Surat-surat yang Mencerahkan
Bagi seorang penulis seperti Elie Wiesel, pena adalah senjata efektif. Tidak hanya untuk mengungkapkan pikiran, tetapi juga alat perjuangan. Surat kepada redaksi adalah salah satu wujudnya.
Kita hidup dalam era komunikasi. Tulislah surat kepada redaksi, bicaralah ke anggota dewan. Jika masih muda, terutama mereka yang berjuang untuk hak asasi manusia, bangunlah komunitas akademik.
Elie Wiesel (Penulis, aktivis, penerima Nobel Perdamaian 1986)
Bagi seorang penulis seperti Elie Wiesel, pena adalah senjata efektif. Tidak hanya untuk mengungkapkan pikiran, tetapi juga alat perjuangan. Surat kepada redaksi adalah salah satu wujudnya.
Begitulah yang terjadi hari-hari ini. Di rubrik ”Surat Kepada Redaksi” Harian Kompas, tempat surat-surat dari para pembaca mendapat tempat, perjuangan itu tampak nyata. Bahkan, dalam acara temu penulis surat pembaca lewat Zoom dan disiarkan secara langsung lewat kanal Youtube Kompas, semangat 39 pesertanya terasa menyala-nyala.
Bertajuk ”Surat-surat Pembaca yang Mencerahkan”, dalam acara yang berlangsung Rabu, 8 Juli 2020, dengan wartawan senior Andreas Maryoto sebagai pemandu acara, banyak peserta yang memberikan masukan, kritik, dan saran. Tidak hanya untuk keberlanjutan dan kebaikan Kompas, tetapi yang terutama adalah kemaslahatan bangsa dan negara.
Terima kasih kepada Hadisudjono Sastrosatomo atas usul pertemuan ini, juga para penulis surat yang hadir sekaligus pembaca setia Kompas. Renville Almatsier, misalnya, mengingatkan pentingnya surat pembaca untuk mengajak masyarakat saling merangkul, bertoleransi, dan mengutamakan persatuan bangsa Indonesia di atas kepentingan kelompok.
Peserta lain, Indragung Priyambodo, mengkritik pemerintah yang dalam masa pandemi ini kapasitas komunikasinya masih memprihatinkan. ”Sekarang bahasanya makin tidak bisa dimengerti. Dulu pakai istilah kasus, positif, sekarang malah pakai terkonfirmasi. Belum lagi kata protokol. Mengapa tidak pakai kata aturan, misalnya. Enggak bakal paham masyarakat di bawah,” kata Indragung.
Pencatat sejarah
Keprihatinan Indragung ini —yang terkait pandemi—juga tampak dari surat-surat mereka, yang dimuat akhir-akhir ini dalam rubrik ”Surat Kepada Redaksi”. Banyak surat yang menyuarakan saran, keprihatinan, bahkan kritik untuk semua: pemerintah dan masyarakat. ”Media mengabarkan, masyarakat dan pedagang pasar menolak, bahkan mengusir petugas medis yang akan mengadakan rapid test atau uji cepat.
Padahal, petugas datang membawa surat tugas dan bertujuan mulia: keselamatan rakyat. Ini negara berdaulat berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Bukan negara hasil teriakan. Wahai bangsaku, mari kita belajar hidup sopan, menghargai orang lain, dan benar memahami pengetahuan. Tindakan yang tepat akan membantu kita semua segera keluar dari situasi pandemi.”
Demikian kutipan surat Titi Supratignyo dari Semarang, dalam surat berjudul ”Menolak ’Rapid Test’?”, yang dimuat tanggal 26 Juni 2020. Sepanjang pandemi berlangsung—dari sejak Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama, 2 Maret 2020—total ada 97 surat terkait pandemi. Bisa dikatakan, sepanjang waktu itu hingga Juli ini, hampir setiap hari ada saja pembaca yang menulis tentang pandemi Covid-19.
Selain situasi sosial, dalam situasi politik DPR termasuk yang paling banyak mendapat kritik. Mereka dianggap tidak peka terhadap aspirasi rakyat, hanya mementingkan diri dan kelompoknya. Dari upaya pembahasan RUU Cipta Kerja hingga RUU Haluan Ideologi Negara (RUU HIP). Menurut para penulis surat itu, pembahasan dipaksakan dan tidak peka terhadap situasi keprihatinan yang sedang dihadapi rakyat.
