Suap Anggota DPR dan Pejabat Bakamla, PT Merial Esa Dituntut Rp 133 Miliar
PT Merial Esa, perusahaan pemenang tender proyek pengadaan satelit pemantau dan pesawat nirawak Bakamla pada 2016, juga dituntut menutup seluruh atau sebagian perusahaan selama satu tahun.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Merial Esa, perusahaan pemenang tender proyek pengadaan satelit pemantau dan pesawat nirawak di Badan Keamanan Laut Tahun Anggaran 2016, dituntut pidana denda Rp 275 juta. Jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa biaya pengganti kerugian negara Rp 133 miliar dan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan selama satu tahun.
Tuntutan itu dibacakan secara bergantian oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni M Nur Azis, Bagus Dwi Aryanto, Yosi Herlambang, dan Siska Carolina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Surachmat, dengan hakim anggota Ig Eko P, Toni Irfan, Sukantono, dan Jaini Basir. Adapun terdakwa diwakili oleh Fahmi Darmawansyah, selaku Direktur PT Merial Esa.
M Nur Azis saat membacakan tuntutan mengatakan, PT Merial Esa terbukti secara bersama-sama dan berlanjut, yakni dengan Fahmi Darmawansyah; pegawai operasional PT Merial Esa, Muhammad Adami Okta; pegawai pemasaran PT Merial Esa, Hardy Stefanus; serta Managing Director PT Rohde & Schwarz Indonesia, Erwin Sya’af Arief, telah menyuap sejumlah penyelenggara negara untuk mendapatkan proyek pengadaan satelit pemantau dan pesawat nirawak di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 2016.
Suap yang dimaksud, antara lain, diberikan kepada anggota Komisi I DPR Fayakhun Andriadi sebesar 911.480 dollar AS dan Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Bakamla Ali Fahmi atau Fahmi Habsyi sebesar Rp 64 miliar.
Suap yang dikirimkan melalui nomor rekening bank di China dan Singapura itu bertujuan agar mereka mengupayakan penambahan alokasi anggaran Bakamla untuk pengadaan satelit pemantau dan pesawat nirawak dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) 2016. Pemberian juga bertujuan agar perusahaan yang terafiliasi dengan PT Merial Esa, yakni PT Melati Technofo, nantinya dapat mengerjakan proyek tersebut.
Sebagai imbalan atas pemilihan PT Melati Technofo untuk mengerjakan proyek pengadaan satelite pemantau, PT Merial Esa memberikan sejumlah uang pada empat orang lainnya.
Mereka adalah Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla, yang saat itu menjabat sebagai kuasa pengguna anggaran proyek pengadaan satelit pemantau dan pesawat nirawak Bakamla, Eko Susilo Hadi (100.000 dollar Singapura, 88.500 dollar AS, dan 10.000 euro); Direktur Data Informasi sekaligus pejabat pembuat komitmen Bakamla, Bambang Udoyo (105.000 dollar Singapura); Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Nofel Hasan (104.500 dollar Singapura); dan Kepala Subbagian Tata Usaha Bakamla Tri Nanda Wicaksono (Rp 120 juta).
”Berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan, pemeriksaan saksi, keterangan ahli, serta alat bukti surat penghitungan kekayaan PT Merial Esa tertanggal 22 Desember 2021, diketahui terdakwa telah mendapatkan keuntungan tidak sah sebesar Rp 133.104.444.139,” kata Nur Azis. Keuntungan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi Fahmi yang disalurkan ke sejumlah rekening deposito.
Selain itu, PT Merial Esa disebut tidak menjalankan prinsip good governance. Perusahaan itu tidak memiliki struktur organisasi dan pembagian kerja yang jelas. Di luar Fahmi sebagai direktur, organ perusahaan lainnya tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Berdasarkan uraian fakta tersebut, jaksa menuntut agar majelis hakim memutuskan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Hal itu melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Jaksa juga menuntut PT Merial Esa dengan pidana pokok berupa denda sebesar Rp 275 juta, pidana tambahan berupa denda sebesar Rp 133.104.444.139, serta penutupan seluruh atau sebagian perusahaan selama satu tahun.
”Pidana tambahan dijatuhkan karena tindakan terdakwa dapat merusak iklim usaha di Indonesia. Pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan selama setahun diharapkan dapat menjadi efek jera bagi korporasi lainnya, agar taat asas dan menerapkan etika yang baik dalam pengurusan korporasi,” kata Nur Azis.
Seusai pembacaan tuntutan, Surachmat menanyakan kepada Fahmi apakah sudah memahami tuntutan itu. Ia juga memastikan apakah Fahmi mengerti bahwa ia dituntut untuk membayar biaya pengganti sebesar Rp 133 miliar.
Menjawab pertanyaan tersebut, Fahmi mengatakan, telah mengerti tuntutan jaksa. Akan tetapi, saat menanggapi soal biaya pengganti sebesar Rp 133 miliar, ia terlihat tertawa sambil sesekali menggeleng dan menggangguk. Suaranya tak terdengar.
Penasihat hukum PT Merial Esa, Mochamad Herlangga, menyampaikan kepada hakim, baik tim penasihat hukum maupun Fahmi akan mengajukan pembelaan secara tertulis. Pembelaan akan dibacakan pada 12 April mendatang.