Proses Penyidikan Kasus Paniai Dinilai Masih Stagnan
Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar menyatakan, sejak tim penyidik perkara dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai dibentuk, perkembangan penyidikannya belum ada perkembangan. Padahal, penyelidikannya dibatasi waktu.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski tim penyidik telah dibentuk, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau Elsam menilai penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Paniai tidak jelas. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, proses penyidikan dibatasi waktu.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, ketika dihubungi pada Selasa (8/2/2022), di Jakarta, berpandangan penyidikan kasus pelanggaran HAM yang berat di Pania tidak jelas atau abu-abu karena Jaksa Agung menggunakan istilah penyidikan umum. Padahal, istilah penyidikan umum tidak dikenal baik dalam UU tentang Pengadilan HAM ataupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
”Penyidikan umum ini mengacu ke mana? Apakah ini mengacu pada pidana umum karena menggunakan istilah umum?” kata Wahyudi.
Sementara, lanjut Wahyudi, proses penyidikan tersebut dibatasi waktu. Sebagaimana diatur Pasal 22 UU tentang Pengadilan HAM, penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap.
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 90 hari untuk kemudian dapat diperpanjang lagi paling lama 60 hari atau total sekitar 8 bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut penyidikan tidak memperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penyidikan oleh jaksa Agung.
Sementara, ketika memulai penyidikan pada 3 Desember 2021, alih-alih Jaksa Agung menyatakan berkas perkara Paniai lengkap, yang dikatakan justru sebaliknya, yakni belum terpenuhinya alat bukti yang cukup. Oleh karena itu, dilakukan penyidikan umum dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti untuk membuat terang perkara tersebut.
Penyidikan perkara pelanggaran HAM berat tidak jelas. Demikian pula mengenai periode waktu yang membatasi tahap penyidikan tersebut telah berjalan atau belum juga tidak jelas.
Berdasarkan hal itu, Wahyudi menilai penyidikan perkara pelanggaran HAM berat tidak jelas. Demikian pula mengenai periode waktu yang membatasi tahap penyidikan tersebut telah berjalan atau belum juga tidak jelas.
”Sejauh ini, dari proses yang dilakukan kejaksaan, saya melihatnya masih dalamsituasi status quo, masih stagnan. Situasinya pada dasarnya masih sama bahwa Jaksa Agung menyatakan hasil penyelidikan belumlengkap sementara di sisi lain kewenangan komnas HAM sebagai penyelidik terbatas dalam menyediakanbukti-bukti yang seharusnya dilengkapi penyidik,” kata Wahyudi.
Proses berjalan lancar
Secara terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin berharap agar proses penyidikan tersebut dapat berjalan dengan baik. Ia pun memastikan bahwa sejak awal Komnas HAM telah berupaya mendukung agar proses penyidikan berjalan lancar.
Menurut Amiruddin, pejabat dari Kejaksaan Agung telah datang ke Komnas HAM untuk berkoordinasi. Komnas HAM pun telah menugaskan kantor perwakilan Komnas HAM di Jayapura untuk mendukung penyidikan tim penyidik tersebut di lapangan, termasuk ketika memeriksa saksi-saksi.
Kami berharap penyidikan ini betul-betul bisa berjalan dengan baik dandidukung semua pihak tersebut. Terkait prosesnya, begitu hasil penyelidikan ditindaklanjutidengan penyidikan, itu sepenuhnya di tangan Jaksa Agung.
Di sisi lain, Komnas HAM telah menyampaikan proses penyidikan tersebut, baik ke TNI maupun Polri. Komnas HAM berharap agar kedua institusi tersebut mendukung proses penyidikan, khususnya dukungan ketika ada personel mereka yang diminta keterangan.
”Kami berharap penyidikan ini betul-betul bisa berjalan dengan baik dandidukung semua pihak tersebut. Terkait prosesnya, begitu hasil penyelidikan ditindaklanjutidengan penyidikan, itu sepenuhnya di tangan Jaksa Agung,” ujar Amiruddin.
Terkait penyidikan perkara HAM berat di Paniai, Kompas mencoba mengonfirmasi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak. Namun, ia tidak merespons pertanyaan yang dikirimkan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengingatkan bahwa dari 15 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk yang terjadi di masa lalu, baru tiga yang dibawa ke pengadilan HAM, yakni kasus di Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Ia pun berharap agar kasus-kasus tersebut perlu segera dituntaskan sebagai upaya untuk mengakhiri impunitas.
Menurut Usman, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, termasuk yang terjadi di masa lalu bukan hal yang tidak mungkin untuk dituntaskan. Hal itu semua tergantung pada kemauan pemerintah.