JAKARTA, KOMPAS - Persoalan agraria yang kronis membutuhkan penyelesaian konflik secara menyeluruh. Program reforma agraria selama ini dinilai belum menyentuh persoalan konflik agraria yang sudah kronis.
Hal yang menjadi persoalan utama dalam reforma agraria adalah munculnya konflik yang berakar dari ketidaksetaraan akses pada tanah. Persoalan agraria tersebut terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Demikian diungkapkan dalam konferensi pers menuju Global Land Forum (GLF) 2018 yang akan diadakan di Bandung, 22-27 September 2018, Jumat (21/9/2018), di Jakarta. Penjelasan diberikan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto, Direktur International Land Coalition Michael John Taylor, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, dan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nurhidayati.
Secara global, kata Taylor, lebih dari 2 miliar orang tinggal di tanah, di mana kepemilikan tanah berdasarkan keanggotaan dalam masyarakat. Hanya 20 persen dari komunitas itu yang memiliki kontrol hukum atas tanah dan terancam investor. Sementara para pejuang hak atas tanah mengalami kriminalisasi dan kekerasan. ”Di dunia, 207 pejuang tanah dibunuh dan sebagian dikriminalisasi, di antaranya dari Indonesia,” ujar Taylor.
Dewi menambahkan, tanah-tanah yang dikuasai investor, tetapi tidak digarap seharusnya ditarik izinnya dan bisa menjadi obyek reformasi agraria. ”Sebab, kementerian yang bikin masalah sebagai pemberi izin.” Dia juga menyarankan agar reforma agraria memprioritaskan tanah yang sudah siap karena sudah bertahun menjadi tempat tinggal masyarakat.
Rukka menyatakan, meskipun pemerintah telah memiliki kebijakan agar masyarakat bisa menjadi pemilik dan pengelola tanah, tetapi prosesnya sulit dan berbelit.
Saat ini ada empat jalur untuk memperoleh hak atas tanah, yaitu melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR); Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); serta Kementerian Dalam Negeri. ”Mekanismenya berbeda-beda dan tidak saling mengakui,” katanya.
Sementara itu, Bambang menjelaskan, sudah ada 1,9 juta hektar tanah diserahkan untuk skema perhutanan sosial. Hutan adat, tambah Bambang, ada 33 surat keputusan mencakup 25.110,34 hektar. Pencapaian KLHK tersebut mendapat apresiasi. Sementara itu, Nurhidayati menegaskan agar program reforma agraria diteruskan pemerintah selanjutnya karena tahun depan ada pemilihan presiden. Luas total lahan untuk reforma agraria 21,1 juta hektar. (ISW)