Setelah ”Whistleblower” Kasus Dugaan Korupsi Ditersangkakan dan Menjadi Viral
Polri baru bisa memastikan apakah akan ada penangguhan status tersangka Nurhayati atau tidak setelah berkoordinasi dengan jaksa penuntut. Nurhayati adalah ”whistleblower” kasus dugaan korupsi di Cirebon, Jawa Barat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Ditetapkannya Nurhayati, Bendahara Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat, sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Cirebon mengundang kritik dari masyarakat. Pangkal soalnya, ia menjadi tersangka justru setelah melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dana desa tahun anggaran 2018-2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Desakan publik belakangan ini akhirnya membuat Mabes Polri meninjau ulang status tersangka tersebut.
Sebelumnya, Nurhayati (35) ditetapkan sebagai tersangka oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon Kota pada akhir November 2021. Dia ditetapkan menjadi tersangka setelah ikut mengungkap tindakan eks kepala desa berinisial S yang diduga menyelewengkan anggaran desa lebih dari Rp 818 juta. Sebelum melaporkan dugaan korupsi itu, Nurhayati terlebih dahulu mengirimkan surat kepada Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Citemu terkait dugaan korupsi atasannya (Kompas, 24 Februari 2022).
Menyikapi peristiwa tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi, Sabtu (26/2/2022), mengatakan, upaya perlindungan terhadap whistleblower atau pelapor tindak pidana korupsi kembali menjadi sorotan. Ini bukanlah kali pertama pelapor tidak mendapatkan perlindungan hukum dari aparat. Pada akhir 2020, sebutnya, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang juga menerima skorsing selama enam bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Kejadian berulang ini sangat disayangkan. Sebab, ke depan masyarakat akan selalu merasa dalam ancaman ketika ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum,” katanya.
Padahal, menurut dia, peran serta masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi telah dilindungi secara jelas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat berhak menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara. Fungsi kontrol masyarakat sangat penting untuk memastikan penyelenggaraan negara dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi.
Aturan perundang-undangan yang menjamin peran serta masyarakat itu di antaranya adalah Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perlindungan terhadap pelapor juga diatur dalam Pasal 13 Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption). Pasal itu mengamanatkan kepada setiap negara peserta, termasuk Indonesia, agar meningkatkan partisipasi aktif perseorangan ataupun kelompok di luar sektor publik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
”Regulasi itu setidaknya menunjukkan bahwa negara menjamin keamanan masyarakat ketika melaporkan kasus korupsi,” kata Kurnia.
Kurnia berpandangan, penetapan status tersangka terhadap Nurhayati tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal itu mengatur pelapor tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporannya. Jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya itu, tuntutan hukum wajib ditunda hingga kasus yang dia laporkan telah diputus oleh pengadilan dengan status telah berkekuatan hukum tetap.
Atas dasar aturan itu, seharusnya Polres Cirebon tidak boleh gegabah dalam mengambil langkah untuk menetapkan Nurhayati sebagai tersangka atas inisiatifnya melaporkan dugaan korupsi. Selain itu, dampak dari gegabahnya aparat menetapkan status tersangka itu, menurut Kurnia, juga bisa memberangus peran serta masyarakat dan justru berpotensi melanggengkan praktik korupsi.
Padahal, berdasarkan catatan Tren Penindakan Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Semester I Tahun 2021, sektor dana desa paling rawan dikorupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 35,7 miliar. Hal ini sejalan dengan data yang menyatakan lembaga yang paling sering ditangani oleh aparat penegak hukum adalah pemerintahan desa. Selain itu, aparatur desa juga masuk dalam 10 besar aktor paling banyak terjerat kasus korupsi.
”Atas kondisi buram ini, bukan tidak mungkin sektor dana desa itu justru akan semakin menjadi ladang basah korupsi karena masyarakat semakin takut untuk melaporkan apabila ada dugaan penyelewengan,” ucap Kurnia.
Melihat perkembangan situasi terkini, ICW mendesak kepada LPSK untuk mengambil langkah dalam memberikan perlindungan kepada Nurhayati sebagai bentuk mendukung upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia. Sesuai dengan aturan UU PKS, LPSK harus proaktif mendampingi Nurhayati untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana.
ICW juga mendesak KPK menyelesaikan sengkarut koordinasi antara Kejaksaan Negeri Cirebon dan Polres Cirebon dengan cara melakukan koordinasi serta supervisi perkara. Koordinasi dan supervisi memiliki dasar payung hukum yang kuat, yaitu Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 6 Ayat (1) Perpres No 102/2020 itu ada kewenangan KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi. Selain itu, kewenangan juga diatur dalam Pasal 6 juncto Pasal 8 Huruf a UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menjadi viral
Dalam keterangan pers yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan, Jumat sore, gelar perkara terhadap kasus yang diduga melibatkan N dan S yang ditangani Polres Cirebon dilakukan karena merupakan atensi dari Badan Reserse Kriminal Polri.
”Karena viral di masyarakat. Saya mengucapkan terima kasih kepada media yang membuat kasus ini viral sehingga mendapat perhatian pimpinan Polri,” katanya.
Saat dihubungi Sabtu, Brigjen (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, perkara itu akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan jaksa penuntut umum. Polri belum bisa memastikan apakah status tersangka Nurhayati akan ditangguhkan atau tidak sebelum ada koordinasi lebih lanjut dengan Kejaksaan Negeri Cirebon.
”Perkara untuk tersangka N, penyidik akan mengoordinasikan kembali kepada JPU untuk tindak lanjut kasus ini. Adapun untuk kasus dengan tersangka kepala desa setempat S tetap dilanjutkan,” kata Ahmad.
Ahmad belum bisa memastikan nasib status tersangka dari Nurhayati. Ia menegaskan bahwa status tersangka Nurhayati memang sedang ditinjau kembali. Namun, terkait dengan kepastiannya apakah ditangguhkan atau tidak, masih menunggu hasil koordinasi dengan kejaksaan terlebih dahulu. ”Kita tunggu hasil koordinasinya nanti, ya,” kata Ahmad.
Sementara itu, pihak Nurhayati sudah menyiapkan langkah hukum praperadilan. Kuasa hukum Nurhayati, Waswin Janata, di Cirebon, Kamis (24/2/2022), menyebut pihaknya tengah mengkaji rencana pengajuan praperadilan. Upaya hukum itu dapat menentukan sah atau tidaknya status tersangka terhadap kliennya. Pihaknya juga telah mengadu kepada LPSK serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD agar Nurhayati mendapatkan keadilan.