Saatnya Mengubah Paradigma Narkotika
Menurut Anda, pengonsumsi narkotika adalah penjahat atau pencandu? Kata ”penjahat” mengartikan pemakai narkotika adalah pelaku kejahatan yang mesti dihukum pidana. Adapun sebutan ”pencandu” menjelaskan posisi pemakai sebagai korban kejahatan dalam konteks kesehatan yang membutuhkan rehabilitasi medis.
Menurut Anda, pengganja, penyabu, dan pengekstasi, atau pengonsumsi narkotika, adalah penjahat atau pencandu? Kata ”penjahat” mengartikan pemakai narkotika adalah pelaku kejahatan yang mesti dihukum pidana. Adapun sebutan ”pencandu” menjelaskan posisi pemakai sebagai korban kejahatan dalam konteks kesehatan yang membutuhkan rehabilitasi medis.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dua sudut pandang di atas (kejahatan dan kesehatan) sebenarnya sudah diurai. Hukum negara ini membagi pengertian siapa yang dikategorikan pencandu dan siapa pula sebagai pengedar, kurir, sampai bandar.
Setidaknya ada 37 pasal yang mengatur ketentuan pidana dalam UU Narkotika, dari Pasal 111 sampai 148. Namun, hanya satu pasal yang mengatur tentang penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri. Hukuman penjara maksimal penyalahgunaan/pemakai adalah 4 tahun. Apabila pemakai narkotika terbukti sebagai pencandu, hukumannya ditambah dengan kewajiban untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Adapun 36 pasal lain adalah aturan hukum untuk pengedar, bandar, transito dengan berbagai varian yang diatur secara rinci. Sanksi hukumnya juga bervariasi, mulai dari hukuman penjara ringan, denda, sampai hukuman mati.
Kategori penjahat
Namun, dalam kenyataannya, aparat hukum lebih suka menggunakan kategori ”penjahat” terhadap pemakai narkoba. Faktanya, lebih banyak pemakai yang pencandu dihukum penjara daripada direhabilitasi medis. Bahkan, pemakai narkoba pun sangat sering dihukum dengan jeratan pasal sebagai pengedar.
Hal itu memang bukan salah aparat hukum. Ini karena ada celah frasa pasal tentang menyimpan dan memiliki narkotika dapat juga dikenai hukuman sebagai pengedar. Apalagi banyak penyalah guna berprofesi ganda, sebagai pemakai sekaligus menjadi pengedar untuk membiayai kecanduannya.
Celakanya, penyalahgunaan narkotika Indonesia sudah berada di level membahayakan anak bangsa. Peredaran narkoba tidak hanya di kota, tetapi sampai ke desa-desa. Narkotika tidak mengenal strata sosial, usia anak, dewasa, tua, kaya, miskin, orang terkenal, orang biasa, dokter, guru, petani, nelayan, pelajar, bankir, wartawan, bahkan sampai penegak hukum pun menjadi korbannya.
Kondisi itulah yang menyebabkan lembaga pemasyarakatan di Indonesia senantiasa penuh dengan orang-orang yang terlibat kejahatan narkotika. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM pada Desember 2018, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Indonesia mencapai 256.000 orang.
Dengan kondisi seperti itu, tergambar jelas bahwa negara ini masih menempatkan narkotika dalam pendekatan kejahatan, atau bukan kesehatan.
Dari angka tersebut, pesakitan hukum terkait narkotika mencapai 115.000 orang atau 45 persen dari total narapidana/tahanan. (Pada Mei 2019, jumlah napi/tahanan sudah mencapai 266.000 orang atau bertambah 10.000 orang.) Bahkan, dari 115.000 napi dan tahanan narkotika itu, sebanyak 74.000 orang adalah pengedar atau bandar. Sementara pemakai mencapai 41.000 orang.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, secara rata-rata, penghuni penjara yang tersangkut narkotika mencapai 50 persen dari total kejahatan lain. Artinya, pemakai dan pengedar narkotika lebih banyak daripada pencuri, pembunuh, perampok, pemerkosa, dan koruptor.
Di beberapa daerah di Indonesia, persentase penghuni penjara dari kasus narkotika bahkan lebih besar lagi. Riau, misalnya, memiliki jumlah ”pesakitan” di penjara sebanyak 12.274 orang, 7.000-an di antaranya terkait narkotika. Demikian pula Sumatera Utara.
Apakah pemenjaraan menurunkan kejahatan narkotika?
Nyatanya tidak. Setiap tahun, jumlah pemakai dan pengedar terus bertambah. Apalagi ada aturan ketentuan PP No 99/2009 yang menyebutkan, terpidana narkotika yang dihukum di atas 5 tahun harus menjadi justice collaborator atau ikut membongkar jaringan narkoba, baru boleh mendapatkan remisi. Alhasil, dari tahun ke tahun, kasus narkotika terus menjadi penghuni terbesar di penjara Indonesia.
