Valuasi Awal Permudah Ganti Rugi Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut
Klaim kerugian kerusakan ekosistem di wilayah pesisir dan laut masih mengacu pada referensi. Perlu valuasi pada tiap-tiap ekosistem di Indonesia untuk mempermudah proses hukum pada pelaku perusakan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut kian nyata yang ditandai dengan penurunan kualitas air hingga rusaknya terumbu karang. Oleh karena itu, ekosistem di wilayah pesisir dan laut perlu divaluasi agar memudahkan penghitungan ganti rugi akibat eksploitasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pakar Ekologi Terumbu Karang Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, Munasik, mengatakan, penghitungan besaran kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup membutuhkan nilai atau harga ekosistem. Namun, selama ini penghitungan kerugian ekosistem hanya berlandaskan referensi.
Berkaca dari permasalahan tersebut, nilai atau harga ekosistem yang riil di lokasi sebelum terjadinya kerusakan lingkungan perlu untuk dibuat. Penghitungan secara riil juga penting karena kondisi ekosistem di Indonesia yang beragam dengan keunikannya tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan metode penghitungan ekosistem yang dapat diterima masyarakat luas.
Saat ini kami sedang mengkaji nilai ekosistem dengan studi kasus terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa.
”Saat ini kami sedang mengkaji nilai ekosistem dengan studi kasus terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa. Penghitungan ini dilakukan dengan metode yang sederhana, murah, dan mudah dilakukan dalam suatu wilayah kajian tertentu,” ujarnya dalam webinar ”Valuasi Ekosistem dan Pengelolaan Berkelanjutan Pesisir dan Laut”, Selasa (7/7/2020).
Munasik dan timnya menghitung valuasi ekosistem terumbu karang dengan menggunakan metode emergy analyses (EmA). EmA adalah metode yang secara kuantitatif mengekspresikan nilai semua produk berdasarkan energi yang setara dengan energi matahari. Metode ini diklaim sebagai metode yang lebih layak dan komprehensif untuk melakukan valuasi ekosistem.
Hasil kajian dengan metode EmA tersebut menyimpulkan bahwa nilai ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa adalah Rp 3.174.013 per meter persegi per tahun. Tingkat pemulihan terumbu karang tercatat sebesar 26 persen sehingga untuk memulihkan ekosistem hingga mencapai 100 persen dibutuhkan waktu kurang lebih 65 tahun.
”Berdasarkan nilai ekosistem terumbu karang tersebut, nilai kerugian di Karimunjawa mencapai lebih dari Rp 12 juta per meter persegi. Ini dasarnya adalah tingkat GDP (produk domestik bruto) nasional tahun 2012,” ujarnya.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Luky Adrianto juga menjelaskan penghitungan kerusakan ekosistem dengan studi kasus mangrove. Kerusakan ekosistem tersebut dapat dihitung dengan basis data produktivitas mangrove dan produktivitas usaha.
Mendesak dilakukan
Pakar ekosistem terumbu karang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Suharsono, menyatakan, valuasi ekosistem sangat mendesak untuk dilakukan terutama untuk daerah atau lokasi yang sensistif terhadap konflik dan kerusakan lingkungan.
Mendesaknya valuasi ini juga tak terlepas dari banyaknya kapal yang melintas di perairan Indonesia setiap tahun untuk mengeksploitasi kekayaan laut daerah tersebut. Berdasarkan data lalu lintas kelautan pada 2017, setiap tahun 327.000 kapal melintas di perairan Indonesia.
Oleh karena itu, nilai valuasi ekosistem perlu dibuat dalam peraturan daerah agar mempunyai kekuatan hukum dan memudahkan penghitungan ganti rugi. Diperlukan juga standar operasional prosedur penilaian kerusakan ekosistem pesisir baik yang bersifat kerusakan fisik maupun kimiawi.
”Sebaiknya pemda segera membuat nilai mangrove, terumbu karang, dan lamun per meter persegi per tahun. Karena sudah ada nilai ini dan kekuatan hukum, saat mengklaim kerusakan itu menjadi mudah,” ujarnya.
Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir Laut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dida Migfar Ridha mengatakan, penghitungan nilai ekosistem ini dapat digunakan untuk mengetahui aset pesisir dan laut yang telah hilang. Selain itu, adanya valuasi juga dapat memengaruhi pengambilan keputusan beberapa isu, seperti perencanaan tata ruang.
Sepanjang 2019, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK telah memantau indeks kualitas air di 560 titik, indeks kualitas udara di 2.000 titik, dan indeks kualitas air laut di 375 titik.
Hasil pemantauan kualitas air laut di 34 provinsi menunjukkan, sebesar 55,88 persen air laut dikategorikan sedang; 41,18 persen bagus; serta 2,94 persen buruk. Kualitas air laut yang buruk mayoritas disebabkan faktor manusia, seperti tumpahan minyak di Balikpapan, Kalimantan Timur dan di Karawang, Jawa Barat.