Komunike Cikini: DAU untuk Pendanaan Kabupaten Kaya Hutan

Penyerahan laporan simulasi skema kebijakan Dana Alokasi Umum (DAU) dari perwakilan Kabupaten Kepulauan Aru oleh Staf Ahli Bupati Bidang SDM dan Administrasi Keuangan Alexander Pieter Daniel Tabela yang diserahkan kepada Direktur Dana Perimbangan Kemenkeu Putut Hari Satyaka (nomor dua dari kanan), Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin (tengah), Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Jamaluddin Jompa (nomor dua dari kiri), dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro (paling kiri).
Jakarta, Kompas-Sejumlah 31 pemimpin daerah terdiri dari bupati dan pejabat daerah kabupaten/kota melahirkan Komunike Cikini yang berisi persoalan pendanaan dari pusat untuk daerah kaya hutan. Menurut rencana, Komunike Cikini akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan penyerahannya dihadiri Menteri Keuangan.
"Para bupati, sekitar 30 bupati, akan menyampaikan langsung," jelas Sonny Mumbunan, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Selasa (18/9/2018).
Komunike tersebut berisikan, pertama menegaskan tekad pemerintah daerah untuk menjaga dan memulihkan hutan. Kedua, menyatakan perlunya kebijakan nasional untuk memasukkan variabel tutupan hutan dalam dana alokasi umum (DAU). Ketiga, meminta kementerian/lembaga terkait untuk mengakomodir aspirasi dengan membuat regulasi dan revisi formulasi perhitungan dana alokasi untuk pemda. Keempat, reformulasi dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan ilmu pengetahuan terbaru.
Sementara kementerian dan lembaga yang disebut-sebut terkait dalam persoalan DAU tersebut antara lain: Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian PPN/Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).
Lahirnya Komunike Cikini merupakan puncak Konferensi Transfer Fiskal Kabupaten Kaya Hutan yang digelar oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Selasa (18/9/2018) di Jakarta. Dalam konferensi tersebut hadir bupati, atau yang mewakilinya, dari 31 kabupaten/kota. Di antaranya hadir Wakil Bupati Sorong Selatan, Papua Barat Martinus Salamuk, Bupati Berau, Kalimantan Timur H. Muharram, dan Bupati Luwu Utara, Sulawesi Selatan Indah Putri Indriani.
Dalam konferensi tersebut Sonny memaparkan hasil riset yang dia lakukan pada 30 kabupaten kaya akan hutan. Menurut dia, dalam isu ini terdapat dua persoalan krusial.
Pertama, kebutuhan fiskal yang lebih tinggi di daerah kaya akan hutan. Biaya dibutuhkan untuk melakukan perlindungan dan pemulihan hutan. Kebutuhan fiskal tersebut lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang tidak memiliki hutan atau wilayah hutannya kecil. Persoalan kedua yaitu kemampuan fiskal daerah kaya hutan lebih rendah dari daerah lain yang wilayah hutannya kecil atau tidak memiliki hutan. Sebab, daerah tersebut tidak dapat memanfaatkan hutannya untuk kegiatan ekonomi yang berpotensi merusak hutan seperti pertambangan atau perkebunan sawit.
Dari penelitian Sonny, terdapat tiga kecenderungan. Semakin tinggi proporsi luas hutan maka pendapatan asli daerah (PAD) cenderung turun. Selain itu dana bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) juga cenderung turun. Sedangkan produk domestik regional brutto (PDRB) cenderung tetap atau sedikit turun.
Sonny mengusulkan kebijakan transfer fiskal yaitu DAU dengan memasukkan indikator luas tutupan lahan. Dengan memasukkan luas hutan primer dan sekunder dalam indikator luas wilayah perhitungan DAU, Sonny mensimulasikan Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, yang memperoleh DAU 2016 sebesar Rp 807,83 miliar bisa mendapatkan DAU Rp 915 miliar. Simulasi pada daerah dengan luas hutan lebih kecil pada Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah tambahan DAU hanya sekitar Rp 9,77 miliar. ”Hakikat penghitungan DAU bersifat zero-sum, penambahan indikator dan bobot berarti DAU naik untuk daerah tertentu sekaligus turun untuk daerah lain sehingga jumlah total DAU sama,” kata Sonny.(Kompas, 18/09/2018).
"Kita mengenalkan luas tutupan hutan. Ini usulan yang tidak radikal, tapi efektif. Riset ini menggunakan asumsi, data dan formula yang persis sama dengan kementerian keuangan (DAU 2016)," Sonny menambahkan. Menurut dia, indikator luas hutan yang diusulkan bisa langsung ditambahkan pada indikator lain yang sudah ada yaitu luas wilayah dan luas laut yang sudah ada dalam skema DAU selama ini.
