Indonesia merupakan pusat asal-usul beragam tanaman pangan, tetapi tidak terdata. Kini, ragam dan potensi pangan lokal mulai diidentifikasi.
JAKARTA,KOMPAS -- Keragaman pangan lokal di Indonesia dikhawatirkan semakin menyusut menyusul peralihan pola konsumsi masyarakat ke beras dan gandum. Padahal, keberagaman sumber pangan merupakan kunci bagi kedaulatan pangan nasional.
"Kalau Indonesia mau mengoptimalkan keragaman pangan lokal, tentu tidak perlu impor dan tidak perlu cetak sawah baru besar-besaran," kata Deputy Director Governance & Social Development WWF Indonesia, Cristina Eghenter, yang mengunjungi Redaksi Kompas, di Jakarta, Jumat (23/3).
Cristina mengatakan, beberapa pangan lokal di Indonesia saat ini semakin sulit ditemui, bahkan tidak dikenal lagi di kalangan masyarakat. "Misalnya sorgum dan jewawut sangat jarang ditanam dan diketahui masyarakat. Padahal dari aspek gizi ini sangat baik," kata antropolog yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di Kalimantan untuk penelitian program S3-nya di bidang ethnohistory dan hubungan manusia dengan sumber daya alam ini.
Menurut Cristina, dari kajiannya terhadap masyarakat dayak di Kalimantan, semakin jauh dari hutan, ketahanan pangan mereka semakin rendah. Di sekitar hutan keragaman pangan sangat tinggi, sementara di kota masyarakat menjadi tergantung pada satu dua jenis makanan.
Secara terpisah, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Enny Sudarmonowati, juga mengkhawatirkan semakin menyusutnya keragaman hayati tanaman pangan kita. Sekalipun Badan Ketahanan Pangan menyatakan Indonesia memiliki 77 tanaman sumber karbohidrat, namun keberadaan dan sebarannya di lapangan tidak terpetakan.
"Kami belum ada data sekarang kondisi eksisting tanaman pangan kita ada berapa jenis dan varietasnya. Sekarang kami kembali mendorong para peneliti di LIPI untuk mengidentifikasi kembali ragam dan potensinya di daerah-daerah, termasuk pengembangan tanaman sorgum yang ternyata kita juga punya banyak varitas lokalnya," kata Enny.
LIPI saat ini bekerja sama dengan Universitas Kyoto, Jepang untuk mengkaji potensi pengembangan sorgum untuk menggantikan alang-alang di lahan marjinal. Setidaknya sudah 100 jenis sorgum lokal yang dipetakan, termasuk di Kalimantan.
Selain mendorong penelitian dasar untuk pemetaan dan pemuliaan varietas, menurut Enny, juga dibutuhkan kajian-kajian yang bersifat aplikatif untuk mengembangkan dan mengolah tanaman pangan ini agar bisa diterima pasar.
Sumber hayati
Guru Besar Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor (IPB) Sobir mengatakan, Indonesia sebenarnya merupakan tempat asal sejumlah tanaman pangan. Selain tanaman sagu, beberapa jenis sumber pangan pokok yang asli Indonesia seperti talas, beragam umbi-umbian, sukun, dan pisang.
"Karena kita centre of origin beragam tanaman pangan, akhirnya malah tidak mengembangkannya. Kita terlena karena mengira semuanya sudah ada di alam. Misalnya, pisang cavendish yang terkenal di pasar global itu aslinya pisang Ambon kuning yang kemudian dikembangkan di Honduras sejak sekitar tahun 1960-an," kata Sobir.
Menurut Sobir, variasi pisang di Indonesia sangat tinggi, namun sejauh ini belum semuanya teridentifikasi. "Pisang ada dua tipe, yaitu yang bisa langsung dimakan dan pisang yang mengandung banyak tepung yang harus diolah atau disebut plaintains. Kedua-duanya sudah sangat lama beradaptasi dengan lingkungan kita sehingga cocok dibudidayakan," kata dia.
Sebagai sumber pangan, pisang jenis plantains bisa dibuat tepung dengan kandungan vitamin dan serat tinggi. Pisang juga kaya mineral, terutama kalium sehingga bagus untuk kesehatan jantung. "Pisang juga bisa berbuah sepanjang waktu, tidak mengenal musim," kata dia.