SURABAYA, KOMPAS — Usaha untuk membentuk keterampilan produksi vaksin dengan penguasaan kemampuan mengatur besaran partikel adjuvant atau media pembawa vaksin, dengan menggunakan mesin pemecah partikel, amat penting untuk menyongsong tibanya saat Indonesia memproduksi sendiri kebutuhan vaksinnya.
Upaya berswasembada kebutuhan vaksin tidak terelakkan bagi Indonesia mengingat besarnya kebutuhan vaksin untuk manusia dan hewan ternak. Meski ada kegiatan produksi vaksin oleh BUMN, kata pendiri dan Pembina Yayasan Profesor Nidhom (YPN), CA Nidhom, di Surabaya, Sabtu (14/7/2018), sebagian besar belanja kebutuhan vaksin di Indonesia untuk orang ataupun hewan ternak sangat bergantung pada belanja ke produsen luar negeri.
Peta kebutuhan vaksin nasional, menurut Nidhom, yang menjabat Guru Besar Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, meliputi belanja vaksin untuk manusia dan hewan ternak.
Ia mengatakan, belanja vaksin untuk kebutuhan manusia sebesar Rp 1,8 triliun hingga Rp 2 triliun setahun, yang sebagian dipenuhi BUMN. Itu kebutuhan yang wajib, tidak termasuk jika ada kejadian luar biasa.
Kebutuhan vaksin ternak rata-rata Rp 10.000 per ekor ayam. Dengan demikian, untuk kebutuhan setahun dengan populasi 60 juta ekor sekitar Rp 600 miliar. Sementara kebutuhan untuk hewan besar sekitar Rp 50 miliar setahun.
”Itu pangsa pasar yang sangat besar bagi produsen vaksin luar negeri. Maka, untuk menyelamatkan uang belanja vaksin, cepat atau lambat, Indonesia harus mendirikan industri vaksinnya sendiri. Hanya masalahnya, penguasaan teknologi produksi vaksin juga belum dimiliki oleh Indonesia. Rugi kalau hanya beli dari asing,” tutur Nidhom.
YPN sudah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Swiss, melalui Swiss National Foundation, untuk merintis pembelajaran ketrampilan produksi vaksin.
”Pemerintah belum punya rencana induk produksi vaksin. Namun, dengan kesadaran akan pencegahan penyakit atau penanggulangan dari arah hulu, produksi vaksin adalah jalan termurah dan termudah untuk menekan biaya kesehatan nasional,” ujarnya.
”BPJS sudah kewalahan dengan biaya penanggulangan penyakit kuratif atau hilir yang sangat menguras dana. Maka, vaksin adalah jalan utama untuk menanggulangi masalah kesehatan nasional dan pembiayaannya,” katanya.
Salah satu bentuk rintisannya adalah menyiapkan tenaga terampil untuk mengoperasikan mesin Masterizer yang telah disumbang Pemerintah Swiss untuk PFN senilai Rp 1,5 miliar.
Nidhom menambahkan, karena isu halal, Indonesia kini telah dipercaya negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebagai center of excellence vaksinasi di negara-negara anggota. Ini juga kesempatan bagi Indonesia membangkitkan industri vaksin.