Fokuskan pada Hak Identitas Budaya hingga Pendidikan
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat agar berisi pengakuan hak atas identitas budaya, hak ulayat, dan hak pendidikan sebagai jalan keluar atas permasalahan yang mereka hadapi saat ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dinilai sangat mendesak untuk dibahas DPR dan pemerintah agar hak-hak masyarakat adat dapat segera terlindungi dan mendapatkan pengakuan. Rancangan regulasi ini juga harus mengatur sejumlah hal khusus atau isu krusial untuk masyarakat adat.
Pendiri dan Peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat Yando Zakaria dalam diskusi daring bertajuk ”Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat”, Kamis (25/6/2020), menyatakan, terdapat tujuh isu krusial yang perlu diatur langsung secara teknis dalam RUU Masyarakat Adat.
Fokus pada aturan terkait hak ini menjadi pilihan kita ke depan daripada sekadar berkutat pada pengakuan subyek hak dan mengasumsikannya semua sudah diatur.
Ketujuh isu tersebut adalah hak atas identitas budaya, hak atas penyelenggaraan pemerintahan, hak untuk menyelesaikan sengketa adat dan pelanggaran adat, hak ulayat, hak atas kekayaan intelektual tradisional, hak atas agama leluhur, dan hak atas pendidikan masyarakat adat.
”Fokus pada aturan terkait hak ini menjadi pilihan kita ke depan daripada sekadar berkutat pada pengakuan subyek hak dan mengasumsikannya semua sudah diatur. Jadi tidak seideal itu situasi di lapangan,” ujarnya.
Menurut Yando, pemerintah tidak perlu lagi memberikan pengakuan politik untuk masyarakat adat karena telah selesai secara konstitusional. Tugas pemerintah saat ini adalah melakukan pendekatan sosial dan mengadministrasikan hak-hak masyarakat adat yang beragam tersebut.
”Yang terpenting ke depan adalah RUU ini lebih operasional menyentuh persoalan administrasi terhadap pengakuan obyek hak yang ada di masyarakat adat. Jadi, dalam RUU tidak lagi deklaratif, tetapi harus mengatur hak secara teknis,” katanya.
Salah satu contoh aturan teknis yaitu terkait pengakuan hak atas tanah masyarakat yang sudah menetap dan dilanjutkan dengan proses pendaftaran hak. Sementara pencadangan tanah sebagai ruang hidup juga perlu disiapkan dan diatur bagi masyarakat adat yang masih berburu dan meramu.
Sampai saat ini, kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi memandang hak-hak masyarakat adat harus segera diakui dan dilindungi. Sebab, sampai saat ini kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung.
Berdasarkan catatan AMAN, sebanyak 125 masyarakat adat di 10 wilayah menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Mereka tersebar di Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Meski demikian, Rukka juga menilai draf RUU Masyarakat Adat dari DPR dan pemerintah masih memiliki sejumlah permasalahan, seperti adanya aturan yang menjebak untuk kembali ke sektoral. Selama ini, aturan sektor ini yang menjadi kendala dalam penyelesaian di masyarakat adat.
Permasalahan lainnya dalam RUU tersebut adalah terkait kelembagaan, evaluasi, dan tidak adanya aturan khusus soal perempuan adat. Ia meminta hal-hal ini juga masuk dalam substansi RUU.
Pelanggaran HAM tersebut disebabkan belum adanya pengakuan sebagai masyarakat adat.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Sandra Moniaga mengatakan, terdapat HAM yang dilanggar dalam konflik dengan masyarakat adat, seperti hak atas pengakuan, hak mempunyai milik, hak hidup, dan hak pendidikan. Pelanggaran HAM tersebut disebabkan belum adanya pengakuan sebagai masyarakat adat.
Akar permasalahan lainnya dari pelanggaran HAM ini adalah kebijakan pembangunan bias pertumbuhan ekonomi dan adanya patriarki di tubuh negara. Selain itu, pelanggaran HAM juga terjadi karena kekosongan lembaga penyelesaian konflik agraria yang memiliki otoritas menyelesaikan konflik secara adil.