Ekonomi Sirkular Sudah Berakar dalam Sejarah Peradaban Manusia
Ekonomi sirkular atau "Circular Economy" terus didengungkan sebagai gerakan mengatasi persoalan kerusakan lingkungan. Sejatinya, prinsip-prinsip inti gagasan itu sudah mengakar dalam sejarah peradaban manusia.
Ekonomi sirkular atau ”circular economy” terus-menerus didengungkan sebagai gerakan untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan. Sejatinya, prinsip-prinsip inti gagasan itu sudah mengakar dalam sejarah peradaban manusia sejak ribuan tahun silam, seperti terungkap dalam sejumlah penelitian arkeologi.
Populasi global diperkirakan akan mencapai hampir sembilan miliar jiwa pada tahun 2030. Sekitar tiga miliar jiwa di antaranya adalah kelas menengah baru. Hal itu tentunya menciptakan tekanan bagaimana sumber daya alam mampu memenuhi permintaan konsumen masa depan. Sejumlah pemangku kebijakan di dunia meresponnya dengan gagasan gerakan ekonomi sirkular atau economy circular.
National Geographic melalui artikel Is A World Without Trash Possible ? (18 February 2020) mengatakan, sebagai gerakan, ekonomi sirkular atau circular economy mengandung kumpulan strategi yang selalu berkembang. Dari strategi mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang sampai strategi menyewa daripada memiliki barang - barang. Tujuannya sama yaitu menghilangkan limbah sehingga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Sementara menurut Forum Ekonomi Dunia atau WEF, ekonomi sirkular merupakan sistem industri yang bersifat restoratif atau regeneratif. Ini mengarah ke arah penggunaan energi terbarukan, menghilangkan bahan kimia beracun, dan limbah melalui desain bahan, produk, sistem, dan model bisnis yang unggul. WEF memprediksi, manfaat ekonomi yang bisa dihasilkan dari penerapan sirkular ekonomi mencapai 4,5 triliun dollar AS.
WEF pun telah berkolaborasi dengan Ellen MacArthur Foundation selama beberapa tahun terakhir untuk mempercepat transisi ekonomi sirkular melalui Project MainStream, sebuah inisiatif yang dipimpin oleh CEO perusahaan untuk membantu meningkatkan skala inovasi ekonomi sirkular yang digerakkan oleh bisnis.
Selain mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), ekonomi sirkular terus didengungkan takkala negara - negara di dunia yang sekarang menghadapi pandemi Covid-19. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa - Bangsa bahkan telah bendesak berbagai negara untuk memperlakukan pengelolaan sampah sebagai layanan publik yang esensial. Ini dilakukan untuk meminimalisir risiko kesehatan, selain dampak lingkungan.
Ellen MacArthur Foundation juga menegaskan, ekonomi sirkular bukan ide gerakan baru. Ekonomi sirkular sejatinya telah berakar dalam sejarah kuno.
Assistant Professor Max Planck Institute for The History of Science, Maikel Kuijpers, dalam tulisannya di The Conversation, Januari 2019, menjelaskan, gagasan tentang ekonomi sirkular baru muncul pada 1980-an, tetapi ini tidak berarti bahwa praktik-praktik inti ekonomi sirkular, seperti memperbaiki, mendaur ulang, dan menggunakan kembali, sama-sama baru. Seluruh strategi itu bertujuan menjaga agar bahan tetap digunakan, baik sebagai objek maupun sebagai komponen mentahnya, selama mungkin. Semuanya itu hampir tidak revolusioner.
"Pada zaman Palaeolitik, alat batu yang lebih kecil dibuat dari kapak tangan tua. Orang-orang pada periode Neolitik menggunakan batu berdiri untuk membangun kuburan mereka," ungkap dia.
Para arkeolog biasanya tidak menggunakan terminologi ekonomi sirkular, melainkan penggunaan kembali. Definisi gagasan ini sangat luas dan asal - usulnya dapat ditelusuri hingga ke zaman Palaeotik. Namun, apabila pemahaman daur ulang dan penggunaan kembali seperti yang sempat marak didengungkan, orang bisa merujuk ke zaman Perunggu.
Perunggu adalah bahan utama. Benda bekas dikonversi sepenuhnya menjadi bahan baku produk baru. Ekonomi berputar disana.
Para ahli metalurgi yang tinggal di bagian selatan Teluk Persia, sekarang Dubai, sudah mengenal dan menerapkan daur ulang 3.000 tahun lalu. Kepala penelitian di ArcheoConsultant Karol Juchniewicz melalui artikel Recycling in What is Now Dubai was Commonplace 3.000 Years Ago yang diterbitkan Science in Poland pada 8 Januari 2020, mengatakan, benda-benda di Sarug Al Hadid yang terbuat dari tembaga, perunggu dan besi dibuat ulang dari bejana keramik yang pecah.
Temuan dia dan tim mencakup sekitar 2.600 benda logam yang terdiri dari senjata, dekorasi, perhiasan, dan item ikonik atau magis, seperti patung ular. Mayoritas peralatan diperkirakan dibuat sekitar 3.000 tahun lalu. Akan tetapi, para peneliti memperkirakan, kegiatan metalurgi telah dilakukan bahkan 1.000 tahun sebelumnya.
