Antisipasi Dampak Elektoral DOB, UU Pemilu Perlu Direvisi
Alokasi kursi DPR dan daerah pemilihan perlu ditata ulang untuk mengisi jabatan elektoral di daerah otonom baru.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seyogianya mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah untuk mengantisipasi dampak elektoral akibat pembentukan daerah otonom baru atau DOB. Selain penataan daerah pemilihan, keberadaan DOB juga akan berdampak pada alokasi kursi di DPR dan DPRD serta penyiapan logistik pemilu.
Saat ini, pemerintah dan DPR akan membahas tiga rancangan undang-undang pembentukan provinsi baru di Papua, yakni Papua Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Selain itu, pemerintah dan DPR juga sudah membentuk daerah otonom baru bernama Nusantara melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dalam acara Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di Bali, Jumat (20/5/2022), mengatakan, pembentukan DOB akan berdampak pada mekanisme pengisian jabatan elektoral kenegaraan di wilayah tersebut. Tidak hanya pada daerah khusus Ibu Kota Negara Nusantara, dampak itu juga akan terjadi jika rencana pembentukan tiga provinsi baru di Papua benar-benar diwujudkan.
Pembentuk UU perlu memikirkan aturan pemilihan anggota DPR dan DPRD yang mewakili provinsi baru. Selain itu, mekanisme pengisian jabatan gubernur juga mesti dipikirkan, apakah akan mengikuti pilkada serentak 2024 ataukah tidak.
”Selama ini, daerah pemilihan di Papua itu kan hanya satu. Alokasi kursinya ada 10. Kalau misalkan dimekarkan menjadi empat provinsi. Kemudian pertanyaannya, alokasi kursi dari setiap provinsi baru tadi berapa?” kata Hasyim.
Hasyim menerangkan, penentuan alokasi kursi DPR di tiap-tiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk. Sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, alokasi kursi DPR untuk tiap-tiap provinsi baru itu minimal sebanyak tiga kursi. Namun, persoalannya adalah lampiran UU Pemilu sudah mengatur jumlah anggota DPR sebanyak 575 orang yang didapat dari 80 daerah pemilihan (dapil).
”Jika ada penambahan tiga kursi di satu DOB baru yang kemudian dijadikan satu dapil, belum ada instrumen hukum yang bisa menjadi payungnya. Konsekuensinya adalah revisi UU Pemilu karena yang mengatur (soal dapil) adalah UU tersebut,” tuturnya.
Selain mengubah UU Pemilu, UU Pilkada juga selayaknya diubah. Sebab, diperlukan payung hukum untuk mengisi jabatan gubernur di DOB. Apalagi, jika pembentuk UU menginginkan DOB mengikuti pilkada serentak pada 27 November 2024. ”Kalau seandainya Papua jadi dimekarkan wilayahnya, saya sarankan agar pemilihan gubernurnya diikutkan dengan pemilu serentak 2024 sehingga ada gubernur definitifnya,” kata Hasyim.
Jika ada penambahan tiga kursi di satu DOB baru yang kemudian dijadikan satu dapil, belum ada instrumen hukum yang bisa menjadi payungnya. Konsekuensinya adalah revisi UU Pemilu karena yang mengatur (soal dapil) adalah UU tersebut.
Selain itu, UU Pilkada juga mengatur dasar untuk mengusung calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah kepemilikan kursi di DPRD. Karena itu, mau tidak mau, pemilihan DPRD di provinsi baru di Papua juga harus melalui pemilu serentak pada 14 Februari 2024.
Namun, untuk mengubah UU Pemilu dan Pilkada bukan perkara mudah. Sebab, DPR dan pemerintah telah sepakat untuk tidak merevisi kedua UU tersebut. Selain itu, untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada, waktunya juga sangat mepet dengan persiapan tahapan dan jadwal pemilu.
Menurut Hasyim, idealnya perlu ada revisi terbatas UU Pemilu dan Pilkada. Jika tidak, pemerintah dapat memilih membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Kondisi saat ini disebut sudah dapat memenuhi syarat kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan perppu.
”Jika instrumen hukum yang dipilih adalah perppu, DPR harus menyetujui pada masa sidang berikutnya. Jika tidak, perppu bisa batal secara hukum,” katanya.
Kepastian hukum
Secara terpisah, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengingatkan, pembentuk UU harus memberikan kepastian hukum terhadap penataan dapil dan alokasi kursi untuk DPR dan DPRD Provinsi. Sebab, penetapan dapil yang diatur dalam Lampiran UU Pemilu tidak bisa diubah kecuali melalui revisi UU.
”Dampak pemekaran sejumlah provinsi dan ibu kota negara ini memandatkan adanya pemilihan DPR dan DPRD. Karena kursi di DPR sudah dikunci di bagian lampiran UU Pemilu, yaitu sebanyak 575 kursi dengan 80 dapil, KPU membutuhkan kejelasan UU agar tidak bergerak menyimpang dari aturan,” katanya.
Kepastian hukum itu penting diberikan kepada KPU agar mereka dapat bekerja sesuai aturan dan tidak mengganggu teknis penyelenggaraan pemilu. Selain itu, juga akan mempertegas pengelolaan tahapan pemilu oleh KPU. Sebab, penataan dapil akan berkaitan erat dengan pengadaan logistik pemilu di daerah.
Sama dengan Hasyim, Titi juga menyampaikan perlunya merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk memberikan kepastian hukum. Revisi terutama dilakukan untuk menata daerah pemilihan dan alokasi kursi DPR dan DPRD provinsi.
”Sudah banyak praktik revisi UU dapat diselesaikan dalam waktu singkat karena urgensinya. Walaupun demikian, jangan sampai juga mengabaikan partisipasi masyarakat karena rawan digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Komitmen yang paling penting adalah pembentuk UU mau memberikan instrumen hukum agar KPU dapat bergerak sesuai koridor aturan yang benar,” tuturnya.
Titi mengingatkan, instrumen hukum itu seharusnya sudah tersedia sebelum proses pencalonan berlangsung. Artinya, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada idealnya sudah rampung pada akhir tahun ini.