Butuh Sinergi Antarcabang Kekuasaan untuk Perbaiki Kinerja Penegakan Hukum
Kinerja penegakan hukum tak hanya dipengaruhi oleh instrumen aparat penegak hukum yang merupakan alat pemerintah, tetapi juga pengadilan yang melahirkan berbagai putusan hukum dari cabang kekuasan yudikatif.
JAKARTA, KOMPAS — Apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum masih rendah dibandingkan dengan bidang lain meskipun trennya meningkat. Untuk meningkatkan kepuasan publik di bidang hukum, diperlukan kerja keras dan komitmen antar cabang kekuasaan. Sebab, kinerja bidang hukum tidak hanya tergantung dari kinerja pemerintah semata.
Berdasarkan hasil Survei Kepemimpinan Nasional Kompas pada Januari 2022, kepuasan publik terhadap aspek penegakan hukum meningkat 5,3 persen, dari 60,6 persen pada Oktober 2021 menjadi 65,9 persen pada Januari 2022. Angka ini adalah capaian tertinggi dalam lima kali survei Kompas.
Jika dibandingkan dengan bidang lainnya, kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum memang masih tergolong relatif rendah. Apresiasi publik terhadap penegakan hukum masih di bawah kepuasan di bidang politik dan keamanan yang mencapai 77,6 persen.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat diwawancarai, Jumat (18/2/2022), mengatakan, selama dua tahun menjabat, tindakan dan penegakan hukum dilakukan sesuai dengan kapasitas pemerintah. Di tahun 2019, awal pemerintahan Jokowi-Amin, apresiasi publik di bidang penegakan hukum diklaim tidak sampai angka 50 persen. Kini, berselang dua tahun kemudian, hasilnya sudah mencapai 65,9 persen. Menurut dia, ini adalah capaian yang lumayan. Pemerintah berusaha menjaga dan memperbaiki capaian saat ini.
”Meskipun suatu saat pasti bisa turun. Apalagi, hukum ini, kan, tidak semata-mata ada di tangan pemerintah. Kalau ingin memperbaiki produk hukumnya tempatnya di DPR. Ada pula proses hukum di pengadilan. Namun, kembali lagi, semua akan kita jaga sesuai dengan kewenangan masing-masing. Langkah yang bagus akan terus diperbaiki,” tutur Mahfud.
Baca Juga: Menko Polhukam Mahfud MD: Mendayung di Antara Dua Kepentingan
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, saat dihubungi, Senin (21/2/2022), berpendapat, kinerja penegakan hukum tidak hanya dipengaruhi oleh instrumen aparat penegak hukum yang merupakan alat pemerintah. Instrumen pengadilan yang melahirkan berbagai putusan hukum dari cabang kekuasan yudikatif juga menjadi penentu.
Data yang dipaparkan oleh survei Kompas, lanjutnya, menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya melihat aspek penegakan hukum dari kinerja kepolisian, tetapi juga jaksa dan hakim. ”Ini harus menjadi kesadaran bersama baik dari aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, ataupun pimpinan lembaga peradilan. Semuanya harus berbenah memperbaiki diri agar tidak menjadi sentiment negatif di mata publik yang kemudian tertangkap dalam hasil survei,” kata Arsul.
Meskipun demikian, menurut Arsul, kerja-kerja aparat penegak hukum tetap perlu diapresiasi. Kepolisian, misalnya, telah bekerja keras memperbaiki citra mereka di depan publik. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo tidak sungkan dan segan meminta maaf serta berjanji memperbaiki kekurangan yang ada.
Kapolri harus tegas mengevaluasi kinerja bawahannya yang tidak sesuai dengan komitmennya. Misalnya, konflik akibat tanah dan pertambangan di Wadas, Purworejo, insiden penembakan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, ataupun penanganan kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Lahat, Sumatra Utara. ”Tiga masalah di Wadas, Parigi Moutong, dan Lahat itu harus diselesaikan secara komprehensif agar tidak merusak capaian di bidang penegakan hukum yang sudah bagus,” kata Asrul.
