Ketua Gugus Tugas RUU TPKS: Surpres dan DIM Sudah Dikirim ke DPR
Ketua Gugus Tugas Rancangan Undang-Undang TPKS Edward Omar Sharif Hiariej menyebut pemerintah sudah mengirimkan surat presiden dan DIM RUU TPKS pada 11 Februari lalu. Namun, Ketua DPR mengaku belum menerimanya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) memberikan penjelasan kepada wartawan terkait dengan perkembangan legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di kantornya, Selasa (22/2/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Gugus Tugas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Edward Omar Sharif Hiariej menyebut pemerintah sudah mengirimkan surat presiden dan daftar inventarisasi masalah RUU TPKS ke DPR sejak 11 Februari kemarin. Pernyataan itu bertolak belakang dengan keterangan Ketua DPR Puan Maharani yang menyebut DPR belum menerima surat tersebut. Akibatnya, pembahasan RUU TPKS meleset dari target.
Edward yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) itu dalam acara ”Kupas Tuntas RUU TPKS” di kantornya, Selasa (22/2/2022), menyebutkan, surpres dan DIM RUU TPKS sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada Jumat (11/2). Surpres dan DIM diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.
Dari waktu maksimal 60 hari sejak surat dari DPR untuk membahas RUU TPKS diterima, pemerintah telah menyelesaikan DIM dan mengirimkan surat balasan kepada DPR hanya berselang dua pekan. Edward menyebut, pemerintah mengebut menyelesaikan DIM hanya tiga hari setelah menerima surat dari DPR. Persetujuan dan tanda tangan menteri terkait, yaitu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Kesehatan, dan Kantor Staf Presiden juga dikebut agar surpres bisa dikirim ke DPR.
”Surpres dan DIM sudah diterima. Pemerintah hanya perlu waktu dua minggu untuk menyelesaikan DIM karena sudah sering berkomunikasi dengan teman-teman Dewan melalui jalur informal. Surat diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad,” tutur Edward.
Kantor Staf Presiden RI
Ketua Tim Gugus Tugas RUU TPKS Eddy OS Hiariej (kiri) bersama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kanan) dalam rapat koordinasi terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Selasa (11/1/2022).
Sebelumnya diberitakan, pembahasan RUU TPKS antara pemerintah dan DPR kembali meleset dari target yang telah ditetapkan. RUU itu mulanya diharapkan dapat dibahas di masa reses, tetapi hingga penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, 18 Februari 2022, DPR belum juga menjadwalkan pembahasan dengan alasan belum menerima surat presiden dan daftar inventarisasi masalah dari pemerintah.
Surpres dan DIM sudah diterima. Pemerintah hanya perlu waktu dua minggu untuk menyelesaikan DIM karena sudah sering berkomunikasi dengan teman-teman Dewan melalui jalur informal. Surat diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Ketua DPR Puan Maharani dalam keterangannya pada Jumat (18/2) mengatakan bahwa DPR belum menerima surat dari pemerintah sebagai balasan atas usulan pembahasan RUU TPKS. Padahal, draf RUU TPKS yang merupakan inisiatif DPR itu telah dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo pada pertengahan Januari lalu (Kompas.id, Minggu 20/2/2022).
Percepatan pembahasan
Edward berharap proses pembahasan DIM RUU TPKS bisa dilakukan dengan cepat karena sebenarnya DPR dan pemerintah sudah satu frekuensi soal regulasi perlindungan korban kekerasan seksual ini. Pemerintah dan Baleg DPR sudah beberapa kali melakukan harmonisasi atau rapat konsinyering secara informal. Proses itu dilakukan karena pemerintah berkomitmen untuk segera menyelesaikan RUU TPKS. Namun, karena RUU TPKS adalah inisiatif DPR, pemerintah bersikap pasif.
Sekarang, lanjut Edward, pemerintah dalam posisi menunggu undangan dari DPR untuk rapat pembahasan DIM RUU TPKS. Menurut dia, informasi yang didapatkan dari Baleg DPR, untuk RUU TPKS sudah disepakati di tingkat Bamus untuk dapat dibahas meski DPR sedang masa reses. Apalagi, RUU TPKS sudah mendapatkan izin prinsip dari DPR.
