Masyarakat sipil perlu dilibatkan dalam pembahasan RKUHP. Masyarakat sipil juga perlu diberi akses untuk memberi masukan pada perubahan substansi yang telah dilakukan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Lama tak terdengar perkembangan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kini, muncul dorongan dari masyarakat sipil agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membuka substansi perubahan pasal pada RKUHP secara transparan kepada publik. Hal ini mengingat perdebatan mengenai perluasan norma zina yang melarang lesbian, gay, biseksual, transjender (LGBT) kembali mencuat.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, Rabu (18/5/2022), menyampaikan, menurut rencana, pemerintah akan kembali membahas RKUHP bersama DPR pada Juni mendatang. Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah harus membuka substansi perubahan pasal RKUHP secara transparan kepada publik.
Pemerintah harus membuka substansi perubahan pasal RKUHP secara transparan kepada publik.
Masyarakat sipil, katanya, perlu dilibatkan dalam pembahasan tersebut. Selain itu, masyarakat sipil juga perlu diberi akses untuk memberi masukan pada perubahan substansi yang telah dilakukan.
”Pemerintah harus membuka draf RKUHP kepada publik. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengklaim sudah melakukan banyak perubahan, tetapi drafnya belum ada,” kata Maidina.
Desakan untuk membuka draf RKUHP itu antara lain berangkat dari cuitan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di akun Twitter pribadinya pada 11 Mei lalu. Cuitan itu antara lain berbunyi, ”Sekarang ini masalah LGBT dan zina sedang dibahas lagi untuk bisa diatur seperti apa di dalam Rancangan KUHP. Tertundanya pengesahan RKUHP juga antara lain karena masalah ini. Silakan DPR RI”.
Mahfud menyampaikan, pernyataan itu untuk menanggapi pertanyaan masyarakat yang bertanya mengapa LGBT dan promotornya tidak ditindak secara hukum. Pertanyaan itu pun diduga terkait dengan siniar tentang LGBT di akun Youtube Deddy Corbuzier. Siniar atau dialog dalam format digital itu pun telah dihapus setelah menuai polemik, salah satunya memperoleh penolakan dari sebagian masyarakat.
Atas pertanyaan itu, Mahfud menjawab bahwa LGBT belum dilarang oleh hukum yang disertai dengan ancaman hukuman. ”Ini adalah negara demokrasi, siapa pun boleh saling berekspresi asal tidak melanggar hukum. Kawan lain, ada yang bertanya di negara demokrasi pun harus ada sanksi bagi yang melanggar agama, moral, etika. Namun, penjatuhan sanksi hukum harus berdasar hukum yang ada sebelum terjadinya perbuatan. Negara demokrasi harus dilaksanakan berdasarkan nomokrasi (kedaulatan hukum), di mana setiap penindakan hukum oleh aparat harus berdasarkan UU yang ada,” jelasnya.
Mahfud menambahkan, LGBT tak bisa dihukum karena belum ada hukum positif yang mengatur larangan dan ancaman hukumannya. Hubungan seks antara orang yang tidak dalam ikatan perkawinan dalam konteks hukum positif, belum tentu zina karena konsep zina menurut agama berbeda dengan konteks zina menurut KUHP.
Jika ingin ada hukuman terhadap LGBT, Mahfud meminta masyarakat untuk berjuang ke DPR. Tahun 2017, saat terjadi pro dan kontra soal LGBT, Mahfud mengaku, pihaknya pernah menyarankan agar RKUHP bisa mengakomodasi hal-hal tersebut.
Maidina menyampaikan, pemerintah tidak bisa mengkriminalisasi orientasi seksual. Sebab, pembuktian pidana harus obyektif berdasarkan perbuatan. Jika hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka, apa dasar pemerintah menghukum komunitas LGBT.
”Sama dengan semua orientasi seksual. Jika perbuatan dilakukan dengan kekerasan, di depan umum, ya, harus dilarang. Namun, sekali lagi, hukum pidana tidak akan bisa mengkriminalisasi orientasi seksual,” kata Maidina.
Sejauh pemantauan ICJR, RKUHP yang pernah sampai pada persetujuan tingkat I di DPR tahun 2019 memang pernah dimuat norma tentang hubungan seksual dengan paksaan, di depan umum, dan hubungan seksual yang melibatkan anak. Di norma pasal tersebut ada penyematan unsur sesama jenis.
”Sebenarnya tidak perlu ada unsur sesama jenis karena tanpa unsur itu jika memenuhi perbuatan yang dilarang itu sudah bisa dijerat pidana,” kata Maidina.
Kriminalisasi atas dasar orientasi seksual tidak akan bisa masuk ranah hukum pidana karena hukum pidana harus obyektif berbasis perbuatan.
Maidina juga menegaskan bahwa kriminalisasi atas dasar orientasi seksual tidak akan bisa masuk ranah hukum pidana karena hukum pidana harus obyektif berbasis perbuatan. Ketika orientasi seksual dikriminalisasi yang terjadi adalah overkriminalisasi. Ini adalah praktik yang harus dihindari dalam sistem hukum di Indonesia. Sebab, kondisi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini sudah melampaui daya tampung ditambah dengan masalah narkotika.
”Selain itu, kriminalisasi juga tidak boleh berdasarkan kebencian pada kelompok tertentu. Negara tidak mungkin menyasar ruang privat. Karena jika, iya, yang terjadi adalah kesewenang-wenangan,” terang Maidina.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej menuturkan bahwa belum ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk memperluas norma zina di RKUHP untuk menjerat pidana LGBT. Sementara itu, sejumlah anggota Komisi III DPR yang dimintai konfirmasi mengenai perluasan norma zina di RKUHP tersebut tidak memberikan respons.
Adapun, sejak 2017, melalui putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa perluasan norma zina dalam Pasal 284 KUHP merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidananya. Hal itu merupakan bagian dari politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan perluasan pasal zina yang diajukan pemohon uji materi seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang. Hal tersebut dinilai mahkamah seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses perumusan KUHP yang baru.