Generasi muda, yaitu milenial dan generasi Z, dinilai akan menanggung beban moral yang berat jika Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga disahkan. Standar keluarga ideal menurut RUU tersebut dinilai tidak relevan.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda, yaitu milenial dan generasi Z, dinilai akan menanggung beban moral yang berat apabila Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga disahkan. Standar keluarga ideal menurut RUU tersebut dinilai tidak relevan dengan karakteristik masyarakat masa kini.
Perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA), Nurcahyo Budi Waskito, mengatakan, ada indikasi bias jender dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga, pemerintah mengatur pembagian peran suami dan istri dalam satu keluarga. Hal ini diskriminatif karena beban ketahanan keluarga dilimpahkan ke perempuan saja.
”Hanya perempuan yang dilimpahkan urusan kasur, sumur, dan dapur. Seharusnya keluarga dibangun secara setara. Perempuan dan laki-laki harus sama-sama mengusahakan ketahanan keluarga,” kata Nurcahyo di Jakarta, Senin (2/3/2020), dalam diskusi ”Melirik RUU Ketahanan Keluarga dari Sudut Pandang Milenial”.
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan pada 17 Desember 2019 oleh lima anggota DPR dari empat partai politik. Mereka adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani (Fraksi PKS), Endang Maria Astuti (Fraksi Partai Golkar), Sidik Mudjahid (Fraksi Gerindra), serta Ali Taher (Fraksi PAN).
Adapun sejumlah pasal dinilai bermasalah karena merambah ranah privat WNI. Beberapa di antaranya adalah mengatur hal yang harus dilakukan keluarga (Pasal 15), tentang beragama dan mengasihi anggota keluarga (Pasal 16, 25, 101), cara mencintai (Pasal 24), memperoleh keturunan (Pasal 26, 27), mendidik anak (Pasal 28), tanggung jawab keluarga (Pasal 33, 37, 41), pola asuh (Pasal 45), kewajiban orangtua (Pasal 98, 99), serta kewajiban anak (Pasal 101 Ayat 2) (Kompas, 29/2/2020).
Nurcahyo menyebutkan, beban yang diberikan kepada milenial untuk membangun keluarga sangat berat. Selain standar keluarga ideal menurut pemerintah tidak realistis, standar tersebut juga menafikan karakter keluarga yang beragam.
Selain itu, keluarga yang ada di zaman sekarang dinilai progresif. Pengaturan peran berdasarkan jender yang rigid tidak relevan dengan prinsip kesetaraan jender. Hal ini dinilai sebagai langkah regresif dari pemerintah.
”Beban anak muda yang hendak berkeluarga akan berat sekali apabila RUU ini lolos. Jika standar keluarga ideal tidak tercapai, mereka bisa menghadapi konsekuensi hukum. Urusan privat seperti ini seharusnya tidak dicampuri negara,” kata Nurcahyo.
Pemerintah punya sejumlah program yang bermuara ke ketahanan keluarga. Misalnya, kursus prapernikahan oleh Kementerian Agama serta Generasi Berencana oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Nurcahyo menilai pemerintah hanya perlu mengoptimalkan program yang telah ada.
Ketua Koalisi Muda Kependudukan Pusat Kartini Laras Makmur berpendapat, generasi muda juga dibebani dengan kewajiban memiliki hunian yang layak. Padahal, kekuatan finansial milenial belum cukup untuk itu.
Generasi muda juga dibebani dengan kewajiban memiliki hunian yang layak. Padahal, kekuatan finansial milenial belum cukup untuk itu.
”Hanya 40 persen milenial yang bisa memberi DP (down payment) rumah. Itu pun kebanyakan milenial berusia 30-an tahun. Sementara itu, berdasarkan riset HSBC, ada 36 persen milenial yang memiliki rumah dengan bantuan orangtua,” kata Kartini.
Menurut dia, RUU Ketahanan Keluarga juga berpotensi memutus akses perempuan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Adapun tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) milenial perempuan adalah 50,81 persen pada Agustus 2017. TPAK milenial lelaki pada periode yang sama adalah 83,53 persen.
Anggota DPD perwakilan Sumatera Utara, Badikenita Sitepu, mengatakan, masukan masyarakat mengenai RUU Ketahanan Keluarga akan disampaikan dalam rapat Kaukus Perempuan Parlemen mendatang. RUU ini masuk Program Legislasi Nasional 2020 dan masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR.