”Fee” Rekayasa Pajak Disebut Mengalir ke Pejabat Lain di Kemenkeu
Dua saksi kunci dalam perkara suap petugas pajak dengan terdakwa Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak dihadirkan. Kesaksian mereka telah membuka dugaan aliran dana kepada pejabat lain di Kemenkeu.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah saksi menyebut ada pejabat lain di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang turut menerima uang suap dari perusahaan yang direkayasa laporan pajaknya. Saksi juga menyebut tim pemeriksa pajak dengan sengaja mencari wajib pajak yang mau bernegosiasi dan memberikan imbalan tertentu.
Hal itu disampaikan dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi untuk terdakwa Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak, bekas anggota Tim Pemeriksa Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (8/3/2022). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dengan didampingi Sukartono dan Ida Ayu sebagai hakim anggota.
Saksi yang dihadirkan dalam sidang ini adalah Febrian dan Yulmanizar, saksi dari jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keduanya adalah anggota tim pemeriksa pajak bersama Wawan dan Alfred. Dalam sidang tersebut, kesaksian Febrian sekaligus dikonfrontasikan dengan kesaksian Yulmanizar yang telah diperiksa minggu lalu.
Febrian menyampaikan, sebagai anggota tim pemeriksa yang paling yunior, dirinya bertugas membuat kertas kerja sebagai dasar keluarnya surat ketetapan pajak bagi wajib pajak. Namun, nominal pajak yang dicantumkan telah direkayasa sedemikian rupa sehingga sesuai dengan permintaan wajib pajak. Perhitungan pajak itu dibuat Febrian berdasarkan perhitungan laporan pajak perusahaan di tahun sebelumnya. Itu semua dilakukan atas sepengetahuan Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani.
Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani yang disebut Febrian merupakan dua terdakwa lain dalam kasus ini. Angin yang saat kasus suap terjadi menjabat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Kemenkeu serta Dadan menjabat Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Kemenkeu lebih dulu menjalani proses hukum. Angin telah divonis sembilan tahun penjara, sedangkan Dadan divonis enam tahun penjara. Keduanya dinilai terbukti telah merekayasa laporan pajak dari tiga wajib pajak korporasi, yakni PT Gunung Madu Plantation (GMP), PT Bank Panin Tbk, dan PT Jhonlin Baratama.
”Iya, (jumlah pajak) itu rekayasa. Dibuat berdasarkan laporan pajak sebelumnya,” kata Febrian.
Menjawab pertanyaan majelis hakim, Febrian menuturkan, untuk pemeriksaan pajak tahun 2016 terhadap PT GMP, perusahaan itu meminta agar pajak yang dibayar perusahaan sebesar Rp 20 miliar. Sebagai imbalannya, perusahaan menjanjikan fee sebesar Rp 15 miliar.
Kemudian, setelah surat ketetapan pajak terbit, fee tersebut diberikan. Sebagaimana disepakati, 50 persen diberikan kepada pejabat struktural di Kemenkeu dan 50 persen lainnya dibagi rata di tim pemeriksa pajak yang berjumlah 4 orang. Febrian mengaku menerima sekitar Rp 1 miliar dari fee yang diberikan PT GMP.
Demikian pula terhadap pajak tahun 2016 dari PT Panin Bank Tbk, Febrian mengatakan terdapat temuan awal pajak terutang sebesar sekitar Rp 900 miliar. Kemudian, utusan dari pemilik PT Bank Panin Tbk, Veronika Lindawati, menyampaikan agar pajak dijadikan Rp 300 miliar dan pihak PT Bank Panin akan menyiapkan Rp 25 miliar sebagai fee. Namun, alih-alih menerima Rp 25 miliar sebagaimana dijanjikan, pihak PT Panin Bank Tbk hanya memberi Rp 5 miliar.
”Sebenarnya tim agak kecewa. Pak Alfred kecewa, Pak Wawan kecewa. Setelah itu kami rapat lagi. Karena kami takut Pak Angin (Angin Prayitno Aji) marah, Rp 5 miliar itu kami serahkan semua kepada (pejabat) struktural. Jadi tim tidak terima semua. Rela tidak terima karena takut,” kata Febrian menjawab pertanyaan majelis hakim.
Terhadap PT Jhonlin Baratama, jumlah pajak direkayasa menjadi Rp 10 miliar dengan fee sebesar Rp 50 miliar. Jumlah fee itu dikurangi terlebih dahulu bagi konsultan pajak PT Jhonlin Baratama, yakni Agus Susetyo, sebesar Rp 10 miliar. Sisanya, yakni Rp 40 miliar, dibagi 2, bagi pejabat struktural dan tim pemeriksa pajak.
Namun, menurut Yulmanizar, uang yang diterima dari PT Jhonlin Baratama pada akhirnya sebesar Rp 35 miliar yang kemudian dibagi 2. Febrian mengaku menerima sekitar Rp 3 miliar dari situ.
Menurut Febrian, dengan adanya negosiasi berupa permintaan pengaturan besaran pajak yang disertai dengan pemberian fee, surat ketetapan pajak dapat terbit dengan waktu yang relatif cepat. Hal ini berbeda jika melalui proses normal atau tanpa rekayasa yang biasanya memakan waktu lama.
Kemudian, dalam sidang terungkap pula bahwa bagian 50 persen dari fee yang diserahkan kepada pejabat struktural di Kemenkeu, tidak hanya untuk Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani, tetapi juga terhadap pejabat yang lain. Satu yang disebut adalah Andri Puspo Heriyanto.
Febrian mengatakan bahwa nama tersebut termasuk yang mendapat bagian, tetapi ia tidak mengetahui persis porsinya. Demikian pula saksi Zulmanizar membenarkan pejabat tersebut turut menerima fee meski dia tidak tahu persentase pembagiannya.
”Saya tidak tahu karena itu tugas Pak Dadan dan Pak Angin (untuk membagi),” ujar Zulmanizar.
Dalam persidangan, terdakwa Alfred Simanjuntak menyatakan bahwa besaran pajak sebesar Rp 300 juta yang menjadi kewajiban PT Bank Panin Tbk memang sudah seharusnya demikian. Ia pun menyatakan bahwa tidak ada pemberian uang Rp 5 miliar dari PT Panin Bank Tbk. Sementara, Wawan Ridwan mengatakan bahwa keterangan Febrian tidak benar, beda dengan keterangan Zulmanizar yang dibenarkannya.
Dalam perkara tersebut, Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak didakwa terlibat korupsi secara bersama-sama dalam kurun Januari 2018 hingga September 2019. Wawan dan Alfred diduga masing-masing menerima 606.250 dollar Singapura.