Skema Subsidi Iuran Peserta Menyalahi Undang-undang
Tiga undang-undang tidak menyebutkan dana jaminan sosial dapat dialihkan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta JKN-KIS. Maka, jika sampai dilaksanakan, artinya ada pelanggaran terhadap undang-undang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema pemanfaatan surplus dana jaminan sosial untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta mandiri kelas III pada program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, rekomendasi terkait skema tersebut seharusnya gugur dan tidak bisa diberlakukan.
Dalam rapat pada 12 Desember 2019, Komisi IX DPR mendukung rekomendasi Kementerian Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk memanfaatkan surplus dana jaminan sosial (DJS) sebagai alternatif pembayaran selisih kenaikan iuran peserta mandiri kelas III.
Usulan tersebut ditawarkan sebagai solusi atas penolakan Komisi IX DPR terhadap kenaikan iuran peserta mandiri kelas III. DPR menilai masih ada kesalahan pada data kepesertaan.
”Penggunaan surplus DJS yang benar harus dipahami bersama saat ini. Surplus digunakan untuk memastikan kecukupan cadangan teknis dalam program JKN-KIS dan menyesuaikan hitungan INA CBGs (pembayaran dengan sistem paket sesuai penyakit yang diderita pasien) dalam pelayanan. Apabila masih ada surplus, artinya iuran peserta bisa dikurangi, bukan untuk membayar selisih kenaikan satu segmen peserta,” ujar pakar asuransi sosial Chazali Situmorang di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan telah diatur besaran penyesuaian iuran peserta JKN-KIS. Aturan itu menyebut, iuran peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III naik menjadi Rp 42.000, peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 110.000, dan kelas I menjadi Rp 160.000. Sementara iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) naik menjadi Rp 42.000.
Chazali menuturkan, kenaikan iuran peserta JKN-KIS harus dilakukan untuk mengatasi disparitas antara pembiayaan manfaat dan penerimaan iuran yang belum seimbang. Dengan begitu, masalah defisit BPJS Kesehatan bisa teratasi dan keberlanjutan program JKN-KIS bisa terjamin.
Selain itu, pembayaran biaya manfaat pelayanan ke rumah sakit bisa lebih lancar. Dari data BPJS Kesehatan per Desember 2019, utang jatuh tempo BPJS Kesehatan ke rumah sakit yang terbawa pada 2020 sebesar Rp 14 triliun.
Pelanggaran
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menambahkan, pemanfaatan surplus dana jaminan sosial untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta mandiri kelas III bisa melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku.
Terdapat tiga aturan yang dilanggar, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
”Dari ketiga aturan tersebut, tidak ada yang menyebutkan dana jaminan sosial dapat dialihkan untuk membayar selisih kenaikan iuran peserta JKN-KIS. Jika sampai dilaksanakan, artinya ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan. Hal ini bisa berdampak kepada direksi BPJS Kesehatan,” katanya.
Pada Pasal 52 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang BPJS, anggota dewan pengawas dan anggota direksi dilarang menyalahgunakan dana jaminan sosial. Apabila itu dilakukan, mereka bisa dikenai sanksi administratif serta sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 8 tahun dan pidana denda sebanyak Rp 1 miliar.
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Oce Madril menyampaikan, selain risiko hukum yang harus dihadapi oleh BPJS Kesehatan, martabat lembaga tersebut bisa terancam. Masyarakat bisa mempertanyakan integritas lembaga yang mengelola dana publik tersebut.
”Penggunaan dana jaminan sosial yang tidak tepat bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan saat melakukan audit keuangan. Ada risiko hukum yang menanti jika ada penggunaan dana jaminan sosial yang tidak sesuai kebijakan,” ujarnya.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, penyelenggaraan program JKN-KIS dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Untuk itu, BPJS Kesehatan pun memastikan akan tunduk pada regulasi serta tidak melanggar tata kelola program JKN-KIS.
”BPJS Kesehatan akan taat pada peraturan yang telah ditetapkan, termasuk Perpres No 75/2019 yang mengatur soal penyesuaian iuran peserta JKN-KIS,” ucapnya.
Data kepesertaan
Chazali mengatakan, masalah utama yang harus diselesaikan adalah pembenahan data peserta program JKN-KIS. Jika alasan Komisi IX DPR menolak kenaikan iuran peserta mandiri kelas III karena masih ada warga tidak mampu yang masuk pada segmen peserta tersebut, artinya pendataan peserta masih bermasalah.
Menurut dia, verifikasi dan validasi data kepesertaan harus diselesaikan, terutama pada data peserta PBI. Kriteria peserta tidak mampu yang dibiayai oleh pemerintah dalam program JKN-KIS juga harus diperjelas. Hal ini mengingat data peserta PBI jauh lebih besar dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang disebutkan oleh Badan Pusat Statistik.
BPJS Kesehatan mencatat, per 31 Desember 2019, jumlah peserta PBI sekitar 135,3 juta jiwa. Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk miskin pada September 2019 sebesar 24,7 juta jiwa.
”Meski pendataan kepesertaan masih bermasalah, bukan berarti menunda kenaikan iuran peserta JKN-KIS. Kenaikan iuran saat ini justru mempermudah pembenahan data peserta. Masyarakat yang tidak mampu bisa mengajukan diri sebagai peserta PBI, sementara pemerintah pusat dan daerah pun lebih selektif memasukkan masyarakat pada peserta PBI,” katanya.