Pusat metalurgi awalnya ditemukan pada tahun 2002 oleh penguasa Dubai, Sheikh Mohammad bin Rashid al Maktoum saat menerbangkan helikopternya di atas bukit pasir di gurun Rub al-Khali. Pada saat itu, dia memperhatikan terdapat bukit pasir tak biasa dan di dalamnya terdapat sejumlah besar batu hitam. Penemuan dilaporkan kepada para ilmuwan. Batu - batu hitam tersebut kemudian diketahui sebagai terak.
Baca juga: Kolaborasi Perkuat Ekonomi Sirkular
Kota Pompeii
Arkeolog Allison Emerson dari Universitas Tulane mengatakan, sampah yang dibuang di luar tembok utara kota Pompeii didaur ulang dan digunakan kembali. Beberapa gundukan sampah, setinggi beberapa meter, dan sudah termasuk potongan keramik dan plester, ternyata digunakan kembali sebagai bahan konstruksi.
Dalam artikel Pompeii Ruins Show That The Romans Invented Recyling di The Guardian pada 26 April 2020, dia menceritakan, para ilmuwan sebelumnya memperkirakan gundukan sampah mungkin telah diendapkan oleh gempa bumi yang terjadi 17 tahun sebelum kehancuran kota oleh letusan Gunung Vesuvius pada 79 Masehi. Akan tetapi, berdasarkan analisa sampel tanah yang dia lakukan menunjukkan sampah telah disortir dan dikembalikan ke kota untuk digunakan pada bangunan baru.
"Perbedaan tanah memungkinkan kita untuk melihat apakah sampah telah dihasilkan di tempat ditemukannya, atau dikumpulkan dari tempat lain untuk digunakan kembali dan didaur ulang," katanya.
Allison mengungkapkan, semua sampah dihasilkan dari gempa bumi. Puing - puing dibersihkan, dipilah, dan didaur ulang. Warga Pompeii lebih dekat dengan sampah dibandingkan masyarakat modern. Mereka telah mempunyai sistem manajemen perkotaan yang bagus.
Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny Wibisono saat dihubungi Senin (22/5/2020) di Jakarta, mengatakan, perilaku daur ulang sudah lama menjadi perhatian arkeolog Indonesia. Teorinya pun ada dalam arkeologi perilaku. Barang artefak punya sejarah perjalanan dalam konteks laku manusia.
"Tidak hanya dibuat, dipakai, ataupun dibuang. Ada proses lain, seperti diperbaiki," ujar dia.
Untuk barang digunakan lagi, Sonny menyebutkan dua fungsi, yaitu fungsi sama (lateral cycling) dan fungsi berubah (recycling). Kasus recycling sering ditemukan pada bangunan. Tembok atau benteng yang tebal tidak selalu sepenuhnya dibuat bahan yang sama. Bagian tengah dinding itu diisi material yang lain. Kasus ini ditemukan di bagian selatan Benteng Kesultanan Banten. Banyak candi dan bangunan rumah masa lampau menerapkan isian bangunan dari pecahan bata.
Contoh kasus lateral cycling yaitu pembuatan manik-manik kaca. Kaca residu yang ditemukan di bengkel manik - manik digunakan lagi untuk membuat barang serupa.
Sonny mencontohkan kasus barang digunakan lagi pada salah satu tiang Masjid Agung Demak yang terbuat dari serpihan kayu dan disebut Soko Tatal. Kemudian, Yoni pada masa Hindu Budha dipakai lagi sebagai bahan bangunan masjid.
Dia menjelaskan, penggunaan ulang barang berkaitan erat dengan lingkungan, seperti keterbatasan lahan dan pengiritan bahan baku. Tidak semua material dibuang. Material yang tidak terpakai bisa dimanfaatkan ulang. Semakin tinggi teknologi semakin pula daur ulang dilakukan.
"Daur ulang pada prinsipnya sama. Teori arkeologi perilaku bisa dipakai untuk kritik laku saat ini," ujar Sonny.
Kesultanan Banten
Dia lantas kembali mencontohkan, 400 tahun lalu, Kesultanan Banten telah membuat sistem filter air. Daur ulang sampah cair juga sudah dilakukan. Sementara di kehidupan sekarang, kebanyakan warga tidak sadar saat membuang sampah ke sungai, termasuk sampah cair. Sumber air semakin langka, tetapi perorangan ataupun pemerintahnya tidak berinisiatif meniru sistem filter masa lalu.
Maikel berpesan agar berhati-hati untuk tidak melebih-lebihkan komitmen masyarakat masa lampau untuk daur ulang. Mereka bukan orang suci ekologis. Mereka mencemari lingkungan juga melalui penambangan, membakar seluruh hutan, dan menciptakan sejumlah besar limbah.
"Pada masa lalu, kebanyakan hal tidak berlimpah sehingga praktik inti dari ekonomi sirkular diadopsi. Ini tidak terjadi karena motivasi ideologis, tetapi karena kebutuhan," kata dia.
Gagasan dibalik gerakan ekonomi sirkular yang kini berkembang cenderung "politis" sehingga akan terus dipertahankan. Alih - alih menimbulkan lingkaran ekonomi baru, malah praktik - praktiknya terkesan anomali dan memicu pemborosan.
"Prinsip - prinsip baik daur ulang barang telah menjadi bagian dari keberadaan manusia. Itulah yang semestinya dikedepankan," ujar Maikel.
Baca juga: Pusat Daur Ulang untuk Kurangi Beban TPA