Penataan kesatuan hidrologis gambut lintas kementerian dan pemerintah daerah belum terpadu. Padahal, gambut membutuhkan pengelolaan menyeluruh karena antarbidang gambut saling memengaruhi.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany/Aditya Diveranta/Deonisia Arlinta Graceca Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penataan kesatuan hidrologis gambut lintas kementerian dan pemerintah daerah belum terpadu. Padahal, gambut membutuhkan pengelolaan menyeluruh karena antarbidang gambut saling memengaruhi. Situasi itu bisa menghambat pencapaian target restorasi atau pemulihan ekosistem gambut.
Menurut Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Senin (16/3/2020), di Jakarta, pemulihan ekosistem gambut butuh waktu puluhan tahun sejak tata kelola air diperbaiki. Untuk area nonkonsesi, sampai akhir 2019, BRG bersama mitra membenahi tata air seluas 780.000 hektar atau 87 persen dari target.
Sisa lahan gambut di area konsesi terbagi di konsesi kehutanan 1,27 juta hektar dan perkebunan 555.000 hektar. Dari luasan perkebunan itu, pihaknya memberi supervisi dan asistensi pada perusahaan perkebunan seluas 408.000 hektar atau 73 persen dari target.
”Ketidaksinkronan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat jadi persoalan yang perlu ditangani. Ini penting karena kelancaran koordinasi berpengaruh pada penataan ekosistem gambut,” kata Nazir. Sinkronisasi koordinasi pemeliharaan ekosistem, misalnya, dalam penataan infrastruktur pembasahan gambut (IPG) meliputi pemasangan sekat kanal dan persiapan kubah gambut.
Dalam penataan ini, ada saja masalah di antara pihak terkait, seperti antara warga dan perusahaan pemegang konsesi. Contohnya, penataan ekosistem di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, yang bermasalah dari segi penyekatan kanal.
Kasus yang kerap terjadi adalah ketimpangan penyekatan kanal dari pihak tertentu di satu kawasan kesatuan hidrologis gambut (KHG) sehingga penyerapan air di lahan gambut tidak maksimal. Di Pulang Pisau ada tiga kubah gambut. Untuk penataan di sana, kanal air harus ditutup agar gambut berfungsi optimal menyimpan air di ekosistem. Namun, ada pihak yang tidak menjalankan penyekatan kanal secara maksimal.
”Saat musim hujan, kubah gambut harus menyimpan air untuk musim kemarau. Jadi, kanal harus disekat agar air tak sepenuhnya mengalir ke wilayah lebih rendah. Namun, kanal juga terkait lahan tani milik warga atau perusahaan tertentu. Kadang ada permintaan agar kanal tidak ditutup karena sawah jadi kering,” ujarnya.
Tumpang tindih
Menurut Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, komitmen pemulihan gambut di Indonesia harus dilanjutkan. Dukungan berkelanjutan perlu dipastikan terkait kebijakan dan kebutuhan operasional. ”Dalam dokumen mitigasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi, restorasi gambut jadi kunci keberhasilan capaian itu,” katanya.
Namun, rencana aksi restorasi gambut tahun 2016-2020 dinilai gagal diterjemahkan. Hal itu ditandai dengan koordinasi buruk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut. Tumpang tindih kebijakan juga terjadi, bahkan saling berlawanan.
Salah satu kebijakan yang berlawanan ditunjukkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis KHG. Dalam aturan itu, pengelolaan bisa dilakukan pada puncak kubah gambut di topografi tertinggi dari area sekitar. Padahal, pengelolaan gambut harus menyeluruh di semua area.
”Koreksi komprehensif dibutuhkan dalam pemulihan gambut. Jangan ada upaya terbengkalai karena bencana atau ada proyek restorasi fiktif. Jadi, pengawasan dan evaluasi harus optimal,” ujarnya. Pemerintah harus bersatu menjalankan restorasi gambut. Saat ini, ukuran menghitung target capaian lahan gambut yang direstorasi belum sama.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan MR Karliansyah menegaskan, Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahuhn 2019 bertujuan memperkuat perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sekaligus mengakomodasi pelaku usaha. ”Ini bisa meningkatkan keberlanjutan ekonomi pelaku usaha dengan memperhatikan ekologi lewat pembasahan dan revegetasi dengan tanaman endemik,” ujarnya.
Jika ada lebih dari satu puncak kubah gambut dalam KHG, puncak kubah gambut bisa dimanfaatkan dengan menggantikan fungsi hidrologis gambut dari puncak kubah gambut lain. Itu berlaku pada KHG yang sesuai kriteria fungsi lindung ekosistem gambut seluas minimal 30 persen dari KHG.