Di lembaga Kejaksaan Agung, juga ada ikhtiar untuk memperbaiki citra. Salah satunya adalah pengenalan dan perluasan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice dalam penyelesaian perkara. Ini dianggap berkontribusi pula terhadap peningkatan kepuasan publik kepada pemerintah.
Untuk mendukung kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum, pimpinan lembaga peradilan, yaitu Ketua Mahkamah Agung (MA), juga wajib memperbaiki citranya di mata publik. Selama ini, kata Arsul, yang lebih banyak terlihat dibenahi baru aspek pelayanan publik, terutama optimalisasi penggunaan teknologi informasi. MA terlihat gencar meningkatkan kemudahan pelayanan melalui program e-court, percepatan hingga penyederhaan massa sidang.
Namun, aspek budaya hukum atau perilaku hakim masih belum banyak diperbaiki. Di kalangan pengacara, misalnya, laporan yang masuk ke Komisi III, mereka merasakan masih banyak praktik suap di pengadilan. ”Bahkan, masih banyak anggapan bahwa kalau mereka tidak menyuap pengadilan, mereka akan kalah saat beperkara,” ujar Arsul.
Dalam waktu dekat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap kasus dugaan suap dalam penyelesaian perkara yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Itong Isnaeni Hidayat. Secara tidak langsung, hal ini memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, MA harus melakukan mengoptimalkan kinerja pengawasan dan reformasi birokrasi.
Untuk mendukung kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum, pimpinan lembaga peradilan, yaitu Ketua Mahkamah Agung, juga wajib untuk memperbaiki citranya di mata publik.
Citra MA dalam menciptakan kemudahan proses berperkara, penanganan gugatan yang bersih dan bebas korupsi harus terus diperbaiki. ”Demikian pula dengan putusan-putusan yang dihasilkan hakim juga harus lebih ditingkatkan kualitasnya. Selama ini, media kan banyak yang mengekspos soal diskon putusan terhadap perkara korupsi, misalnya. Ini menjadi poin evaluasi yang tidak hanya dilakukan oleh eksekutif, tetapi juga cabang kekuasaan lain termasuk yudikatif,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum PPP itu juga tak sungkan menyampaikan otokritik terhadap kinerja DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif. Menurut dia, DPR juga berkontribusi dalam menyumbang kepuasan publik terhadap aspek penegakan hukum. Sebab, produk hukum perundang-undangan dihasilkan oleh DPR. Oleh karena itu, DPR juga mutlak untuk memperbaiki kinerja legislasi. Diharapkan, DPR tidak hanya fokus pada kinerja pengawasan penegakan hukum, tetapi juga mengintensifkan kerja-kerja legislasi.
Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, menyampaikan, masih rendahnya kepuasan publik terhadap kerja penegakan hukum menunjukkan bahwa rezim pemerintahan Jokowi-Amin masih kurang menghargai hukum. Menurut dia, hukum masih banyak digunakan sebagai alat kekuasaan, penegakan hukum tebang pilih, dan hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Baca Juga: Bahasa dalam Hukum dan Kekuasaan
Hal ini setidaknya terlihat dari upaya pemberantasan korupsi yang melemah, baik di KPK maupun kejaksaan. Selain itu, proses pembentukan hukum di parlemen juga kurang terbuka. Banyak UU yang disahkan dengan terburu-buru tanpa mengindahkan aspek formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
”Contohnya, ya, pembentukan UU Ibu Kota Negara, UU Cipta Kerja yang begitu cepat dan tidak masuk akal. Survei ini menurut saya mencerminkan realitas hukum sebenarnya yang lebih buruk,” ujarnya.
Sebagai kepala pemerintahan tertinggi, lanjut Benny, Presiden Joko Widodo tidak boleh membiarkan penegakan hukum lemah. Presiden harus berkomitmen untuk memperbaiki aspek yang masih kurang menurut hasil survei.
Indeks persepsi korupsi
Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainur Rohman, salah satu hal yang harus diperbaiki untuk dapat meningkatkan citra penegakan hukum adalah meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Sebab, IPK itu lebih menggambarkan pergerakan penegakan hukum dalam hal ini pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun, dari era ke era.
