Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Bahas Perbaikan Demokrasi
Selama pandemi, banyak kritik tentang pengambilan kebijakan negara yang kurang melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Padahal, demokrasi harus memberikan ruang bagi partisipasi publik seluas-luasnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
BALI, KOMPAS — Pemulihan demokrasi setelah pandemi Covid-19 menjadi perhatian serius dalam Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara atau APHTN-HAN. Forum tersebut diharapkan memberikan rekomendasi untuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan demokrasi.
Acara Konferensi Nasional APHTN-HAN digelar di Bali, Kamis-Jumat (19-20/5/2022), dengan tema ”Dinamika Negara Hukum Demokratis Pasca-Perubahan UUD 1945”. Konferensi nasional diikuti oleh 100 peserta. Tak hanya pengurus dan anggota APHTN-HAN, tetapi juga para peneliti di kementerian, lembaga, dan kampus. Sebelum konferensi, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi Nasional APHTN-HAN pada 17-18 Mei.
Ketua Umum APHTN-HAN Guntur Hamzah saat pembukaan konferensi nasional, Kamis, mengatakan, forum diskusi yang diikuti oleh berbagai pakar hukum tata negara dan administrasi negara itu diharapkan dapat berkontribusi pada pemulihan demokrasi pascapandemi Covid-19. Selama pandemi, banyak kritik tentang pengambilan kebijakan negara yang kurang melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Padahal, demokrasi harus memberikan ruang bagi partisipasi publik seluas-luasnya.
”Seharusnya, hak individu dapat berjalan sesuai dengan sesuai dengan kepentingan kolektif masyarakat tanpa saling meniadakan. Semoga, forum ini dapat berkontribusi positif pada pemulihan demokrasi, good governance, dan supremasi hukum dalam mencapai tujuan bersama, yaitu negara hukum,” kata Guntur.
Guntur juga mengapresiasi keberhasilan Indonesia menjaga demokrasi pada saat pandemi Covid-19. Selama pandemi, pemerintah dinilai mampu mewujudkan adaptasi kebiasaan baru, tanpa mengurangi substansi demokrasi. Misalnya, pelaksanaan pilkada serentak di tahun 2020 yang berhasil dijalankan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Guntur menambahkan, Konferensi Nasional APHTN-HAN kali ini adalah kali pertama menghadirkan dua disiplin ilmu yang berbeda, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Oleh karena itu, forum diharapkan dapat melihat secara lebih komprehensif bagaimana tata kelola negara.
Seharusnya, hak individu dapat berjalan sesuai dengan sesuai dengan kepentingan kolektif masyarakat tanpa saling meniadakan. Semoga, forum ini dapat berkontribusi positif pada pemulihan demokrasi, good governance, dan supremasi hukum dalam mencapai tujuan bersama yaitu negara hukum. (Guntur)
”Ini akan menjadi konferensi hukum yang dinamis karena mempertemukan dua arus besar ilmu hukum. Bersama-sama kita duduk untuk memikirkan tata kelola negara yang lebih baik,” ujar Guntur.
Secara umum, dua tema besar yang dibahas dalam konferensi nasional itu adalah tentang penataan regulasi. Untuk panel hukum tata negara tema besar yang akan diangkat adalah penataan legislasi dan peraturan kebijakan, pokok-pokok haluan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, serta pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Adapun untuk panel hukum administrasi negara membahas tentang perkembangan kewenangan peradilan tata usaha negara dan perizinan setelah Undang-Undang Cipta Kerja.
”Tantangan yang dihadapi negara ke depan tentu semakin tidak ringan. Bagaimana memperkuat negara hukum dan demokrasi yang semakin kompleks akibat ekses dari pandemi Covid-19 yang menambah tantangan hukum kita. Setidaknya, APHTN-HAN dapat ikut menegakkan demokrasi di masa pandemi,” kata Guntur.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menuturkan, masalah bangsa yang dihadapi ke depan memang tidak ringan. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Misalnya, konstitusi yang kerap ingin digoyang oleh kepentingan jangka pendek, isu perpanjangan masa jabatan, hingga kebebasan berpendapat di alam demokrasi yang dianggap kebablasan sehingga harus dibatasi.
Bambang juga menyoroti tentang Indeks Demokrasi Indonesia yang cenderung stagnan dalam berbagai hasil survei internasional. Walaupun skor indeks mengalami sedikit peningkatan, demokrasi Indonesia masih dikategorikan sebagai demokrasi cacat. Demokrasi juga dinilai belum berjalan baik untuk menyejahterakan rakyat kecil. Demokrasi hanya memanjakan elite politik tertentu karena tidak diikuti oleh penegakan hukum yang kuat.
”Saya kira ini disebabkan oleh melencengnya implementasi demokrasi. Untuk mengatasi ketimpangan itu, diperlukan penegakan hukum sebagai panglima. Di mana agen utamanya adalah para penyelenggara negara,” kata Bambang.
Bambang berharap forum Konferensi Nasional APHTN-HAN itu dapat ikut memperbaiki tata kelola pemerintahan dan demokrasi. Para akademisi diminta untuk menyumbangkan rekomendasi agar politik tidak digunakan hanya untuk mengembangkan kekuasaan, tetapi juga bagaimana memenuhi visi dan misi negara.
Demokrasi diharapkan menjadi kunci untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan dengan pemimpin yang lahir dari kehendak rakyat. Lebih dari itu, juga bagaimana agar sistem politik dapat dijaga dan dipertahankan diikuti dengan nilai etika bagi aktor politik penyelenggaranya.
”Ini adalah tanggung jawab intelektual bersama, di mana peserta konferensi APHTN ini berkewajiban memberikan kontribusi positif bagi permasalahan-permasalahan bangsa,” kata Bambang.