Sistem Komunikasi Terkait Perubahan Iklim Belum Efektif
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum ada sistem yang efektif untuk mengomunikasikan kontribusi penurunan emisi antarpihak atau antarpemangku kepentingan. Saat ini pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sipil dinilai masih berjalan sendiri-sendiri dalam upaya penurunan emisi. Padahal, secara nasional Indonesia telah memberikan komitmen untuk berkontribusi secara global melalui Kontribusi Nasional dan meratifikasi Kesepakatan Paris.
Rizaldi Boer dari Center for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM) di Asia Tenggara dan Pasifik mengatakan, ”Belum ada sistem efektif untuk berbagi melalui komunikasi antarpihak, antardaerah, dan antarkementerian. Kemitraan publik harus dikembangkan.” Menurut dia, saat ini masih terdapat kesulitan antarnegara dan antardaerah untuk saling bantu. Hal itu diungkapkan dalam ”Pertemuan Multistakeholder dalam Rangka Input Talanoa Dialogue” yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kamis (29/3/2018) di Jakarta.
Senada dengan hal itu, Muhammad Teguh Surya dari organisasi masyarakat sipil Yayasan Madani Berkelanjutan menegaskan, ”Kita perlu saling tahu kerja setiap aktor. Kita membutuhkan komunikasi konstruktif untuk bisa memahami peran masing-masing. Kalau ya, akan mudah untuk mencapai target NDC.”
Dengan komunikasi konstruktif, menurut Teguh, akan muncul kolaborasi. Saat ini, tambahnya, sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil kurang, ”Tidak saling menyapa,” katanya. Selain itu, ujar Teguh, ”Kurang sinkronisasi di antara kementerian/lembaga di tingkat pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.”
Hasil pertemuan tersebut menjadi bahan dokumen Talanoa Dialogue yang akan disampaikan Indonesia kepada Badan Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Sekitar 40 organisasi diundang ke pertemuan tersebut, meliputi kementerian/lembaga, swasta, dan organisasi masyarakat sipil.
Selain Rizaldi Boer dan Teguh, narasumber lainnya adalah Moekti H Soejachmoen, Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim (UKPPI); Direktur Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup (PELH) Kementerian Luar Negeri RI Muhsin Syihab; Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim Daddy Ruhiyat; dan Purwadi Suprihanto dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
Saat ini juga masih terdapat kesenjangan pengetahuan dan informasi di kalangan di luar pemerintah nasional. ”Bahkan NDC sulit dipahami pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Bagaimana mau berkiprah kalau strateginya tidak dipahami?” katanya. Menurut Teguh, saat ini berbagai pihak masih kebingungan dalam memberikan kontribusi untuk mencapai NDC. Saat ini tanggung jawab pencapaian NDC dibebankan kepada kementerian/lembaga sektor. ”Bagaimana dengan daerah kalau memiliki kebijakan sendiri?” kata Teguh.
Muncul permintaan agar strategi NDC diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana sehingga semakin banyak pihak bisa terlibat dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam pertemuan tersebut, terungkap bahwa masih terdapat kesenjangan pemahaman antara pemerintah pusat dan para pemangku kepentingan lainnya.
Target NDC Indonesia adalah 29 persen di bawah emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa intervensi (business as usual/BAU) dengan upaya sendiri dan 41 persen penurunan dengan bantuan negara lain. Emisi GRK tahun 2030 diproyeksikan mencapai sekitar 2,8 gigaton ekuivalen karbondioksida (GtCO2e).
Rizaldi Boer juga menekankan tentang pentingnya kolaborasi semua pihak secara gobal dan nasional. ”Alokasi 65 persen emisi (gas rumah kaca) untuk mencapai target kenaikan di bawah 2 derajat sudah terpakai. Kita berkejaran dengan waktu karena alokasi tinggal 35 persen. ”Kegagalan mencapai target Kesepakatan Paris akan mengancam tercapainya Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB),” kata Rizaldi.
Keseimbangan adaptasi-mitigasi
Talanoa Dialogue yang menekankan tentang pencapaian target Kesepakatan Paris dinilai terlalu menitikberatkan pada sisi mitigasi perubahan iklim. Padahal, negara berkembang saat ini amat membutuhkan aksi adaptasi karena ancaman dampak perubahan iklim yang besar. Mitigasi membutuhkan inovasi teknologi yang hingga saat ini relatif sulit dilakukan negara berkembang.
”Indonesia akan menekankan pada perimbangan aksi mitigasi dan adaptasi. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki potensi besar untuk adaptasi, tetapi di sisi lain juga mempunyai komitmen untuk mitigasi yang cukup ambisius sesuai dengan kemampuan kita. Indonesia akan mendorong soal adaptasi bersama negara-negara berkembang lainnya,” ujar Muhsin.
Dari perhitungan yang dilakukan UN Environment (UNE), komitmen para pihak atau NDC yang didaftarkan hanya mampu mengurangi sepertiga emisi GRK dari penurunan yang dibutuhkan untuk mencapai target Kesepakatan Paris. Implikasinya, akan lebih banyak bencana yang akan terjadi sehingga dibutuhkan strategi adaptasi untuk mengatasinya. Untuk mengenalkan aksi adaptasi ke dunia internasional tidak mudah karena aksi adaptasi sulit distandarisasi.
”Sifat mitigasi dan adaptasi berbeda. Mitigasi lebih mudah untuk diukur, sementara adaptasi sulit standardisasi, sementara setiap negara juga berbeda-beda kondisinya sehingga yang diperlukan adalah upaya mengenalkan kebijakan adaptasi di setiap negara ke internasional untuk menjadi basis kerja sama internasional,” kata Muhsin. Standardisasi dalam mitigasi saat ini didasarkan pada standardisasi sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).