Pengawasan Lemah, Modus Suap Masih Jadi Primadona di Kasus Korupsi
Praktik suap di kalangan kepala daerah dan penyelenggara negara sulit diatasi. Penangkapan Wali Kota Ambon pun hanya menambang jumlah kasus suap yang terungkap. Untuk itu, dibutuhkan pembenahan pada pengawasan internal.
Infografik Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Ucapan Presiden Joko Widodo tentang Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy dan orang kepercayaannya sebagai tersangka penerima suap perizinan pembangunan gerai ritel menunjukkan bahwa modus suap masih marak digunakan dalam tindak pidana korupsi. Suap menjadi modus primadona karena cara tersebut dianggap paling aman untuk menumpuk kekayaan pejabat.
Sebelumnya, pada Jumat (13/5/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy dan orang kepercayaannya, anggota staf Tata Usaha Pimpinan Pemerintah Kota Ambon Andrew Erin Hehanussa, sebagai tersangka penerima suap untuk izin prinsip pembangunan gerai ritel di Kota Ambon, Maluku, pada 2020 lalu. Untuk penerbitan izin itu, Richard diduga menerima suap tak kurang dari Rp 500 juta dari karyawan usaha ritel, Amri, untuk pembangunan 20 gerai ritel di Kota Ambon.
Dari 640 instansi pusat dan daerah yang disurvei, praktik suap dan gratifikasi masih ditemukan di 98 persen instansi.
Ketua KPK Firli Bahuri, dalam konferensi pers Jumat malam, menyampaikan, KPK menaruh keprihatinan terhadap perilaku kepala daerah dan penyelenggara negara yang kerap terjerat kasus suap. Firli mengungkapkan, dari 30 jenis dan rupa tindak pidana korupsi, yang paling menonjol dan kerap ditangani KPK adalah tindak pidana penyuapan. Jumlahnya mencapai 791 perkara atau 64 persen dari 1.231 perkara yang ditangani KPK (Kompas.id, 14/5/2022).
Fakta serupa terekam dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021 yang dirilis KPK pada Desember 2021 lalu. Dari 640 instansi pusat dan daerah yang disurvei, praktik suap dan gratifikasi masih ditemukan di 98 persen instansi. Survei dilakukan terhadap 255.010 responden di 640 instansi pusat dan daerah. Adapun, sektor yang paling banyak ditemukan korupsi adalah dalam konteks pengadaan barang dan jasa.
Baca juga: Wali Kota Ambon Diduga Terima Suap Rp 500 Juta untuk Izin Pembangunan 20 Gerai Ritel
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi, Sabtu (14/5/2022), mengatakan, modus penyuapan masih dominan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia karena dijadikan sebagai salah satu cara bagi para pejabat untuk mengumpulkan kekayaan. Bagi para politikus, menumpuk kekayaan dilakukan setidaknya untuk mengembalikan modal kampanye, mengumpulkan modal lagi untuk bertarung di pemilihan selanjutnya, atau mencari keuntungan dari modal besar yang dikeluarkan untuk memenangi pemilu.
Berbeda dengan modus lain, seperti penyalahgunaan anggaran, penggelembungan nilai proyek, penyunatan nilai proyek, dan proyek fiktif, praktik suap dianggap tidak sejahat modus lain karena dianggap tak merugikan keuangan negara.
Padahal, dampak yang diakibatkan dari suap ini tetap serius bagi publik. Misalnya, dengan adanya penyuapan kualitas barang dan jasa turun karena ada biaya lebih yang dikeluarkan swasta untuk menyuap pejabat. Bisa juga, suap berdampak pada izin yang dikeluarkan pejabat tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam kasus pengisian jabatan publik, masyarakat juga bisa dirugikan karena akhirnya yang menjadi pejabat bukanlah orang yang berkapasitas, melainkan mereka terpilih karena adanya uang suap.
”Praktik suap memang masih menjadi primadona modus korupsi di Indonesia. Modus penyuapan paling banyak itu terjadi di bidang pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan pengisian jabatan,” ujar Zaenur.
Baca juga: Tak Kooperatif, Wali Kota Ambon Dijemput Paksa KPK
Zaenur juga berpandangan, terus berulangnya modus suap dalam tindak pidana korupsi juga dipengaruhi oleh faktor lemahnya pengawasan. Baik pengawasan oleh penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum masih lemah. Misalnya, fungsi aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP) yang tidak berfungsi. Inspektorat di level daerah ataupun pusat tidak bertaji karena mereka berkedudukan di bawah kepala daerah, menteri, ataupun kepala badan. Ketika korupsi dilakukan oleh atasan, seolah mereka tidak punya taji untuk menindak.
”APIP ini sangat lemah di Indonesia sehingga sangat perlu adanya revitalisasi. Mereka seharusnya bisa jadi pintu pertama untuk mencegah terjadi penyalahgunaan wewenang dan penyelewengan yang berujung pada tindak pidana korupsi,” ujar Zaenur.
Baik pengawasan oleh penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum masih lemah. Misalnya, fungsi aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP) yang tidak berfungsi.
Faktor lain yang memengaruhi maraknya modus suap dalam kasus korupsi adalah sikap permisif di lingkungan kerja dan jabatan. Saat melakukan modus suap yang dilarang oleh undang-undang, para pelaku sebenarnya sudah tahu. Namun, mereka memilih bersikap diam dan melazimkan perbuatan tersebut. Jika semuanya senang dan mendapatkan bagian, kemudian tidak ada yang berani melaporkan pelanggaran itu.
