Konferensi Iklim Dibuka dengan Harapan Sekaligus Kecemasan
Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Madrid, Spanyol dibuka pada Senin (2/12/2019) menjadi harapan terakhir untuk mewujudkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris 2015.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Madrid, Spanyol dibuka pada Senin (2/12/2019) menjadi harapan terakhir untuk mewujudkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris 2015. Namun, pertemuan ini dibayangi kekhawatiran seiring dengan melebarnya kesenjangan antara target dan realitas penurunan emisi.
Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties/COP) ke-25 kali ini awalnya dijadwalkan diadakan di Cile, tetapi dibatalkan karena terjadinya kerusuhan sosial, dan dipindahkan di Madrird.
Sekretaris Jenderal Amerika Serikat Antonio Guterres memperingatkan, titik kritis iklim sudah mendekat dan tak ada jalan kembali. "Apakah kita benar-benar ingin dikenang sebagai generasi yang mengubur kepalanya di pasir, yang bermain-main saat planet ini terbakar?" kata Guterres, saat sesi pembukaan.
Guterres mendesak para delegasi dari 200 negara untuk menyelesaikan salah satu hambatan yang belum terselesaikan dari Perjanjian Paris, yaitu peraturan tentang perdagangan karbon, yang dinilai menjadi hal penting untuk mempercepat pengurangan emisi.
Artikel 6 Perjanjian Paris bertujuan untuk mempromosikan pendekatan terpadu, yang akan membantu pemerintah dalam mengimplementasikan target pengurangan emisi nasional masing-masing melalui kerja sama internasional. Hal ini juga dianggap dapat membentuk landasan kebijakan untuk sistem perdagangan emisi, yang dapat membantu mengarah pada harga global untuk karbon.
Perjanjian Paris telah diadopsi oleh 195 negara dalam Konferensi Para Pihak (COP) 21 pada Desember 2015. Perjanjian ini menetapkan rencana aksi global untuk menghindari dampak perubahan iklim menjadi berbahaya dengan membatasi pemanasan global maksimal di bawah 2 derajat celcius dan mengupayakan hingga 1,5 derajat celcius.
Perjanjian Paris menetapkan rencana aksi global untuk menghindari dampak perubahan iklim menjadi berbahaya.
Untuk mencapai target global ini masing-masing negara sebenarnya telah menetapkan target pengurangan emisi nasionalnya (Nationally Determined Contribution/NDC). Indonesia misalnya, menyatakan komitmennya pada COP 15 tahun 2009 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020.
Komitmen Indonesia tersebut diperkuat melalui dokumen NDC Republik Indonesia yang pertama pada November 2016 dengan ditetapkannya target unconditional sebesar 29 persen dan target conditional sampai dengan 41 persen dibandingkan skenario business as usual (BAU) di tahun 2030.
Hampir setiap negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian iklim Paris dan berdasarkan ketentuan pakta tersebut mereka semua harus meletakkan janji iklim baru di atas meja sebelum akhir tahun 2020. Oleh karena itu, COP 25 kali ini dianggap penting untuk mendorong semua negara agar meningkatkan target penurunan emisi.
Namun demikian, menjelang pertemuan, justru Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan menarik diri dari Kesepakatan Paris. Tindakan Amerika Serikat ini menambah kompleks upaya untuk memenuhi target penurunan emisi.
Tindakan Amerika Serikat yang menarik diri dari Kesepakatan Paris menambah kompleks upaya untuk memenuhi target penurunan emisi.
Menurut data Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), konsentrasi gas rumah kaca global mencapai tingkat tertinggi yang tercatat pada tahun 2018. Laporan dari Program Lingkungan PBB (UNEP) juga menunjukkan, ada kesenjangan besar antara rencana yang saat ini dimiliki pemerintah untuk mengurangi emisi dan realisasi yang dilakukan untuk tetap menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 celcius.
Misi Indonesia
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Alue Dohong, menyatakan kesiapan Indonesia dalam upaya diplomasi penanggulangan perubahan iklim kali ini. Menurut dia, Artikel 6 dalam Perjanjian Paris telah mencangkup mekanisme pengurangan emisi melalui mekanisme pasar dan non-pasar.
"Mekanisme pasar ini bisanya yang paling hangat negosiasinya," kata Alue. "Ada negara-negara yang sepakat tapi ada juga ada yang tidak sepakat. Kita berharap COP 25 ini ada kejelasan terkait mekanisme itu."
Alue menegaskan, upaya penanggulangan perubahan iklim harus segera diimplementasikan karena menyangkut resiko yang akan dialami oleh beberapa negara di kepulauan kecil di Pasifik. "Yang paling berisiko negara kepulauan kecil yang rentan berkurang wilayahnya karena terjadi kenaikan muka air laut akibat adanya perubahan iklim," kata dia.
Indonesia yang juga merupakan negara kepulauan dengan 13.000 lebih pulau juga berpotensi mengalami masalah karena kenaikan muka air laut ini. "Kita akan dukung upaya negara-negara kepulauan kecil untuk sama-sama berjuang menekan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat celcius," sebut Alue.
Indonesia yang juga merupakan negara kepulauan dengan 13.000 lebih pulau juga berpotensi mengalami masalah karena kenaikan muka air laut ini.
Selain menyiapkan diplomasi, dalam pertemuan ini Indonesia juga membangun Paviliun Indonesia, yang akan mengundang sejumlah pembicara. Diantara yang sudah dipastikan adalah mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore dan Profesor Nicholas Stern, seorang ekonom penulis buku ‘The Economics of Climate Change’ yang menjadi kitab rujukan global dalam memperhitungan dampak perubahan iklim dalam paradigma ekonomi. Ada juga Profesor Jeffrey Sachs, ekonom Amerika Serikat yang memiliki banyak pemikiran tentang pengentasan kemiskinan.