Dengan kondisi seperti itu, tergambar jelas bahwa negara ini masih menempatkan narkotika dalam pendekatan kejahatan, atau bukan kesehatan.
Biaya konsekuensi pemenjaraan
Apakah pendekatan kejahatan itu salah? Tidak. Namun, negara ini tidak mampu membiayai konsekuensi dari penahanan atau pemenjaraan pelaku narkotika. Coba hitung, berapa biaya makan tahanan/napi narkotika itu?
Taruhlah biaya makan di penjara per orang sebesar Rp 20.000 per hari. Maka, biaya makan untuk seluruh penghuni penjara mencapai Rp 1,8 triliun per tahun. Kalau dirinci hanya untuk napi/tahanan narkotika sebanyak 115.000 orang, biaya makannya mencapai Rp 810 miliar.
Berapa pula biaya penambahan gedung penjara untuk menampung jumlah penghuni yang terus meningkat? Yang jelas, pemerintah keteteran. Percepatan penambahan gedung penjara tidak sejalan dengan penambahan jumlah penghuninya. Tidak ada penjara di Indonesia yang tidak melebihi kapasitas.
Taruhlah biaya makan di penjara per orang sebesar Rp 20.000 per hari. Maka, biaya makan untuk seluruh penghuni penjara mencapai Rp 1,8 triliun per tahun.
Bukan pemandangan aneh apabila satu sel penjara berukuran 20 meter persegi diisi oleh 20 orang atau bahkan lebih. Lihat saja Rutan Siak yang hanya berkapasitas 16 kamar, yang semestinya maksimal diisi 125 orang, dipenuhi 648 orang, atau berkelebihan 500 persen.
Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, yang berkapasitas 350 orang diisi sampai 1.800 orang. Kapasitas Lapas Narkotika Langkat yang semestinya maksimal 915 orang diinapi 1.635 orang.
Di sisi lain, masih banyak permainan kotor dan diskriminatif dilakukan oleh petugas penjara. Uang rokok, uang pulsa adalah setoran biasa.
Sel koruptor yang eksklusif
Hunian sel koruptor sengaja dibuat eksklusif dengan penghuni yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sel kejahatan lain. Napi lain boleh meminta pindah ke ruangan eksklusif asalkan membayar sejumlah uang.
Kasus kerusuhan Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, pada Mei 2015 membongkar kasus suap petugas yang meminta uang pindah kamar sebesar Rp 7,5 juta per orang. Jual beli rekomendasi remisi lain lagi harganya. Semakin besar setoran, remisi lebih cepat diajukan.
Kesumpekan sel penjara dan perilaku tidak terpuji petugas dapat menimbulkan letupan. Letupan kecil kemungkinan dapat diatasi, tetapi akan menyisakan lebih banyak bahan bakar yang sewaktu-waktu akan menjadi bom (waktu). Ketika ada pemicu, bom itu akan meledak dan meluluhlantakkan lingkungan penjara.
Itulah yang terjadi pada Rutan Sialang Bungkuk pada Mei 2015, Rutan Siak pada 11 Mei 2019, dan Lapas Narkotika Langkat pada 16 Mei 2019.
Yasonna Laoly pernah mengatakan, kalau ada satu kejahatan mendominasi kejahatan lain, ada yang salah dalam penanganan kejahatan itu. Artinya, harus ada yang berubah. Kalau tidak, bom-bom itu akan terus meledak di penjara Indonesia.
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Revisi UU Narkotika adalah salah satu pekerjaan rumah Kementerian Hukum dan HAM. Untungnya, Yasonna Laoly menyatakan, pemerintah sedang menyiapkan revisi itu.
Yang sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama yang sudah lama terpatri di benak kita.
Yang utama, isi undang-undang yang direvisi harus benar-benar mengedepankan pendekatan kesehatan untuk pemakai narkotika. Tidak boleh ada celah yang membuat aparatur hukum melakukan manuver pasal demi pasal untuk kepentingan transaksi pribadi.
Hukuman denda untuk pemakai barangkali lebih cocok. Dana yang dikumpulkan dari denda bisa dipakai sebagai biaya rehabilitasi medis dan sosial pencandu.
Tidak salah pula meniru negara Eropa Barat dan Amerika yang sudah lebih dahulu melakukan pendekatan kesehatan atau upaya dekriminalisasi terhadap pengguna narkoba. Bahkan, beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Kanada, Uruguay, Spanyol, dan Portugal sudah membebaskan warganya mengonsumsi ganja untuk kepentingan pribadi. Namun, tetap ada aturan dan batasan.
Pekerjaan rumah itu pasti berat. Seperti kata John Maynard Keynes, ”Yang sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama yang sudah lama terpatri di benak kita”.