Masih terus terjadinya represi digital di 2021 perlu disikapi dengan upaya ekstra dari banyak pihak untuk meningkatkan resiliensi digital dan langkah bersama untuk menghentikan kemunduran demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pemenuhan hak-hak digital sepanjang 2021 dinilai belum membaik. Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network, represi digital masih marak terjadi terutama pembatasan akses internet, kriminalisasi terhadap ekspresi warga di media sosial, serangan digital terhadap aktivis, dan maraknya kekerasan berbasis jender daring.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Rabu (2/3/2022), meluncurkan Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia 2021. Hasilnya, situasi belum membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Justru, berdasarkan parameter hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman di ranah digital, situasi belum banyak berubah.
”Situasi hak-hak digital di Indonesia belum membaik. Di tengah pandemi yang mulai terkendali, justru represi digital makin tinggi,” kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, melalui keterangan tertulis, Kamis (3/3/2022).
Dalam aspek akses internet, SAFEnet mencatat, kecepatan internet Indonesia paling lambat dibandingkan negara-negara tetangga. Secara global, Indonesia ada di urutan ke-76 untuk kecepatan akses internet menggunakan kabel dan lebih rendah lagi untuk akses dari perangkat bergerak. Adapun, dari sisi konten, berdasarkan Laporan Transparansi Google, di tahun 2021, Pemerintah Indonesia merupakan negara dengan jumlah volume permintaan tertinggi penghapusan konten kepada Google, yaitu 254.461 konten. Jumlah ini di atas Rusia yang hanya 205.802 konten.
“Menurut SAFEnet, ini menimbulkan kerentanan. Banyaknya penghapusan ini menyebabkan konten hak-hak digital warga negara banyak yang terlanggar,” terang Damar.
Catatan lain SAFEnet sepanjang 2021, adalah masalah akses internet di Papua. Selama 2021, setidaknya terjadi 12 kali gangguan akses internet dengan alasan keamanan ataupun teknis. Dari sisi kebijakan dan hukum, Indonesia juga mencatat rekam jejak yang buruk karena menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Aturan tersebut tetap diterbitkan meskipun kritik terhadap pelanggaran netralitas jaringan sudah disuarakan sejak aturan itu masih dirumuskan.
Selain itu, di tahun yang sama, Mahkamah Konstitusi juga menolak gugatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Suara Papua terhadap Pasal 40 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang rentan disalahgunakan untuk membatasi akses internet. MK menilai kebijakan pemerintah membatasi akses internet adalah tindakan yang legal dan konstitusional.
Di aspek kebebasan berekspresi, SAFEnet menemukan bahwa kriminalisasi terhadap ekspresi warga saat menggunakan media digital juga terus berlanjut. Sepanjang 2021, setidaknya ada 30 kasus pemidanaan dengan total 38 korban. Jumlah ini memang menurun dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 84 korban. Namun, sejak UU ITE disahkan pada tahun 2008, baru kali ini aktivis menempati peringkat pertama jumlah korban jika dilihat dari latar belakangnya. Dari total 38 korban, ada 10 orang atau kira-kira 26,3 persen korban berlatar belakang aktivis yang bersuara kritis.
”Tahun 2021 masih diwarnai dengan maraknya serangan digital terhadap masyarakat sipil, terutama kelompok kritis seperti jurnalis, aktivis, dan pembela HAM lain. Dua kasus di antaranya terjadi pada peretasan aktivis antikorupsi pada Mei 2021 serta mantan pegawai KPK pada September 2021,” terang Damar.
Adapun, sepanjang 2021, terdapat setidaknya 193 insiden serangan digital. Jumlah ini naik 38 persen jika dibandingkan dengan insiden pada tahun sebelumnya, yaitu 147 insiden. Puncak serangan digital terjadi di bulan September, yaitu 34 insiden. Serangan digital di bulan itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata serangan setiap bulan yang hanya 16 insiden.
”Jika melihat pada latar belakang korban serangan, semakin terlihat bahwa serangan digital di Indonesia ini semakin politis. Ini dapat dilihat dari tingginya serangan terhadap kelompok kritis, yaitu aktivis, jurnalis, dan media, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil yang mencapai 58,95 persen dari total serangan,” jelas Damar.
Sementara itu, dari aspek rasa aman di ranah digital, situasi juga semakin mengkhawatirkan. Sepanjang 2021, ada 677 aduan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang masuk ke SAFEnet, termasuk rujukan dari Komnas Perempuan. Laporan datang dari 26 provinsi dari total 34 provinsi di Indonesia. Laporan paling banyak terjadi di Pulau Jawa sebanyak 339 aduan, sedangkan dari luar Jawa sebanyak 87 aduan. Adapun, dari luar negeri 2 aduan, dan 249 aduan tidak diketahui latar belakang wilayahnya.
”Masih terus terjadinya represi digital ini perlu disikapi dengan upaya ekstra dari banyak pihak untuk meningkatkan resiliensi digital dan langkah bersama untuk menghentikan kemunduran demokrasi,” kata Damar.
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi saat dikonfirmasi, Kamis, mengatakan, laporan SAFEnet akan menjadi masukan bagi pemerintah. ”Laporan SAFEnet akan menjadi salah satu masukan dalam pemutakhiran kebijakan yang ada,” ujarnya singkat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam wawancara dengan Kompas, Jumat (18/2/2022), menyampaikan, komitmen dari pemerintah adalah merawat dinamika masyarakat, termasuk suara kritis masyarakat sipil sebagai bagian dari demokrasi. Pemerintah mencoba tidak membiarkan terjadinya kekerasan politik, tetapi juga berusaha untuk tidak represif, termasuk di ruang maya. Pemerintah mencoba untuk mendayung di antara dua kepentingan.
”Di masyarakat, ada kebutuhan tentang gerakan yang ingin menyampaikan aspirasi. Sementara di pemerintah juga ada kebutuhan agar negara tidak pecah dan koyak. Inilah yang coba kita rawat,” kata Mahfud.
Komitmen untuk menjaga ruang demokrasi itu, lanjut Mahfud, ditunjukkan dengan merevisi UU ITE. Pada pertengahan Desember 2021, pemerintah memastikan mengirimkan surat presiden (surpres) untuk merevisi kedua UU ITE yang dianggap banyak memuat pasal karet dan multitafsir. Surpres dikirimkan dengan harapan revisi UU ITE segera dibahas bersama dengan DPR. Sebelumnya, materi dari revisi UU ITE itu juga dituangkan melalui materi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kominfo, Kapolri, dan Jaksa Agung.
Menurut peneliti tata kelola internet Sherly Haristya, seluruh pemangku kepentingan perlu mendorong agar ada platform untuk memperluas moderasi konten. Sebelum konten dihapus dari internet, harus ada mekanisme untuk menentukan konten itu dengan konteks lokal. Ketika ada konten abu-abu di internet, misalnya, platform tidak bisa menghapus konten begitu saja, tetapi harus paham dengan konteks lokal.
”Regulator perlu bekerja sama karena penyedia platform tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil yang kredibel dalam menentukan apakah sebuah konten bisa diturunkan atau tidak,” kata Sherly.
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, yang menjadi korban kriminalisasi di ruang maya tahun 2021, menyebutkan, di tahun itu memang banyak kekerasan horizontal di internet dengan modus serangan pasukan siber (buzzer). Perekrutan besar-besaran pasukan siber untuk membuat kontra narasi terhadap masyarakat, ditambah dengan peretasan (doxing)memperparah situasi keamanan digital.
Adapun, Manajer Kebijakan Publik Meta Indonesia Noudhy Valdryno mengatakan, Meta sudah berusaha menciptakan internet yang aman, termasuk dengan melibatkan komunitas dalam menentukan apakah sebuah konten itu berbahaya atau tidak. Ada tiga cara yang digunakan Meta, yaitu metode laporan dari pengguna (generated report), otomatisasi dengan machine learning, dan review content. Salah satu tantangan terberat menurut Valdryno saat ini adalah mengatasi misinformasi atau hoaks.
”Untuk itu, kami menerapkan tiga strategi, yaitu menghapus konten misinformasi berbahaya, mengurangi penyebarluasan misinformasi, dan memberikan informasi tambahan,” terang Valdryno.