”Jika IPK membaik, saya sangat percaya bahwa kepercayaan terhadap aspek hukum (dalam kinerja pemerintah) juga akan membaik. Namun, kalau pertanyaannya spesifik soal masih adanya mafia kasus, yang harus dilakukan adalah reformasi penegakan hukum. Itu yang belum dilakukan. Dan, yang harus dilakukan secara sistemik oleh pemerintah,” ujarnya.
Problem mafia hukum selalu ada dari tahun ke tahun. Misalnya, pada 2020, publik geger dengan terbongkarnya kasus mafia hukum yang sangat besar yang melibatkan Joko Tjandra, terpidana korupsi hak tagih piutang (cessie) Bank Bali. Kasus tersebut melibatkan hampir seluruh penegak, hukum mulai dari polisi, jaksa, hingga pengacara. Kemudian di awal tahun 2022, ada hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Itong Isnaini Hidayat, tertangkap KPK terkait dugaan suap penanganan perkara.
Menurut Zainur, masih banyak kasus yang lain yang melibatkan penegak hukum, misalnya beberapa kasus viral, seperti penjualan barang bukti narkotika serta suap dari pengedar narkoba. Ia menyebutkan, tagar ”satu hari satu oknum” di media sosial yang sempat viral beberapa waktu sebelumnya.
”Dari tahun ke tahun, aspek penegakan hukum yang paling rendah dibandingkan aspek lain. Bahkan, lebih rendah dari aspek perekonomian. Kalau perekonomian rendah misalnya karena terhantam Covid-19 gitu, kan. Kalau aspek penegakan hukum konsisten di peringkat paling rendah. Artinya, perlu upaya sistematis dari pemerintah untuk melakukan reformasi hukum. Ada dua, reformasi sistem hukum dan reformasi institusi penegak hukum,” katanya.
Reformasi sistem hukum, tambahnya, dilakukan dengan mereformasi sistem hukum yang memberi kewenangan terlalu besar kepada penegak hukum tanpa kontrol dari publik. Jika kewenangan yang terlalu besar kepada institusi penegak hukum, potensi penyelewengan kekuasaan juga besar. Hal ini berarti besar pula potensi korupsi.
”Ini bisa dikurangi dengan cara melakukan perubahan terhadap KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dengan memberikan jaminan perlindungan bagi warga negara ketika berhadapan dengan hukum dan berperspektif korban,” ungkapnya.
Hal lain yang juga penting dilakukan adalah reformasi institusi penegak hukum. Menurut Zaenur, reformasi institusi penegak hukum sejak era Reformasi hingga kini berjalan sangat lambat. Buktinya, isu mafia perkara masih terus menjadi persoalan yang belum terselesaikan sejak dahulu hingga kini.
Ia menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi penegak hukum yang ada di bawahnya, seperti kepolisian dan kejaksaan. ”Kalau lihat misalnya institusi kepolisian ada tagar satu hari satu oknum, itu menunjukkan memang belum serius. Reformasi institusi penegak hukum belum dijadikan agenda penting oleh pemerintah,” ujarnya.
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mencontoh reformasi yang dilakukan di Kementerian Keuangan oleh Sri Mulyani. Gebrakan tersebut telah menghasilkan perubahan drastis di Kementerian Keuangan.
Menurut Zaenur, reformasi serupa dapat dilakukan di institusi penegak hukum seperti kepolisian dengan catatan program yang dilakukan terencana, terarah, dihitung secara kuantitaif. ”Mulai dari kesejahteraan anggota kepolisian, proses perekrutan, pembinaan, pola karier, dan bagaimana pengawasan, bagaimana kode etik, bagaimana indikator penilaian kinerja sehingga menekan terjadinya pelanggaran dan bisa meningkatkan profesionalitas. Selama ini, mana ada kita pernah dengar ada reformasi kepolisian. Enggak ada,” katanya.
Reformasi kepolisian, misalnya jika dilakukan, menurut Zaenur, memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak. Misalnya, dalam perekrutan perlu menggandeng Ombudsman RI, dalam dukungan anggaran/peningkatan kesejahteraan anggota kepolisian dapat menggandeng Kementerian Keuangan, dalam hal aturan dan merevitalisasi komisi kepolisian nasional dapat menggandeng DPR.