hari Anak Nasional tahun ini harus menjadi momentum untuk tidak hanya memenuhi hak-hak anak, tetapi juga meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak; terutama dari kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Ahli budaya digital Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan, peran dan tanggung jawab pengembang dapat dikaji lebih lanjut terkait penyalahgunaan platform dalam hal kekerasan kepada anak.
”Saat terjadi penyimpangan dalam perkembangan penggunaan media digital, yang ditengok adalah literasi penggunanya. Namun, pada banyak kasus, literasi tak ada korelasinya. Tetap saja terjadi penggunaan yang merugikan. Di sinilah peran pengembang platform bisa dilihat lagi,” papar Firman. (TAN/MTK/SON/SPW)