Mahfud MD Minta Masyarakat Berani Laporkan Dugaan Korupsi
Pemerintah meminta masyarakat tak ragu laporkan dugaan korupsi. Namun, berkaca pada Nurhayati, pelapor yang dijadikan tersangka korupsi dana desa, pemerintah juga perlu mengevaluasi celah korupsi pada dana desa.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta masyarakat untuk tidak ragu melaporkan dugaan korupsi kepada aparat penegak hukum. Hal itu ditegaskan setelah menghentikan berkas perkara penetapan tersangka Nurhayati, pelapor dugaan korupsi di Desa Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Menko Polhukam Mahfud MD dalam pernyataan yang ditayangkan di media sosial Kemenko Polhukam, Minggu (27/2/2022), mengatakan, ia telah berkomunikasi dengan pihak kepolisian dan kejaksaan terkait penetapan tersangka terhadap Nurhayati. Kemudian dipastikan bahwa berkas perkara terhadap tersangka Nurhayati tidak akan dilanjutkan.
Dipastikan bahwa berkas perkara terhadap tersangka Nurhayati tidak akan dilanjutkan.
Dengan demikian, lanjut Mahfud, kini hanya tinggal mekanisme teknis untuk menghentikan berkas perkara tersangka Nurhayati. Terdapat dua cara, yakni melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau surat keputusan penghentian penuntutan (SKP2).
”Bagi kita tidak terlalu penting yang mana (cara menghentikan perkara), yang penting sekarang semangat yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, agar orang berani melaporkan kalau ada korupsi,” kata Mahfud.
Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Resor Cirebon karena diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Nur disangka memberikan dana itu langsung kepada eks Kepala Desa Citemu berinisial S, bukan kepada kepala urusan dan kepala seksi pelaksana kegiatan. Padahal, kepada penyidik, Nurhayati mengungkap tindakan S yang diduga menyelewengkan anggaran desa lebih dari Rp 818 juta.
Dari kasus yang menimpa Nurhayati, menurut Mahfud, secara formal prosedural, aparat penegak hukum dari kepolisian ataupun kejaksaan tidak salah. Kedua institusi itu pun kemudian melihat substansinya sehingga berupaya menghentikan penetapan tersangka terhadap Nurhayati. Adapun berkas perkara terhadap eks kepala desa S tetap diproses hukum.
Berangkat dari kasus itu, Mahfud menegaskan kembali agar masyarakat tidak takut untuk melapor. Mengutip anjuran Presiden, kata Mahfud, masyarakat agar melaporkan pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi dan cukup bukti.
Secara terpisah, pengajar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berpandangan, penghentian berkas perkara terhadap Nurhayati tersebut merupakan tindakan korektif yang betul dan cepat. Selain bagi Nurhayati, penghentian penetapan tersangka itu akan mengikis keraguan masyarakat bahwa seorang pelapor perkara korupsi bisa ditetapkan sebagai tersangka.
Di sisi lain, Agustinus sependapat dengan anjuran dari Menko Polhukam agar masyarakat berani untuk melapor jika mengetahui adanya dugaan korupsi. Meski demikian, lanjutnya, tindakan pelaporan oleh masyarakat tersebut tidak perlu diberi persyaratan telah cukup bukti.
”Jangan takut melaporkan tindak pidana korupsi. Tapi, kalau soal bukti itu tugas kepolisian untuk mencari alat bukti,” katanya.
Dibutuhkan evaluasi
Menurut Agustinus, jika anjurannya mensyaratkan sudah cukup alat bukti, masyarakat tidak akan mampu melakukannya. Akibatnya, masyarakat pun tidak akan berani melapor. Namun, lanjutnya, hal itu bisa dipahami agar jangan sampai kemudian masyarakat hanya melaporkan gosip yang tidak jelas. Oleh karena itu, anjuran tersebut perlu ditambah dengan dugaan yang masuk akal, tanpa harus cukup alat bukti.
Pemerintah semestinya melakukan evaluasi dan meneliti pola-pola korupsi atau penyelewengan di tingkat desa. Bisa jadi penyelewengan tersebut dilakukan karena kurangnya pemahaman terhadap aturan.
Di sisi lain, ujarnya, perkara tersebut memperlihatkan persoalan yang selama ini sudah sering muncul, yakni korupsi di tingkat desa. Korupsi atau penyelewengan tersebut muncul seiring meningkatnya dana yang mesti dikelola oleh desa secara mandiri, khususnya dana desa.
Melihat fenomena itu, pemerintah semestinya melakukan evaluasi dan meneliti pola-pola korupsi atau penyelewengan di tingkat desa. Bisa jadi penyelewengan tersebut dilakukan karena kurangnya pemahaman terhadap aturan, tidak adanya pendampingan, atau memang ada kesengajaan dari individu.
”Misal karena tidak paham aturan, maka lakukan penyuluhan dengan melibatkan perguruan tinggi atau aktivis antikorupsi. Sekarang, kan, ada banyak pegawai eks KPK di kepolisian. Kenapa tidak digunakan saja untuk melakukan studi terhadap fenomena ini dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang perlu dilakukan,” tutur Agustinus.