Baca juga: Praktik Suap dan Gratifikasi Terus Terjadi
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian tren penindakan korupsi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021, penyalahgunaan anggaran justru menjadi modus yang paling dominan digunakan oleh pelaku kasus korupsi. Ada 133 kasus penyalahgunaan anggaran yang ditemukan oleh ICW sepanjang tahun 2021. Disusul modus kegiatan atau proyek fiktif (109 kasus), penggelapan (79 kasus), mark up (54 kasus), laporan fiktif (53 kasus), penyunatan atau pemotongan (27 kasus), penyalahgunaan wewenang (26 kasus), dan suap (21 kasus).
Koordinator Divisi Hukum ICW Lalola Easter memaparkan modus-modus kasus korupsi itu kerap ditemukan dalam pengadaan barang atau jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah. Adapun dalam rentang waktu pandemi Covid 2020-2021, ada 30 kasus korupsi dengan potensi nilai kerugian negara Rp 22,49 miliar dan potensi nilai suap Rp 23,43 miliar. Korupsi paling banyak terjadi di sektor anggaran bansos sembako, bantuan langsung tunai, dan bantuan sosial tunai. Korupsi juga ditemukan dalam pengadaan barang dan jasa terkait dengan alat kesehatan, seperti masker, alat rapid test, vaksin, serta bantuan operasional untuk pendidikan keagamaan Islam. Modus yang paling banyak digunakan adalah penyalahgunaan anggaran serta pemotongan anggaran.
Pembenahan
Untuk membenahi hal itu, menurut Zaenur, diperlukan perubahan budaya kerja yang mendasar di Indonesia. Setiap instansi harus berusaha menjaga agar kinerjanya tetap bersih. Harus ada moralitas dan rasa malu apabila ada perbuatan korupsi. Sebab, selain menyerang integritas pribadi, korupsi juga dapat menghancurkan nama baik institusi. Marwah dan kehormatan institusi bisa hancur dengan adanya kasus korupsi. Selain itu, juga diperlukan perbaikan mekanisme agar whiste blower system atau sistem pelaporan oleh para peniup peluit bisa berjalan. Para peniup peluit harus berani melaporkan apabila ada temuan kasus korupsi. Mereka juga harus diberi reward and punishment saat melaporkan atau mendiamkan kasus korupsi.
Adapun dari sisi penegakan hukum, Zaenur juga berpendapat bahwa langkah KPK untuk mengintegrasikan penindakan dan pencegahan harus diperbaiki. Pascaoperasi tangkap tangan (OTT) atau penetapan tersangka korupsi, program pencegahan korupsi harus berjalan. Langkah itu dinilai belum efektif karena di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Bogor, ditemukan kasus korupsi yang berulang.
Untuk memperbaiki aspek pencegahan itu, kata Zaenur, KPK harus melakukan kajian di instansi-instansi di daerah, memberikan saran dan perbaikan, dan juga memastikan ada perubahan budaya kerja di instansi tertentu. Instansi juga harus menjadi organisasi yang menerapkan zero tolerance terhadap perilaku korupsi. Selain itu, tak kalah penting, KPK juga harus memberikan sanksi tegas kepada pelaku korupsi. Untuk pelaku korupsi pejabat publik, misalnya, harus diberi hukuman tegas agar tidak bisa menggunakan hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik dalam kurun waktu maksimal.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, kasus demi kasus korupsi yang ditangani KPK memang linear dengan hasil Survei Penilaian Integritas 2021, yakni 98 persen instansi dan pejabat pemerintahan masih diliputi suap dan gratifikasi.
Faktor penyebabnya, menurut Ghufron, ada dua. Pertama, motivasi atau komitmen pejabat sejak mengajukan atau mencalonkan diri untuk menduduki jabatannya adalah materi berupa harta, uang, fasilitas, dan kewenangan. Kini, hal tersebut dianggap biasa. ”Sebab itu, untuk meraih jabatan menjadi biasa juga mengorbankan sejumlah uang karena memperhitungkan kesempatan untuk memperdagangkan kewenangannya dengan suap dan grtifikasi,” ujarnya.
Sistem layanan publik dan tata kelola keuangan negara belum pasti sehingga tidak adil, tidak transparan, tidak partisipatif dan akuntabel. Akibatnya, sistem itu tidak prorakyat.
Kedua, sistem layanan publik dan tata kelola keuangan negara belum pasti sehingga tidak adil, tidak transparan, tidak partisipatif dan akuntabel. Akibatnya, sistem itu tidak prorakyat, belum memenuhi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak sosial politik, dan belum cukup memperhatikan kesinambungan pembangunan dan lingkungan.
Atas dasar itu, menurut Ghufron, KPK mengedepankan strategi trisula. Pertama, bagi yang sudah melakukan korupsi, maka KPK melakukan penindakan secara tegas. Kedua, KPK melakukan monitor dan perbaikan sistem tata kelola keuangan negara dan layanan publik. Ketiga, guna meningkatkan integritas, KPK melakukan upaya melalui pendidikan kepada stakeholder, seperti pegawai ASN, penegak hukum, pejabat, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga pendidikan untuk menanamkan integritas.