”Kalau tidak ada aral melintang, Rabu (23/2), kami rapat kerja dengan Baleg DPR untuk membahas RUU TPKS. Saya sudah berkomunikasi dengan Ketua Baleg, insya Allah besok ada agenda pembahasan DIM RUU TPKS,” kata Edward lagi.
Edward juga menegaskan bahwa memang tidak ada niatan dari DPR dan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU TPKS. Pemerintah bahkan berharap di masa reses DPR, yaitu tanggal 19 Februari-14 Maret 2022, RUU TPKS dapat disetujui di rapat persetujuan tingkat pertama. Dengan demikian, ketika DPR memasuki masa sidang berikutnya, RUU sudah dapat disahkan.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Willy Aditya
Dihubungi terpisah, Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, pihaknya memang sudah meminta izin kepada pimpinan untuk menggelar rapat kerja pembahasan RUU TPKS dengan pemerintah. Namun, hingga Selasa sore, dia belum mendapatkan jawaban persetujuan dari pimpinan untuk menyelenggarakan rapat tersebut. Padahal, berdasarkan hasil rapat keputusan Bamus DPR, pembahasan RUU TPKS bisa dibahas di masa reses. Komitmen itu dibuat untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS yang memang urgensinya sudah sangat mendesak bagi masyarakat.
”Tinggal nunggu approval dari pimpinan. Besok, jika rapat kerjanya jadi, akan terbuka untuk umum,” kata Willy, politikus Partai Nasdem itu.
Hukum acara
Kompas/Hendra A Setyawan
Ketua DPR Puan Maharani (kiri) melakukan audiensi dengan sejumlah akademisi dan aktivis perempuan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Audiensi terkait Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang segera disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Pemerintah menambah usulan jenis-jenis pelecehan seksual yang sudah dirumuskan oleh DPR. Di antaranya adalah kejahatan seksual yang timbul karena relasi kuasa. Misalnya, kejahatan seksual antara dosen dan mahasiswa, guru dengan murid. Walaupun tidak ada paksaan, jika ada relasi kuasa karena budaya patriarki, misalnya, tetap bisa diproses hukum.
Sementara itu, terkait dengan substansi DIM RUU TPKS dari pemerintah, Edward menyampaikan bahwa pemerintah membenahi di bagian hukum acara. Hukum acara dibenahi untuk mempermudah pembuktian dalam perkara kekerasan seksual. Hukum acara diatur secara detail oleh penyidik, yaitu kepolisian dan kejaksaan.
RUU TPKS menitikberatkan pada hukum acara karena, berdasarkan Laporan Komnas Perempuan, Komnas HAM dan KPAI, ada sekitar 6.000 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia selama ini. Namun, perkara yang lengkap dan bisa dibawa sampai ke pengadilan tidak sampai dari 300 atau di bawah 5 persen.
Ini menunjukkan bahwa ada persoalan serius dengan hukum acara penanganan kasus kekerasan seksual sehingga laporan masyarakat tidak dapat diproses. Di RUU TPKS, hukum acara dibenahi menjadi lebih detail dan komprehensif. Salah satunya adalah satu saksi yang dilengkapi dengan alat bukti sudah cukup untuk memproses perkara oleh aparat penegak hukum. Keterangan korban dilengkapi dengan satu alat bukti lain sudah cukup untuk memproses perkara ke tahap penyidikan.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021). Berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan urgensi pengesahan RUU TPKS melalui bermacam media seiring terus berulangnya kemunculan kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
Lebih lanjut, Edward juga menambahkan bahwa di dalam tindak pidana kekerasan seksual, pemerintah menambah usulan jenis-jenis pelecehan seksual yang sudah dirumuskan oleh DPR. Di antaranya adalah kejahatan seksual yang timbul karena relasi kuasa. Misalnya, kejahatan seksual antara dosen dan mahasiswa, guru dengan murid. Walaupun tidak ada paksaan, jika ada relasi kuasa karena budaya patriarki, misalnya, tetap bisa diproses hukum.
Pemerintah juga menambahkan dua tindak pidana kekerasan seksual dari usulan DPR. Pemerintah mengategorikan tindak pidana kekerasan seksual menjadi pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strerilisasi, penyiksaan seksual, perkawinan paksa, dan perbudakan seksual. Perbudakan seksual yang diatur dalam RUU TPKS itu lebih luas dari yang sudah didefinisikan dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).