“Kami tidak mau membebani orangtua dan kami ingin hidup layak”
Demikian kalimat sederhana yang diutarakan oleh sebagian besar penyandang disabilitas yang tergabung di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Menjadi pegawai negeri atau pun swasta adalah impian yang tersisa dari para penyandang disabilitas tersebut.
Pada usia dengan kisaran umur 20 sampai 29 tahun, mereka berjuang dengan segala keterbatasan fisik maupun mental seperti gangguan pendengaran atau tunarungu, tunawicara, maupun celebral palsy.
Salah satunya Lazzaro Charas (20), seorang tunawicara dengan kondisi otot rahang yang tidak berfungsi baik, tetapi tidak tuli. Ia berkomunikasi lewat layar komputer atau ponsel pintar dengan mengetikkan kata yang ingin diucapkan. Bahkan terkadang menggunakan google translate untuk menyuarakan kalimat yang ingin disampaikan.
Cita-citanya menjadi seorang dokter, namun ia menyadari kemungkinan menggapai itu sangat jauh. Namun, ia tak berputus asa, bersama teman-teman yang lain, Zarro mengikuti pelatihan kewirausahaan di YPAC.
Dalam pelatihan itu, ada sekitar 20 penyandang disabilitas yang berpartisispasi, meski pada akhirnya hanya 12 orang yang bisa lanjut. Untuk membimbing dan mengarahkan mereka dalam bidang kewirausahaan, dibutuhkan dukungan dari dari banyak pihak terutama orangtua.
Sebab, tiap penyandang disabilitas membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda, misalnya, motivasi untuk membangun mental. Pendampingan orangtua juga sangat diperlukan karena penyandang disabilitas tidak bisa dilepas begitu saja.
“Untuk mengajak mereka rajin datang ke pelatihan, mengerjakan tugas, bahkan menemukan ide dasar produksi, diperlukan pendampingan orangtua dan dukungan mentor. Mereka tentu masih mempunyai rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran,” ujar Ketua Nasional YPAC Ratna Djuita.
Dari pelatihan tersebut lahir beberapa produk wirausaha yang bisa untuk dijual dan paling banyak adalah makanan. Mulai dari nasi kebuli dengan merk “Agoy”, kue cokelat merk “hza.cho”, jajanan ketan merk “Alaketan”, dan satu lagi adalah produk kaos oblong merk “GHG” yang merupakan inisial dari tiga pencetusnya.
Riza Ahmad Fauzi (24), salah satu anggota dari “hza.cho”, mengatakan ingin menjadi orang yang sukses. Melalui gerakan tangan dan jari, ia menyatakan bahwa sukses adalah menikah, punya anak, dan punya rumah sendiri. Arti sukses yang sederhana tapi sarat makna.
“Ingin kerja di bagian IT,” ujar Riza melalui gerakan bibir.
Lain halnya dengan Clara Greta A (24), seorang tunawicara dan tunarungu yang ingin menjadi desainer, lalu Grenaldi Samuel S (19) yang ingin menjadi youtuber.
Atau Hadyan M Haeza yang ingin membuat perusahaan IT khusus untuk penyandang disabilitas, juga Zarro yang tetap ingin berwirausaha dalam produk makanan. Macam-macam impian yang diutarakan, tetapi dengan harapan yang sama, yaitu mendapat penghidupan layak, terjamin, tidak membebani keluarga maupun oranglain.
Saat ini, kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas jauh lebih besar dibanding beberapa tahun ke belakang. Lembaga pemerintahan maupun perusahaan swasta sudah memberikan kuota bagi para penyandang disabilitas. Namun, tetap saja ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi
Berdasarkan data yang diutarakan oleh Ketua YPAC Nasional Ratna Djuita, ada sekitar empat juta penyandang disabilitas di Indonesia yang belum mendapatkan pekerjaan. Salah satu kendalanya adalah persyaratan kerja dari perusahaan yang tidak sesuai dengan kelas dan jenis disabilitas.
Dengan demikian, pada akhirnya penyandang disabilitas yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan, mau tidak mau akan mencari jalan keluar sendiri untuk mendapat penghasilan.