Pengetahuan lokal tentang smong yang menyelamatkan penduduk Pulau Simeulue saat tsunami 26 Desember 2004 menjadi bukti pentingnya pengetahuan lokal dalam mitigasi bencana. Ribuan rumah hancur, tetapi yang meninggal tak lebih dari tiga orang di pulau kecil di Samudra Hindia itu. Bandingkan dengan sekitar 150.000 warga yang meninggal di pesisir Aceh pada saat yang sama.
Tak hanya di Simeulue, masyarakat tradisional di pelbagai kawasan daerah di Indonesia memiliki istilah dan kisah tentang tsunami. Di Pulau Ambon, misalnya, mereka menyebutnya air turun naik, di Singkil disebut galoro. Warga Kaili di Palu menyebut bombatalu untuk tsunami yang datang hingga tiga kali, sementara orang Kaili dan Mandar di Donggala menyebutnya lembotalu.
Di Aceh, setelah 2004, sejumlah warga mulai mengingat kembali istilah ie beuna—tentang banjir besar dari laut—yang dulu kerap dikisahkan leluhur mereka. Masyarakat Indonesia saat ini tampaknya harus menggali pengetahuan lokal yang bisa memberi perlindungan dalam menghadapi bencana.
Di masa lalu, siklus gempa bumi dan tsunami tidak menjadi ancaman karena masyarakatnya tinggal di pedalaman. Peradaban besar di Sumatera hampir semuanya tumbuh di sepanjang pantai timur yang aman dari bencana, mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Melayu-Riau, hingga Samudera Pasai. Bahkan, akses utama ke Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau lebih banyak melalui sungai-sungai di pantai timur dibandingkan pantai barat Sumatera.
Fenomena serupa terjadi di pesisir selatan Jawa yang menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami. Pertumbuhan kawasan itu baru terjadi setelah Belanda membangun pelabuhan di Cilacap pada tahun 1840. Demikian juga masyarakat di Ambon dan Pulau Seram, yang sebelum kedatangan Belanda tinggal di perbukitan, sehingga ketika tsunami melanda pada tahun 1674, jumlah penduduk lokal yang menjadi korban jiwa relatif kecil.
Namun, seiring dengan waktu dan kondisi ekonomi, pengetahuan lokal itu semakin terlupakan. Bisa jadi selain faktor perdagangan dan kolonial, pertumbuhan penduduk ke zona rentan tsunami juga dipicu oleh siklus bencana yang panjang. Setelah letusan Gunung Krakatau yang diikuti tsunami pada tahun 1883—menewaskan lebih dari 36.000 jiwa—geologi Indonesia memasuki fase tenang. Menurut sejarawan Anthony Reid dari Australian National University (2016), pada periode inilah pertumbuhan penduduk melonjak dari 25 juta jiwa pada tahun 1885 menjadi 205 juta penduduk pada tahun 2000, sebagian besar di antaranya tinggal di pesisir.
Pertumbuhan penduduk itu meningkatkan kerentanan, seperti terlihat dalam 15 tahun terakhir. Korban jiwa akibat gempa dan tsunami di negeri ini mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Sebagian besar korban terjadi karena penduduk yang tinggal di zona bahaya tidak memiliki pengetahuan tentang risiko bencana di tempat tinggalnya sebagaimana terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda pada 2018.
Sebagian daerah, di antaranya Kepulauan Mentawai dan Padang, telah mendapatkan peringatan bahaya: bahwa ada ancaman bahaya dari zona patahan raksasa di kawasan ini dan diyakini telah berada di ujung siklus. Meski demikian, ilmu pengetahuan manusia masih terbatas: gempa bumi belum bisa diprediksi dengan pasti kapan terjadinya.
Oleh karena itu, penting untuk kembali pada pengetahuan lokal untuk membangun kesiapsiagaan secara berkelanjutan dan dapat diwariskan. Apalagi, di sepanjang Nusantara hampir semua wilayah rawan gempa plus tsunami di pesisir. Gempa besar berikutnya bisa terjadi kapan pun dan di mana pun di negeri ini, mulai dari Aceh hingga Papua.