JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam perkara kerusakan hutan yang melibatkan PT National Sago Prima di Riau. Dalam perkara itu, MA mengabulkan gugatan Rp 1 triliun terhadap perusahaan swasta itu .
Putusan perkara Nomor 3067 K/PDT/2018 itu diunggah di situs MA, Rabu (2/1/2019). Majelis hakim kasasi dipimpin Ketua Kamar Perdata MA Soltoni Mohdally dan dua anggota, yakni Hamdi dan Yunus Wahab. Putusan itu dikonfirmasi juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, Rabu, di Jakarta.
”Majelis dalam pertimbangannya membebankan perusahaan selaku tergugat membayar ganti rugi untuk pemulihan lingkungan yang terbakar atau merehabilitasi lingkungan,” kata Andi.
Majelis menilai, perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di lahan yang diolahnya. ”Perusahaan memperoleh izin pengelolaan lahan hutan sehingga sesuai prinsip strict liability, perusahaan harus bertanggung jawab atas risiko kerusakan di lahan itu,” kata Andi.
Putusan MA itu bisa dieksekusi jika telah dikirim ke pengadilan pengaju, yakni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sesuai prinsip dalam perkara perdata, putusan berkekuatan hukum tetap itu baru bisa dieksekusi jika penggugat mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan, kecuali tergugat sukarela melaksanakan putusan kasasi itu tanpa melalui eksekusi pengadilan.
Andi mengatakan, MA menaruh perhatian serius terhadap isu-isu kerusakan lingkungan hidup karena masalah lingkungan di Tanah Air dinilai krusial. Setiap perkara terkait lingkungan hidup akan ditangani dengan profesional oleh hakim-hakim bersertifikasi atau memiliki keahlian khusus dan sertifikasi di bidang hukum lingkungan hidup.
”Hakim yang menangani perkara lingkungan hidup adalah mereka yang memiliki sensitivitas tinggi pada lingkungan hidup. MA melakukan sertifikasi pada mereka, sama derajatnya dengan sertifikasi pada hakim khusus tindak pidana korupsi dan kejahatan bidang perikanan,” katanya.
Segera eksekusi
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan, putusan MA pada PT National Sago Prima itu menambah panjang daftar kemenangan KLHK dalam gugatan hukum terkait kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Dari catatan ICEL, KLHK memenangi sembilan perkara perdata kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Total ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada sejumlah korporasi yang menimbulkan kerusakan lingkungan minimal Rp 18 triliun.
”Ini menjadi momentum bagi KLHK untuk mendesak pengadilan-pengadilan negeri tempat perkara itu diajukan agar segera mengeksekusi putusan pengadilan. Tujuannya agar ganti rugi yang dibebankan kepada perusahaan itu segera direalisasikan untuk perbaikan lingkungan,” kata Henri.
Dari sembilan perkara yang dimenangi KLHK itu, baru sebagian kecil yang dimohonkan eksekusinya oleh KLHK. Tindakan cepat KLHK diperlukan sehingga kerusakan lingkungan bisa segera diatasi dan kemenangan di pengadilan tidak hanya jadi kemenangan di atas kertas.
”Kalau tidak melakukan eksekusi, sama saja pengadilan meremehkan putusan mereka sendiri. Menteri KLHK juga perlu berkoordinasi dengan Ketua MA untuk mengingatkan ketua-ketua pengadilan tempat perkara itu dimenangkan agar segera mengeksekusi,” ujarnya.
Sejauh ini, baru dua perkara yang dimohonkan eksekusi, yakni kasus PT Kallista Alam di PN Meulaboh, Aceh, serta kasus PT Merbau Pelelawan Lestari (MPL) di PN Pekanbaru, Riau. Sayangnya, eksekusi pada dua perusahaan itu belum dilakukan meski permohonan eksekusi telah diajukan ke pengadilan setempat.
Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Sahid Wahyu Nugroho menegaskan, KLHK selaku penggugat perdata mewakili negara berhak penuh menuntut eksekusi atas putusan hakim itu. ”Jangan terulang kasus PT Kallista Alam, yakni mereka menggugat balik dan dimenangkan di PN Meulaboh. Ada soal di putusan PN Meulaboh itu seolah menganulir putusan MA sebelumnya yang membebankan ganti rugi pada perusahaan itu,” katanya.
”Pertanggungjawaban pidana korporasi dan dasar strict liability sebagai asas paling ampuh memerangi korporasi pembakar hutan. Menjalankan putusan pengadilan jadi bagian komitmen negara untuk taat pada konstitusi dan negara hukum,” ungkapnya. (REK)