Tak Segera Tetapkan Tersangka Kasus Satelit, MAKI Siap Gugat Pra-peradilan
Meski telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tiga orang saksi, penyidik Kejaksaan Agung belum juga menetapkan tersangka kasus pengadaan satelit Kemenhan untuk Slot Orbit 123.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah melakukan serangkaian penyidikan, semestinya Kejaksaan Agung sudah mendapatkan titik terang mengenai para calon tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan. Oleh karena itu, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia atau MAKI berencana menggugat pra-peradilan jika penyidik tidak segera menetapkan tersangka hingga akhir Maret ini.
Apalagi, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan pencekalan terhadap tiga saksi ke luar negeri karena memiliki keterkaitan dengan perkara dugaan korupsi pengadaan satelit Slot Orbit 123 BT di Kemenhan. Mereka adalah AW, Presiden Direktur PT Dini Nusa Kusuma; SCW, konsultan teknologi dan mantan Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma; dan TAVDH, selaku swasta. Adapun saksi TAVDH tersebut diketahui adalah warga negara Amerika Serikat.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman, ketika dihubungi, Senin (28/2/2022), berpandangan, pencegahan terhadap tiga saksi tersebut merupakan indikasi kuat bahwa penyidik telah memiliki bukti kuat para calon tersangka. Sebab, upaya tersebut bukan merupakan upaya yang dapat dilakukan secara sembarangan.
”Menurut saya, keputusan itu merupakan bentuk keseriusan Kejaksaan Agung karena selama ini penetapan cegah tangkal atau cekal jarang dilakukan di perkara-perkara lain,” kata Boyamin.
Keseriusan juga terlihat ketika MAKI memberikan masukan sekaligus mengusulkan salah seorang saksi dicekal, yakni saksi TAVDH, pihak swasta yang juga adalah warga negara Amerika Serikat. Tidak lama kemudian, Kejaksaan Agung mencekal saksi tersebut meski yang bersangkutan diduga telah meninggalkan Indonesia.
Meski perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit Slot Orbit 123 BT tersebut ditangani secara koneksitas, Boyamin meyakini kasus ini dapat dituntaskan. Sebab, pucuk pimpinan lembaga, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD; Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sudah menjalin komunikasi dan saling mendukung pengungkapan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kemenhan tersebut.
Pencegahan terhadap tiga saksi tersebut merupakan indikasi kuat bahwa penyidik telah memiliki bukti kuat calon tersangka.
”Menurut saya, data dan bahan dari proses penyidikan selama ini sudah selesai. Sebenarnya hanya tinggal tunggu waktu saja untuk menetapkan tersangkanya,” ujarnya.
Meski demikian, MAKI merencanakan untuk mengajukan gugatan pra-peradilan terhadap proses penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan satelit Slot Orbit 123. Gugatan akan dilayangkan jika penyidik tidak segera menetapkan tersangka selambat-lambatnya pada bulan Maret ini.
Sebab, menurut Boyamin, dari proses penyidikan yang dilakukan selama ini semestinya Kejaksaan Agung sudah mendapatkan titik terang mengenai para calon tersangkanya. Meski demikian, Boyamin memaklumi bahwa perkara koneksitas memerlukan waktu lebih banyak untuk koordinasi antara penyidik Kejagung dan penyidik dari TNI.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pencekalan terhadap seseorang merupakan indikasi dugaan keterlibatannya dalam suatu tindak pidana. Namun, keterlibatan itu bisa dalam rangka sebagai saksi yang memang diperlukan keterangannya. Dengan dicekal, maka akan memudahkan penyidik meminta keterangan darinya.
”Belum tentu saksi yang dicekal itudijadikan tersangka. Tapi banyak terjadi bahwa saksi yang dicekal itu di kemudian waktu ditetapkan sebagai tersangka,v kata Fickar.
Menurut Fickar, pencekalan terhadap saksi yang adalah warga negara asing (WNA) dalam perkara dugaan korupsi pengadaan satelit tersebut kemungkinan dilakukan agar saksi tersebut dapat dipanggil sewaktu-waktu. Sebab, jika saksi tersebut berada di luar negeri, kemungkinan untuk mendapatkan keterangannya akan menjadi semakin sulit. Meski demikian, penyidik tetap dapat meminta bantuan Interpol untuk mendeteksi dan menangkap saksi tersebut untuk kepentingan permintaan keterangan.
Penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan satelit di Kemenhan mulai disidik Kejaksaan Agung pada Januari lalu. Sejumlah saksi telah dimintai keterangan dan sejumlah barang bukti sudah disita penyidik kejaksaan. Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak tidak merespons pertanyaan mengenai pemeriksaan saksi yang dilakukan secara koneksitas dengan TNI. Terakhir, penyidik kembali meminta keterangan dari saksi SW selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusumasekaligus Tim Ahli Kemenhan.
Kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara itu bermula dari kekosongan pengelolaan Satelit Garuda-1 yang telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat BT. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang mendapat hak pengelolaan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Dalam perjalanannya, kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit dialihkan dari Kemenkominfo ke Kemenhan walaupun tidak ada dasar hukumnya. Setelah itu, Kemenhan membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015 meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kemenkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.
Saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan belum memiliki pos anggaran pengadaan satelit. Namun, kontrak dengan pihak ketiga tetap dilakukan, tidak hanya dengan Avanti, tetapi juga perusahaan lain, seperti Navayo, Airbus, Détente, Hogan Lovells, dan Telesat.
Menurut Menko Polhukam, kontrak yang dilakukan sebelum ada anggaran negara merupakan pelanggaran prosedur. Ketiadaan anggaran itu pula yang menyebabkan Pemerintah RI digugat Avanti karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang sudah disepakati. Pengadilan arbitrase di Inggris, London Court of International Arbitration, akhirnya memutus Pemerintah RI harus membayar Rp 515 miliar kepada Avanti.