Target Setoran PNBP KPK ke Negara Dianggap Terlalu Rendah
Kontribusi KPK terhadap PNBP dari sektor penegak hukum pada 2021 dinilai masih rendah. Padahal, anggaran untuk KPK naik setiap tahun.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menilai target setoran penerimaan negara bukan pajak dari Komisi Pemberantasan Korupsi terlalu rendah jika dibandingkan anggaran yang diberikan setiap tahun. KPK diminta mengoptimalkan setoran PNBP karena menjadi salah satu ujung tombak penanganan korupsi.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2021 melebihi target. Dari target PNBP yang ditetapkan Rp 100,9 miliar, realisasinya Rp 246,299 miliar atau 244 persen dari target. Sementara capaian PNBP KPK 2022 hingga 24 Maret sebesar Rp 91,9 miliar dari target tahun ini Rp 141,7 miliar. Dengan demikian, capaian PBNP selama tiga bulan pertama di 2022 telah mencapai 64,9 persen dari target yang ditentukan.
”KPK tidak akan pernah berpuas diri dan akan terus meningkatkan PNBP dengan beberapa strategi optimalisasi penyelamatan uang negara, termasuk juga pendapatan negara dari beberapa sektor," ujar Firli dalam paparannya saat Rapat Kerja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan Ketua KPK, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Menurut dia, KPK akan terus melakukan optimalisasi agar PNBP terus meningkat. Di bidang koordinasi dan supervisi, KPK melakukan optimalisasi pendapatan daerah dan penyelamatan atau penertiban aset daerah. Sementara di sektor penindakan dan eksekusi, KPK melakukan pengembalian aset hasil korupsi.
Dari hasil kerja-kerja tersebut, lanjut Firli, KPK mampu menyelamatkan potensi kerugian negara hingga Rp 114,28 triliun. Sementara aset yang mampu dikembalikan ke negara yang terdiri dari denda, uang pengganti, dan rampasan sebesar Rp 237,7 miliar serta penetapan status penggunaan dan hibah Rp 182,2 miliar.
Meski demikian, menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, target PNBP dari KPK terlalu rendah, bahkan terlalu kecil untuk lembaga sebesar KPK. Bahkan, ada kecenderungan penurunan PNBP yang disetorkan ke negara, padahal anggaran untuk KPK terus meningkat setiap tahun.
Ia mencontohkan, setoran PNBP pada 2017 Rp 1,91 triliun saat pagu anggarannya hanya Rp 849,5 miliar. Tahun berikutnya, 2018, setoran PNBP menurun jadi Rp 489,2 miliar saat pagu anggaran Rp 845,23 miliar. Kemudian PNBP kembali menurun menjadi Rp 330,6 miliar pada 2019 saat pagu Rp 923 miliar, lalu PNBP Rp 120,3 miliar ketika pagu 2020 sebesar Rp 920 miliar. Sementara di 2021, PNPB Rp 246 miliar ketika pagu anggaran Rp 1 triliun.
”Kita tidak bisa mengukur secara sederhana naik turun PNBP yang berbasis dari kerja-kerja penindakan harus naik terus. Tetapi makin menurunnya PNBP bisa jadi terkait dengan pilihan-pilihan penindakan yang dilakukan KPK di dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi,” tutur Arsul.
Ia menilai, kontribusi KPK terhadap PNBP dari sektor penegak hukum pada 2021 masih rendah. Sebab, dari perkara korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan dengan kerugian negara Rp 56 triliun dan pengembalian ke negara hingga Rp 19 triliun, kontribusi dari KPK yang hanya Rp 246 miliar itu dinilai amat kecil. Kontribusi ini perlu menjadi perhatian ke depan agar KPK bisa lebih berkontribusi memberikan setoran untuk negara.
Di sisi lain, Arsul mendorong agar pidana denda dan uang pengganti tidak digantikan dengan pidana penjara. Jika ada yang memilih tidak membayar dan menggantinya dengan hukuman penjara, sementara ketika keluar penjara hidup berfoya-foya, usaha bisnisnya harus dipailitkan karena tidak membayar piutang.
”Itu akan lebih mendorong penegak hukum untuk meningkatkan PNBP dari situ,” ujarnya.