Masyarakat sipil terus mendorong penghapusan hukuman mati yang dinilai tidak efektif. Hukuman mati dinilai hanya menjadi sarana pembalasan dendam, bahkan dianggap menjadi sarana teror negara kepada masyarakat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Para pembicara beserta moderator dalam acara Peluncuran Laporan Hukuman Mati 2021 Amnesty International dan diskusi daring bertajuk ”Hukuman Mati Bukan Solusi, Bestie”, pada Selasa (24/5/2022).
Dorongan agar hukuman mati dihapuskan dari sistem hukum di Indonesia terus disuarakan. Selain tidak terbukti dapat memberikan efek jera atau menurunkan tingkat kriminalitas, hukuman mati juga dianggap bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang mendasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Secara global, laporan Amnesty International mencatat, angka vonis hukuman mati meningkat cukup signifikan, yakni dari 1.477 pada 2020 menjadi 2.052 vonis pada 2021. Di Indonesia, jumlah vonis mati yang dijatuhkan sepanjang 2021 oleh pengadilan tidak jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari 117 vonis pada 2020 menjadi 114 vonis pada 2021.
Sebanyak 94 atau 82 persen di antara vonis mati tersebut dijatuhkan untuk kejahatan narkotika, 14 vonis mati untuk pembunuhan, dan 6 untuk terorisme. Sementara mengutip data Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi pengguna narkotika di Indonesia pada tahun 2021 justru mengalami peningkatan dari tahun 2019, yakni naik menjadi 3,66 juta dari 3,41 juta.
Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mengatakan, data tersebut menunjukkan bahwa anggapan hukuman mati dapat menekan kejahatan sama sekali tidak terbukti. Tidak hanya kasus narkotika, adanya pidana mati untuk kejahatan korupsi tidak membuat korupsi turun secara signifikan.
”Maka, yang perlu diperbaiki adalah sistem hukumnya, bukan hukumannya,” kata Ari dalam acara Peluncuran Laporan Hukuman Mati 2021 Amnesty International dan diskusi daring bertajuk ”Hukuman Mati Bukan Solusi, Bestie”, pada Selasa (24/5/2022).
Tersangka penyelundu sabu dan ekstasi saat dihadirkan dalam konferensi pers, di halaman Kantor Kepolisian Daerah Aceh, Selasa (8/3/2022). Sebanyak 189 kilogram sabu dan 38.850 butir ekstasi disita sebagai barang bukti. Keduanya terancam hukuman mati. Penyelundupan sabu ke Aceh masih marak.
Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mereka yang cenderung setuju dengan diterapkannya hukuman mati biasanya memiliki cara pandang retributif, yakni bahwa pelaku kejahatan layak mendapat hukuman setimpal berupa hukuman mati. Padahal, cara pandang itu mengundang banyak pertanyaan, mulai dari parameter hukuman mati, kelayakan pengadilan dalam memvonis mati, hingga efek jera yang diharapkan akan terjadi.
Senada dengan Ari, menurut Bivitri, klaim bahwa hukuman mati memberikan efek jera sama sekali tidak pernah ada buktinya. Terkhusus di Indonesia, sistem hukum yang ada hingga saat ini terbukti belum layak, seperti masih adanya kasus penyiksaan, kasus salah tangkap, hingga korupsi peradilan.
Di sisi lain, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengenal penghukuman modern, seperti hukuman sosial yang tidak melanggar hak asasi manusia.
”Kita menolak dengan alasan-alasan yang sifatnya untuk balas dendam. Kita bukannya tidak peduli dengan kriminalitas yang meningkat, tapi ada cara-cara yang tak melanggar hak asasi manusia dan punya efek jauh lebih efektif apabila tujuan kita bukan balas dendam, tapi tujuan kita adalah kemaslahatan hidup bersama,” kata Bivitri.
Ketua Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Indonesia Saraswati Putri berpandangan, hukuman mati terkait dengan kontrol sosial. Sebab, dengan hukuman mati, ditunjukkan kekerasan yang tidak hanya ditujukan bagi terpidana, tetapi juga untuk menjangkau masyarakat luas.
Dengan hukuman mati, negara menunjukkan kekuasaannya sekaligus sebagai bentuk pendisiplinan dan kontrol terhadap masyarakat. Sebab, melalui hukuman mati, yang ditonjolkan adalah teror, kekejian, dan penyiksaan. Hal itu dimaksudkan untuk memaksa terjadinya pendisiplinan dan kepatuhan. Padahal, lanjut Saraswati, Indonesia telah memegang dan menjunjung tinggi sila kemanusiaan yang adil dan beradab yang justru bertentangan dengan hukuman mati.
”Jika hendak konsisten, maka negara harus menghapuskan hukuman mati,” katanya.
Menurut Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani, perempuan terpidana mati memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan terpidana laki-laki. Mereka berhadapan dengan stigma, dikucilkan dari keluarga, dan menghadapi depresi yang luar biasa.
”Maka, tidak berlebihan bahwa hukuman mati bagi terpidana mati perempuan sebagai puncak kekerasan dan diskriminasi berbasis jender di Indonesia,” kata Andy.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Massa yang tergabung dalam Migrant Care berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Jumat (2/11/2018). Mereka mengutuk Pemerintah Arab Saudi yang mengeksekusi mati Tuti Tursilawati.
Sementara itu, pengajar Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, Roy Murtadho, berpandangan, dalam tradisi Islam, poin penting dari penghukuman adalah menegakkan keadilan. Maka, ia mempertanyakan relevansi hukuman mati karena rasa keadilan belum tentu tuntas meski hukuman mati dilaksanakan.