Dua Anggota Menwa UNS Divonis Dua Tahun Penjara atas Kematian Yuniornya
Vonis itu lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa, yakni 7 tahun penjara. Atas putusan itu, keluarga merasa kecewa dan jaksa menyatakan pikir-pikir.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta menvonis dua anggota Resimen Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yakni Nanang Fahrizal Maulana (22) dan Faizal Pujut Juliono (22), 2 tahun penjara atas meninggalnya Gilang Endi Saputra dalam pendidikan dan pelatihan dasar resimen mahasiswa itu.
Putusan itu lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa, yakni 7 tahun penjara. Atas putusan itu jaksa menyatakan pikir-pikir. Sementara keluarga mengaku sangat kecewa.
Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai oleh Suprapti dengan dua orang hakim anggota, yakni Lucius Sunarno dan Dwi Hananta, Senin (4/4/2022).
”Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 2 tahun. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” ujar Suprapti.
Majelis hakim menilai tindakan para terdakwa memenuhi unsur dari salah satu pasal yang diajukan jaksa penuntut umum, yakni Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua terdakwa dinilai berbuat lalai sehingga menyebabkan tewasnya Gilang Endi Saputra, yang menjadi salah seorang peserta dalam pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) Korps Mahasiswa Siaga Batalion 905 Jagal Abilawa atau Resimen Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (Menwa UNS) Surakarta.
Kelalaian itu terungkap jelas dalam fakta-fakta persidangan yang disampaikan kembali oleh anggota majelis hakim, Dwi Hananta, dalam sidang pembacaan putusan. Menurut keterangan para saksi, katanya, Gilang disebut sudah mengeluhkan rasa sakit sejak semalam sebelum dinyatakan meninggal pada 24 Oktober 2021. Gilang juga mengaku ingin berhenti dari kegiatan tersebut. Namun, kedua terdakwa seolah tak menghiraukannya dan tetap melibatkan Gilang dalam setiap kegiatan.
Kedua terdakwa seolah tak menghiraukannya dan tetap melibatkan Gilang dalam setiap kegiatan. (Dwi Hananta)
Kegiatan yang dijalani para peserta diklatsar juga tergolong berat. Misalnya, dalam kegiatan rappeling, peserta hanya diperbolehkan minum sebanyak dua tutup botol ”veples”. Mereka juga baru diizinkan minum jika mendapat instruksi dari pemateri. Padahal, kegiatan tersebut berlangsung saat cuaca sedang panas-panasnya. Hukuman-hukuman yang dikenakan kepada peserta setiap melakukan kesalahan juga berupa hukuman fisik, seperti push up, sit up, merayap, hingga berguling.
Dalam kondisi kelelahan, Gilang baru benar-benar bisa beristirahat setelah pingsan. Ia dibawa ke ruang perawatan yang disediakan. Di sana, ia sempat coba disuapi oleh Nanang tetapi tak bisa membuka mulut karena sudah sangat kelelahan. Mulutnya baru bisa membuka mulut setelah disuapi seorang perempuan yang kebetulan melintas. Namun, makanan yang disuapkan tak sanggup dikunyahnya mengingat kondisinya telah begitu lemas.
Alih-alih menengkan, kata Dwi, Nanang justru marah-marah melihat kondisi tersebut. Ia mencerca Gilang yang baru bisa membuka mulut setelah disuapi oleh seorang perempuan. Lebih dari itu, Nanang merekam Gilang yang sudah kepayahan dengan video ponselnya sambil mengata-ngatainya.
”Kedua terdakwa sudah mengetahui korban dalam kondisi sakit dan lemas, dan mau mengundurkan diri (dari kegiatan). Namun, keduanya tidak pernah melakukan tindakan yang signifikan sebagaimana mestinya untuk mendapatkan keselamatan para siswa daripada pencapaian maksud dan tujuan kegiatan,” kata Dwi.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum juga mengajukan tuntutan kepada para terdakwa dengan Pasal 351, yakni penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Gilang. Namun, unsur penganiayaan dinilai majelis hakim tidak cukup kuat. Terdapat perbedaan keterangan antara ahli forensik yang dibawa jaksa penuntut umum dan ahli forensik dari penasihat hukum terdakwa. Perbedaan tersebut menyebabkan munculnya keraguan dari majelis hakim dalam menentukan penyebab tewasnya korban.
Dari hasil visum, Dwi menjelaskan, Gilang mengalami luka memar pada kepala, dada, punggung, hingga pelipis kanan. Ditemukan pula resapan darah pada kulit kepala bagian dalam. Ada tanda-tanda yang menunjukkan Gilang tewas akibat trauma tumpul pada kepala. Namun, ada pendapat ahli lainnya menyatakan, data pemeriksaan kepala, otak, dan batang otak, cedera hanya ditemukan pada bagian kepala kiri. Resapan darah dalam kulit juga ukurannya tidak terlalu besar.
”Terlebih dalam persidangan terdapat saksi yang tidak bisa memastikan apakah pemoporan benar-benar terjadi. Ada yang melihat, tetapi mereka tidak bisa memastikan apakah Gilang menjadi salah satu peserta yang dipopor,” kata Dwi.
Selain itu, kata Dwi, ada peserta yang mengaku tindakan popor yang dialaminya tidak keras. Tindakan tersebut juga disebutkan tidak menimbulkan rasa sakit pada mereka. Untuk itu, vonis lebih mengarah pada tindakan pembiaran yang menyebabkan korban meninggal.
”Dalam penentuan hukuman, ada hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, Gilang adalah anak laki-laki satu-satunya dan menjadi tumpuan bagi anggota keluarganya. Para terdakwa juga tidak berterus terang dalam memberikan keterangan di persidangan,” jelas Dwi.
Sementara itu, kata Dwi, hal-hal yang meringankan ialah para terdakwa masih berusia muda. Mereka dianggap masih punya kesempatan untuk menggapai masa depan. Keduanya juga dianggap sebagai tumpuan bagi keluarga masing-masing.
Jaksa Sri Ambar Sasongko menyampaikan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pimpinan mengenai langkah lanjutan usai pembacaan vonis tersebut. Awalnya, ia menuntut hukuman 7 tahun penjara untuk dua terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 359. ”Kami akan pikir-pikir dan konsultasi dengan pimpinan apakah banding atau menerima dalam tujuh hari ini,” ujarnya, seusai sidang.
Sejumlah anggota keluarga korban turut hadir dalam persidangan. Tak terkecuali ayah dan ibu korban, yakni Sunardi (55) dan Endang Budi Astuti (52). Mata Endang sudah tampak nanar sejak sebelum sidang dimulai. Dadanya sesak sepanjang majelis hakim membacakan kronologi peristiwa. Hingga akhirnya, tubuhnya melemah dan bersandar ke badan sang suami.
Endang pun dipersilakan untuk beristirahat di ruang kesehatan milik pengadilan. Membopong istrinya yang berderai air mata, Sunardi berusaha tampak tetap kuat dan tegar.
”Kalau dibilang kecewa, kami sangat kecewa. Dari tuntutan tujuh tahun, hanya divonis 2 tahun saja. Namun, semua keputusan hukum kami serahkan kepada pihak yang berwajib. Kami tinggal menerima saja,” kata Sunardi saat ditemui setelah persidangan.