Skema DAU, kata Sonny, paling dekat dengan tujuan melindungi dan memulihkan hutan. Skema DAU juga bersifat cukup umum, ini sesuai dengan hakikat umum dari indikator dalam DAU. Selain itu, penambahan indikator ini tidak memerlukan perubahan Undang-Undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Sementara itu Direktur Dana Perimbangan Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka menggarisbawahi, "Untuk indikator di Kemenkeu, darat dan laut sudah kita hitung. Kalau kita tambahkan luas hutan akan redundan (mubazir-red)atau variabel double."
Dia juga mempertanyakan tujuan dari skema DAU untuk daerah kaya hutan ini. "Ini tentang meningkatkan pendapatan daerah, atau meningkatkan kualitas manajemen kehutanan? Kalau dari Pak Sonny tadi, seolah-olah kita sedang meningkatkan pendapatan daerah daerah kaya tutupan hutan. Tapi kalau Prof Daniel (Murdiyarso-red), sebenarnya fokus para pegiat kehutanan lebih pada kualitas hutan yang semakin baik. Dia mengatakan, "DAU itu prinsipnya seperti balon, kalau digelembungkan di satu sisi, kabupaten lain tidak dapat. Kita akan merugikan Rp 4,2 miliar/kabupaten di seluruh Indonesia jika begini."
Sementara Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarrifuddin mengatakan, pemberian DAU sebagai transfer fiskal bagi daerah kaya hutan membutuhkan kesepakatan. "Keputusan untuk itu harus ada kesepakatan pemerintah dan DPR. Argumen-argumen tersebut menjadi masukan yang konstruktif. Untuk itu harus ada kebijakan karena ada penambahan itu implikasinya bisa mengurangi DAU daerah lain karena DAU sudah ada formulanya. Kata kuncinya yaitu kesepakatan sebelum ada regulasi," katanya.
Dari simulasi yang dilakukan di 30 kabupaten, sebagai ilustrasi, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara akan mendapatkan tambahan DAU Rp 107,2 miliar dari DAU semula Rp 807,83 jika ditambahkan indikator tutupan hutan. Ilustrasi lain yaitu DAU Kabupaten Gayo Lues, Aceh akan bertambah 10,19 miliar dari Rp 455,37 miliar jika memasukkan indikator tutupan hutan.
Sementara itu menteri lingkungan hidup yang pertama di Indonesia, Emil Salim mengatakan, "Rangsangan fiskal dapatnya dari mana, berarti mensubsidi daerah kaya hutan dan membebani pusat. Logikanya cara membangun dengan hutan yang harus diubah. Hutan itu sumber air, sumber energi hidro, hutan itu sumber bioresource logikanya bisa ditingkatkan. Hutan juga kaya budaya lokal sumber kerajinan dan wisata lokal. Kekayaan hutan itu yang dikembangkan."
Menurut Emil harus dipikirkan bagaimana mengelola hutan secara sustainable (berkelanjutan). "Kan bisa untuk pengairan, listrik, produk hutan non-kayu, pariwisata, dan kerajinan. Itu yang harus dikembangkan. Jika ada transfer fiskal maka kreativitas tidak berkembang," katanya. Tentang kewenangan atas hutan ada di tingkat provinsi, menurut Emil Salim harusnya kewenangan atas hutan di tingkat kabupaten.
Kewenangan di provinsi
Sementara itu secara umum hampir semua daerah menyebut bahwa kewenangan akan hutan di pemerintah provinsi merupakan tantangan berat. Bagaimanapun, ujar beberapa kepala daerah, wilayah hutan tersebut ada di dalam wilayah yang menjadi tanggung jawab mereka, sehingga hutan yang ada pun menjadi beban tanggung jawab mereka.
"Terkait kewenangan hutan yang tidak di kabupaten. Yang merusak hutan itu bukan kabupaten, tapi pusat dan provinsi karena izin pertambangan dan perkebunan dari sana. Kalau lihat pengusaha-pengusaha itu bisa lobi ke menteri, kami bupati tak bisa apa-apa lagi," ujar Muharram.
Tentang kewenangan tersebut Indah mengatakan, "Akibat perubahan kewenangan ke provinsi melalui UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kami menghadapi tantangan terutama soal perambahan. Karena pergeseran kewenangan ini kami cukup menghadapi tantangan untuk melakukan pengawasan." Dia berharap, pemerintah menganggap hal ini penting dan bisa membuat penganggaran dengan menambahkan indeks tutupan hutan.
Dia juga mendesak agar penetapan formula bisa diputuskan secara bersama oleh kementerian lembaga dan daerah yang berkaitan dengan cara duduk bersama. Menurut dia, tanggung jawab menjaga hutan adalah tanggung jawab bersama.
Sementara pengalaman Bupati Kapuas Hulu, AM Nazir, "Luas kabupaten kami itu 50% adalah kawasan hutan. Tahun 2004 kami sudah deklarasi sebagai kabupaten konservasi. Kami ini menjadi paru-paru dunia, tapi kami miskin dan terbatas. Menjadikan kabupaten miskin dan tertinggal."