Beginilah cuplikannya. ”DPR yang seharusnya berbela rasa kepada rakyat yang sedang susah dan telah membuatnya duduk di tempatnya sekarang, malah tanpa rasa risi membahas agenda yang tidak terkait dengan situasi kritis yang sedang dihadapi. DPR detached, terlepas jauh dari aspirasi rakyat yang seharusnya mereka wakili kepentingannya. Menjadi anggota DPR harus ambeg parama arta, bisa menetapkan skala prioritas dengan berpihak kepada rakyat”. (Hadisudjono Sastrosatomo, 21 April 2020).
Atau ini. ”Apa yang kalian cari, DPR? Dulu di saat pemilihan legislatif, kami disuruh memilih agar wakil rakyat yang terhormat bisa mewakili kami sesuai konstitusi. Sekarang, di saat rakyat menyuarakan penolakan pembahasan RUU—terutama Cipta Kerja—DPR tetap bergeming.
Wahai anggota Dewan yang terhormat, kembalilah pada marwah sesuai namanya, Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai wakil rakyat. Bukan Dewan Perwakilan Pemerintah atau Dewan Perwakilan Pengusaha” (S Handoko, 29 April 2020) Sesungguhnya, surat-surat ini tidak hanya menjadi saluran aspirasi publik, tetapi juga pencatat sejarah bangsa-bangsa. Pelbagai media di seluruh dunia menyediakan rubrik surat kepada redaksi, yang berkembang bersama penerbitan media.
Terhormat
Dalam sejarah media massa selama lebih dari 400 tahun, surat-surat dari pembaca selalu mendapat tempat terhormat. Demikian pula halnya rubrik surat pembaca di Kompas., yang mulai muncul 26 Juli 1965, sebulan setelah Kompas terbit perdana pada 28 Juni 1965. Tujuan menulis surat kepada redaksi berawal dari keinginan menyampaikan gagasan kepada khalayak lebih luas. Harapannya, ide itu bisa mengingatkan, syukur-syukur jadi kebijakan atau habitus baru.
Surat pertama itu berupa tanggapan tentang berita di Kompas mengenai perang Ambarawa yang terbit 15 Juli 1965. Pengirim bercerita, ia ikut perang gerilya tersebut, bahkan memasang dinamit di jembatan. Sayang, nama penulis tidak dicantumkan. Dalam perjalanannya, rubrik surat pembaca terus berubah. Di awal namanya ”Ruangan Pembatja Menulis”, lalu menjadi ”Pembatja Menulis”, ”Redaksi Yth”, dan akhirnya ”Surat Kepada Redaksi” dari 10 April 2013 hingga hari ini.
Di antara yang hadir dalam temu penulis itu, ada Asvi Warman Adam, sejarawan, yang sudah menulis surat pembaca dalam rentang 40 tahun. ”Surat pembaca pertama saya dimuat saat saya berusia 26 tahun. Surat terbaru saya dimuat 20 Mei 2020,” kata Asvi. Surat Asvi itu menambah info tentang Perkumpulan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), yang mendirikan sekolah Pahoa dan ikut menumbuhkan bibit kebangkitan nasional. Selain Asvi, ada Prof Bambang Hidayat, pakar astronomi; dan L Wilardjo, pakar fisika dan bahasa, yang sampai kini juga masih rajin menulis.
Seperti disampaikan Elis Wiesel, banyak orang terpandang memilih ”Surat Kepada Redaksi” untuk menggaungkan gagasan. Sebutlah Tribuana Said yang menulis ”Kemerdekaan Pers Serahkan pada Pers” (Kompas, 26 April 1966), Haryati Subadio tentang ”Istilah Dwidasawarsa” (Kompas, 20 Mei 1966), Prof Dr Drijarkara tentang ”Beranilah Mengubah Kebiasaan yang Tak Punya Arti” (Kompas, 2 Juni 1966), dan Benjamin Mangkoedilaga tentang ”Berat Lawan” (Kompas, 7 Juli 1966).
Bahkan, Denny JA menulis tentang Mahasiswa (Kompas, 11 Juni 1986) dan F Rahardi tentang Burung Prenjak Predator Kutu Loncat (Kompas, 25 September 1986). Betapa beragamnya. Namun, lebih dari itu, semua pengirim surat pembaca adalah pembaca setia Kompas, mencintai bangsa dan negara Indonesia, dengan surat-suratnya yang berwawasan luas dan mencerahkan.
Saat ulang tahun ke-55 Kompas, yang baru saja diperingati, banyak surat menceritakan tentang pengalaman mereka tumbuh bersama Kompas. Terima kasih kami kepada para penulis dan pembaca setia ini.