Iklan Rokok Mengeksploitasi Anak
DEPOK, KOMPAS – Pengawasan dan regulasi pemerintah untuk melarang iklan rokok sangat lemah. Padahal, berbagai survei menunjukkan ancaman iklan dan promosi rokok semakin nyata menyasar anak dan remaja di Indonesia. Selain itu, iklan rokok dinilai menjadi salah satu bentuk eksploitasi pada anak.
Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo menyatakan, iklan rokok menunjukkan ekploitasi anak secara ekonomi. Anak-anak secara tidak etis dimanfaatkan untuk keuntungan ekonomi bagi industri rokok.
”Eksploitasi ini dengan memanfaatkan kerentanan, kelemahan, dan potensi adiktif pada anak dan remaja. Negara harus hadir dalam upaya perlindungan anak,” katanya seusai diskusi publik “Membongkar Strategi Industri Rokok Membidik Anak dan Kaum Remaja” di Gedung Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (12/11/2018).
Untuk itu, Widyastuti menegaskan, redefinisi atau merumuskan ulang batasan terkait eksploitasi anak secara ekonomi melalui iklan rokok perlu dilakukan. Dalam Undang-Undang Nomor 35/2014 pasal 59 ayat (1) serta (2) d dan e tentang Perlindungan Anak menyebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban melindungi anak dari ekploitasi secara ekonomi serta melindungi anak dari bahaya zat adiktif.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013-2018, prevalensi perokok usia kurang dari 18 tahun tahun di Indonesia terus meningkat. Pada 2013, prevalensi perokok 7,2 persen. Angka itu meningkat pada 2018 menjadi 9,1 persen. Sementara, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) menargetkan, prevalensi perokok menjadi 5,4 persen.
Ketua Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari menambahkan, larangan iklan rokok mutlak dibutuhkan karena anak dan remaja merupakan target promosi industri rokok. Pada 2016, survei yang dilakukan di 5 kota menunjukkan, 85 persen sekolah dikelilingi oleh iklan rokok. Iklan rokok yang melekat di papan atau spanduk nama toko sekitar sekolah juga ditemukan di 40 persen sekolah.
Namun, masifnya iklan rokok di lingkungan anak dan remaja, tidak membuat pemerintah bertindak tegas. “Peraturan pelarangan iklan rokok di Indonesia paling lemah di antara negara-negara di ASEAN, bahkan di dunia. Regulasi yang ada hanya membatasi, tidak secara tegas melarang iklan rokok. Padahal rokok termasuk produk yang mengandung zat adiktif dan berdampak negatif bagi konsumennya,” kata Lisda.
Peraturan pelarangan iklan rokok di Indonesia paling lemah di antara negara-negara di ASEAN, bahkan di dunia. Regulasi yang ada hanya membatasi, tidak secara tegas melarang iklan rokok.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2013 mencatat, 144 negara di dunia telah melarang total iklan rokok di media penyiaran. Khusus di Asia Tenggara, hampir semua negara ASEAN melarang iklan rokok di media penyiaran, kecuali Indonesia.
Kepala Subdirektorat Pengawasan Rokok, Direktorat Pengawasan Napza Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Moriana Hutabarat menambahkan, regulasi untuk mengawasi produk tembakau saat ini masih lemah. Akibatnya, upaya pembatasan pun tak maksimal.
Pihaknya menyadari, pelanggaran yang dilakukan terkait pengendalian produk tembakau banyak ditemui. Namun, selama ini tindakan yang diberikan sekadar imbauan dan tidak ada sanksi yang bisa diterapkan. “Regulasi yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 (Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan) harus direvisi agar sanksi jelas,” katanya.
Beban negara
Menurut Dosen Ilmu Komunikas Universitas Indonesia Chandra Kirana, pelarangan iklan rokok sebagai langkah strategis untuk melindungi masa depan generasi muda. Beban negara bisa lebih besar jika tidak ada upaya yang tegas.
Apalagi industri rokok terus melakukan inovasi dalam strategi pemasarannya. “Ada larangan (iklan) saja, (industri rokok) bisa mencari celah. Apalagi tidak ada (larangan) seperti saat ini. Situasi sudah sangat darurat, pemerintah harusnya tegas untuk melarang,” kata Chandra.
Di tempat terpisah, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, warga sehat jadi modal ketangguhan dan daya saing bangsa. Keterlibatan pemerintah pusat dan daerah, swasta, serta masyarakat dibutuhkan untuk membudayakan perilaku hidup sehat, termasuk tidak merokok. "Hidup sehat mulai dari kita," kata Nila pada Peringatan Hari Kesehatan Nasional, kemarin, di Jakarta.
Pada kesempatan sama, Griya Sehat diresmikan sebagai upaya hidup sehat dari diri sendiri. Griya sehat ialah fasilitas layanan kesehatan tradisional di Kemenkes, Jakarta. Griya itu menanamkan konsep rumah sehat dengan fasilitas akupuntur, pijat bayi, ramuan obat tradisional, hidroponik, dan ada berbagai tanaman obat.
Penghargaan diberikan pada lima sosok inspiratif berperan dalam pembangunan kesehatan dengan dedikasi dan melayani warga dalam keterbatasan. Lima sosok itu adalah rujukan pemberitaan Harian Kompas yang telah diseleksi tim juri dari Kemenkes dan ahli.
Mereka adalah Abie Wiwoho Hantoro (70), dosen yang mengembangkan instalasi pengolahan air limbah di area padat penduduk, Dudi Krisnadi (49), penggagas kampung konservasi kelor di Blora. Ada juga Eros Rosita (47), bidan warga Baduy, Banten, Saiful Rumain (29), perawat warga pedalaman Seram, Maluku, dan Maria Magdalena Endang Sri Lestari (44) yang membangun rumah singgah bagi anak-anak dengan HIV/AIDS. (TAN/E17)