Jamin Keadilan dalam Pemilu, Regulasi Dana Kampanye Mendesak Diperbaiki
Ketidakjujuran dalam pelaporan dana kampanye terkadang diikuti dengan korupsi politik di kemudian hari. Buktinya, sudah banyak kepala daerah yang ditangkap KPK karena praktik ijon proyek demi mendapat dana kampanye.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK menemukan, masih banyak laporan dana kampanye tidak mengikuti aturan yang berlaku. Padahal, laporan itu penting untuk menjamin asas keadilan dalam kontestasi politik. Diperlukan terobosan regulasi dan penegakan hukum yang tegas untuk memperbaiki kejujuran pelaporan dana kampanye.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam acara diskusi ”Sinergi Membangun Negeri: Mencegah Kriminal Menguasai Negeri”, Selasa (22/3/2022), mengatakan, PPATK masih menemukan laporan dana kampanye dari partai politik ataupun calon kepala daerah yang jumlahnya tidak mengikuti aturan yang berlaku. Padahal, sudah menjadi konsensus bersama bahwa kontestasi politik tidak boleh mengadu kekuatan uang. Ibarat kendaraan, kontestan politik diatur untuk sama-sama memakai kendaraan berkapasitas mesin yang sama dan tidak boleh bersaing dengan kekuatan uang.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sumbangan dana kampanye untuk calon anggota DPR, DPD, dan DPRD maksimal Rp 750 juta dari perseorangan dan Rp 1,5 miliar dari kelompok atau badan usaha. Adapun calon kepala daerah dapat menerima bantuan kampanye maksimal Rp 75 juta dari perseorangan dan Rp 750 juta dari parpol atau badan hukum swasta.
Hasil temuan PPATK, rekening khusus dana kampanye (RKDK) untuk menampung bantuan atau sumbangan kampanye selalu menunjukkan pergerakan yang datar. Ini berarti biaya operasional yang digunakan parpol ataupun calon kepala daerah berasal dari rekening lain yang tidak dilaporkan. Ketidakjujuran dalam pelaporan dana kampanye itu terkadang juga diikuti dengan praktik korupsi politik di kemudian hari. Buktinya, sudah banyak kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena praktik ijon proyek demi mendapatkan dana kampanye.
”Kami banyak terkendala regulasi. Misalnya, mengapa semua kontestan itu wajib melaporkan dana RKDK, tetapi tidak ada kewajiban bahwa pembiayaan operasional juga dari dana RKDK tadi,” kata Ivan.
Selain Ivan, narasumber yang dihadirkan dalam acara itu adalah cendekiawan Muslim, Yudi Latif; hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra; Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron; komisioner KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay; dan Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya.
PPATK sebenarnya bisa mencegah itu, mengembalikan politik pada pertarungan yang adil. Tidak hanya sekadar adu uang, tetapi visi-misi. Caranya adalah dengan metode follow the money.
Ivan menambahkan, bagi PPATK selaku intelijen keuangan negara, sebenarnya aspek penting dalam pengawasan dana kampanye itu adalah memastikan bahwa sumber dana kampanye tidak berasal dari kejahatan, seperti korupsi. Sebab, contoh yang terjadi dalam kasus korupsi kepala daerah, seperti di Madiun, Nganjuk, dan Jombang, calon kepala daerah sudah melakukan praktik ijon. Kontestan menerima uang dari pihak lain untuk dana kampanye, dan mereka mengembalikan dalam bentuk proyek, perizinan, dan semacamnya.
”PPATK sebenarnya bisa mencegah itu, mengembalikan politik pada pertarungan yang adil. Tidak hanya sekadar adu uang, tetapi visi-misi. Caranya adalah dengan metode follow the money,” kata Ivan.
Perbaiki regulasi
Nurul Ghufron mengatakan, harus ada perbaikan dalam regulasi pendanaan kampanye. Catatan KPK, uang yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah di kabupaten atau kota minimal Rp 30 miliar. Adapun di kota atau kabupaten yang lebih metropolitan, jumlahnya bisa mencapai Rp 100 miliar. Namun, yang dilaporkan di rekening penampungan bantuan dana kampanye rata-rata hanya sekitar Rp 18,52 miliar.
”Bahkan, ada yang malah laporannya minus. Ini menunjukkan tanda tanya besar bagi KPK,” kata Ghufron.
Meskipun demikian, penegakan hukum yang dilakukan KPK adalah hilir dari produk politik yang gagal. Ketika proses pemilihan sudah berbiaya tinggi, otomatis para calon kepala daerah ataupun legislatif harus mengembalikan dana kampanye yang besar. Pemikiran itulah yang pada akhirnya melahirkan praktik penyalahgunaan wewenang dengan memperjualbelikan perizinan, proyek pengadaan barang dan jasa, serta penyelewengan lain.
”KPK berharap ada perbaikan serius soal regulasi pendanaan parpol dan kampanye agar KPK tidak hanya sebagai pembersih produk sampah dari lahirnya pemimpin. Demokrasi harus dikembalikan kepada khitahnya. Bukan uang yang berkuasa,” kata Ghufron.
Sementara itu, Hadar Nafis Gumay mengungkapkan, aturan yang ada saat ini memang tidak memaksa semua pengeluaran parpol dan calon pemimpin terekam dalam dana kampanye. Masih ada celah yang terbuka sehingga pelaporan dana kampanye terkesan masih sebatas formalitas. Banyak juga yang merekayasa penggunaan dana kampanye.
”KPU memiliki ruang untuk mengatur soal dana kampanye ini. PPATK juga bisa menginformasikan tentang pelonjakan penarikan uang kepada penyelenggara pemilu sehingga kalau ada catatan keluar-masuk uang yang sangat besar bisa ditindaklanjuti oleh penyelenggara pemilu. Jangan terbatas pada audit keuangan yang mereka laporkan,” tutur Hadar.
Ia menambahkan, faktanya, pemasukan dan pengeluaran memang tidak semuanya dilaporkan sebagai dana kampanye. Masih banyak celah dalam regulasi aturan dana kampanye. Perlu dipikirkan usulan dan mekanisme pendanaan kampanye oleh negara yang pernah diusulkan KPK.
Yunarto Wijaya berpendapat, secara tidak langsung sistem politik, terutama pemilu serentak, justru melanggengkan oligarki dan politik balas budi. Ini karena partai politik adalah aktor utama penentu calon pemimpin masa depan. Orang dengan kapasitas sebaik apa pun, ketika dia tidak mengantongi tiket dari partai, tidak bisa mencalonkan diri. Terlebih dengan aturan ambang batas pencalonan presiden yang sangat tinggi saat ini, hal itu justru akan menyuburkan oligarki politik dan utang budi.
”Sistemnya sudah salah sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin akan seperti itu. Ini diperparah dengan sikap permisif kita,” katanya.