Dua Konsultan Pajak PT GMP Didakwa Suap Pegawai Ditjen Pajak Sebesar Rp 15 Miliar
Dua konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations didakwa menyuap dua pegawai Ditjen Pajak sebesar Rp 15 miliar. Pemberian suap itu sebagai imbalan agar penghitungan pajak dapat disesuaikan dengan keinginan PT GMP.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations, Aulia Irman Maghribi dan Ryan Ahmad Ronas, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/5/2022), didakwa menyuap dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan senilai Rp 15 miliar. Pemberian suap itu ditujukan untuk merekayasa hasil penghitungan pajak PT GMP selaku wajib pajak tahun 2016.
Kedua pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Angin Prayitno serta Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Dadan Ramdani, telah divonis masing-masing 9 tahun dan 6 tahun penjara. Keduanya terbukti menerima suap dari sejumlah perusahaan, termasuk PT Gunung Madu Plantations (GMP), terkait dengan rekayasa hasil penghitungan pajak.
Dalam sidang yang dipimpin hakim ketua Fahzal Hendri, dakwaan dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terdiri dari Rikhi B Maghaz, Januar Dwi Nugroho, Yoga Pratomo, serta Nur Haris Arhadi.
Dalam dakwaannya, Rikhi menyebutkan, uang suap itu diberikan untuk memenuhi perhitungan besaran nilai pajak yang sesuai dengan permintaan PT GMP, yakni Rp 19,8 miliar. Dalam hal ini, para terdakwa, Aulia dan Ryan selaku pemberi suap, menerima kuasa khusus dari wajib pajak PT GMP. Jabatan mereka sebelumnya adalah konsultan pajak Foresight Consulting yang kemudian dipekerjakan oleh General Manager PT GMP Lim Poh Ching.
Dalam perkara ini, jaksa menyebut, pada mulanya Angin selaku Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak membuat kebijakan untuk mendapatkan keuntungan dari pemeriksaan kepada wajib pajak. Angin kemudian memberitahukan kepada para supervisor tim pemeriksa pajak agar saat melaporkan hasil pemeriksaan juga meminta fee untuk pejabat struktural. Jatah untuk direktur dan kepala subdit sebesar 50 persen, sementara untuk tim pemeriksa pajak 50 persen.
Uang suap itu diberikan untuk memenuhi perhitungan besaran nilai pajak yang sesuai dengan permintaan PT Gunung Madu Plantations, yakni Rp 19,8 miliar.
Angin juga mengarahkan agar tim pemeriksa pajak mencari wajib pajak yang potensial dan bagus. Kemudian, bulan Oktober 2017, tim pemeriksa yang terdiri dari Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian membuat analisis risiko wajib pajak atas perusahaan PT GMP untuk tahun pajak 2016. Pencarian bermaksud mencari potensi pajak dari wajib pajak sekaligus keuntungan pribadi.
Sebulan kemudian, pada 6 November 2017, tim pemeriksa mulai melakukan pemeriksaan lapangan dan pengambilan data. Pada saat pemeriksaan itu, tim pemeriksa pajak memperoleh data yang diperlukan serta catatan untuk merekayasa invoice (bukti pembayaran dan penerimaan) yang dikeluarkan PT GMP.
Setelah pemeriksaan lapangan dan pengambilan data, tim pemeriksa pajak melakukan penghitungan nilai pajak PT GMT untuk tahun pajak 2016. Sesuai dengan permintaan dari PT GMP, diperoleh perhitungan pajak senilai Rp 19,8 miliar. Adapun fee untuk tim pemeriksa pajak dan struktural sebesar Rp 10 miliar.
Namun, Angin Prayitno meminta agar fee tim pemeriksa pajak ditambah. Konsultan pajak PT GMP kemudian menyepakati fee total Rp 15 miliar, baik untuk pejabat struktural maupun tim pemeriksa pajak lapangan.
”Setelah disetujui oleh Angin Prayitno, tim pemeriksa pajak lapangan menyampaikan dengan kalimat Pak Dir setuju,” ujar Rikhi.
Berlanjut pada 18 Desember 2017, dilakukan pembahasan akhir yang dilakukan oleh salah satu terdakwa, Aulia, dengan tim pemeriksa pajak lapangan, yaitu Wawan Ridwan, Alfred Simanjuntak, Yulmanizar, dan Febrian. Hasilnya, disetujui besaran pajak yang nilainya sudah disesuaikan dengan permintaan wajib pajak PT GMP, yaitu senilai Rp 19,8 miliar. Hasil itu dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan pajak.
Nota pembayaran fiktif
Untuk membayar fee kepada pejabat struktural Ditjen Pajak dan tim pemeriksa pajak, GM PT GMP Lim Poh Ching memerintahkan assistant service manager untuk menyediakan uang Rp 15 miliar. Uang suap itu kemudian dicatat sebagai pengeluaran form bantuan sosial yang bersifat fiktif. Form bantuan sosial fiktif itu di antaranya adalah bantuan sosial Teluk Betung Rp 5 miliar, bantuan sosial Desa Kedaton Rp 5 miliar, dan bantuan sosial Gunung Sugih Rp 5 miliar.
”Uang fee rekayasa pajak kemudian dibayarkan pada tanggal 24 Januari 2018. Karena uang yang diterima dalam bentuk rupiah dan dalam jumlah banyak, Angin Prayitno memerintahkan untuk ditukarkan dalam pecahan dollar Singapura,” kata Rikhi.
Setelah total uang fee pemeriksa pajak dan pejabat struktural Ditjen Pajak diberikan, para konsultan pajak, yaitu Aulia dan Ryan, juga menerima fee sebesar total Rp 1,5 miliar.
Uang suap itu kemudian dicatat sebagai pengeluaran form bantuan sosial yang bersifat fiktif.
Perbuatan Aulia dan Ryan, bersama-sama dengan GM PT GMP Lim Poh Ching, yaitu memberikan hadiah yang diserahkan kepada pejabat negara senilai Rp 15 miliar untuk merekayasa hasil penghitungan pajak PT GMP untuk tahun pajak 2016, bertentangan dengan sejumlah aturan perundang-undangan.
Aturan itu di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Perbuatan terdakwa juga bertentangan dengan Pasal 5 Ayat (2) Huruf j UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta Pasal 1 Angka 25 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Peraturan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi UU.
”Perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 5 Ayat (1) Huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,” terang Rikhi.
Atas dakwaan tersebut, para terdakwa akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi pada persidangan berikutnya. Agenda sidang berikutnya akan dilakukan pada Selasa (31/5/2022).
”Jaksa KPK kurang cermat dalam menyusun berkas dakwaan. UU tentang Tata Cara Perpajakan itu, kan, sudah berubah menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tidak boleh menyusun dakwaan salah UU-nya seperti itu. Ini nanti yang akan menjadi wilayah dari eksepsi kami,” kata kuasa hukum terdakwa Ryan, Timbo Mangaranap Sirait, seusai persidangan.