"Hutan Indonesia ini merupakan paru-paru dunia, jadi penting untuk dijaga," ujar Indah. Dia menyebut hutan Luwu Utara sebagai benteng terakhir. Saat ini untuk menjaga hutan yang mencapai lebih dari 75,48 persen wilayahnya, Luwu Utara menerima Dana Bagi Hasil Reboisasi tahun 2017 sekitar Rp 600.000. "Dengan Rp 600 ribu kami tidak bisa berbuat banyak. Kami mendorong dengan kebijakan afirmatif dan advokasi," tutur Indah.
Persoalan yang dihadapi berbagai daerah kaya hutan adalah keterbatasan mereka dalam menggunakan sumber daya hutan. Di sisi lain kawasan hutan dapat berubah menjadi kawasan pertambangan atau perkebunan karena izin yang dikeluarkan oleh provinsi. Tanggung jawab menjaga kelestarian hutan berubah menjadi beban sebab pemda pun tidak mendapatkan DBH karena tak ada pemasukan negara dari hutan.
Sementara itu Wakil Bupati Sorong Selatan, Papua Barat, Martinus Salamuk tantangan yang dia hadapi yaitu demikian luasnya hutan yang masih bagus yang tidak bisa diolah. Untuk perekonomian dari produk hasil hutan non-kayu. "Kami punya tugas tanggung jawab menjaga hutan namun kami tidak bisa mengolahnya," ujarnya.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama ini masih ada mispersepsi bahwa hutan tidak boleh diolah oleh masyarakat. Padahal, saat ini telah ada skema pengelolaan hutan bersama berbagai pemangku kepentingan di bawah skema Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan perhutanan sosial.
Namun dia mengakui, pengelolaan hutan di bawah KLHK juga mengalami kendala karena minimnya anggaran. Khusus untuk kehutanan, hanya ada Rp 6 triliun. Itu pun untuk belanja pegawai sebagian besar. Di situ semua ada (tercakup), untuk reboisasi, lahan, hutan, dan sebagainya. Kondisi sekarang: satuan kerja makin banyak namun uangnya tidak (bertambah), maka semakin sedikit yang dibagi.
Muharram, Bupati Berau, menegaskan, perusakan hutan oleh masyarakat lokal amat kecil skalanya jika dibandingkan dengan izin-izin yang dikeluarkan dari provinsi. "Yang paling merusak selama ini adalah pertambangan dan perkebunan. Perkebunan walau ada tutupan hijau namun yang jelas ekosistem telah rusak," ujarnya. Tutupan hutan Berau sekitar 22 juta hektar dari luas daerah 34 juta hektar. "Hutan kami masih perawan," tuturnya.
DAU sebagai insentif
Muharram mengungkapkan pengalamannya melakukan studi banding ke India. Menurut dia, masyarakat menjadi bersemangat untuk merawat hutan dan bahkan menanami untuk menghutankan kembali karena pemerintah India memberikan insentif. Menurut dia, sekarang luas hutan di India bertambah.
Beberapa orang bupati bersama Sonny dan wakil dari KLHK, Kemendagri, dan Kemenkeu telah melakukan studi banding ke India untuk melihat skema fiskal untuk pelestarian hutan.
"Di sini kan usulannya adalah memasukkan indikator tutupan hutan agar DAU bisa menjadi motivasi baru untuk menjadi lebih hijau. Di India yang sudah menanam melaporkan kepada pemerintah. Mereka menanam ulang kembali daerah-daerah yang gersang," ujar Muharram.
"Sementara di sini, justru kawasan Area Penggunaan Lain (APL) yang kadang-kadang masih bagus namun lantas diubah menjadi perkebunan karena statusnya APL. Maka semangat dari regulasi ini adalah mengurangi semangat menerbitkan izin-izin untuk perusahaan besar dalam rangka mempertahankan hutan," katanya.
Bupati Gayo Lues Muhammad Amru mengatakan, "Kita sudah lama berteriak agar indikator tutupan hutan sebagai indikator DAU. Atau mekanisme apa saja yang bisa menambah insentif. Dari 579.000 hektar hutan di Gayo Lues, hanya 18 % bisa djadikan lahan budidaya dan ekonomi."
Menanggapi berbagai masukan dan pernyataan para pemimpin daerah tersebut, Putu Hari tegas meminta kejelasan tujuan transfer fiskal: untuk meningkatkan pendapatan atau meningkatkan kualitas kehutanan? "Itu diperjelas dulu. Sebab, DAU itu general block grant, yang seluruh variabelnya bersifat umum yaitu sebagian besar daerah mempunyai variabel itu. Kalau dipaksakan unsur yang spesifik, nggak jadi DAU itu lagi. Sejak awal kami sampaikan masalah manajemen kehutanan itu yang harus kita lakukan, tapi apakah jawabanhya DAU? Saya yakin 90% bukan DAU." Sementara Syaiful mengatakan, yang terpenting adalah, "Kita kembalikan ke mindset. Punya nggak political will? Semua harus punya. Mau nggak tanggung jawab bersama. Ini ide absah dan bagus," ujarnya. (ISW)