Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, sejumlah ahli menilai revisi UU KPK yang melahirkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tak dibutuhkan. Apalagi hasil revisi melemahkan KPK sekaligus pemberantasan korupsi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah ahli menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang melahirkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tidak dibutuhkan. Apalagi hasil dari revisi terbukti melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Imbas dari hal ini, korupsi dikhawatirkan makin tumbuh subur dan hal itu akan menghambat kemajuan negara.
Hal itu diungkapkan oleh ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (14/7/2020). Rimawan menjadi saksi ahli dalam perkara pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada tujuh gugatan yang disidangkan bersamaan terkait UU No 19/2019 tersebut di MK.
Rimawan menjelaskan, berdasarkan penelitiannya, korupsi terbukti menghambat pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas yang menghambat kegiatan bisnis. Akibat jangka panjangnya, perkembangan ekonomi dan kemajuan negara akan terhambat. Berdasarkan hal itu, ia menekankan, keliru jika ada pandangan pemberantasan korupsi justru menghambat iklim investasi.
Dalam kajian FEB UGM, kerugian negara akibat korupsi dalam rentang waktu 2011-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Adapun biaya sosial yang dikeluarkan untuk menangani kasus korupsi mencapai Rp 509,75 triliun. Apabila korupsi dapat diberantas, uang senilai kurang lebih Rp 500 triliun tersebut sudah mampu untuk membangun 10 perguruan tinggi negeri sebesar UGM (Rp 150 triliun), membiayai dua proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya (Rp 200 triliun), hingga subsidi 15,2 tahun defisit BPJS Kesehatan (Rp 138,5 triliun).
Menurut Rimawan, saat ini yang terjadi di Indonesia adalah rakyat atau para pembayar pajak menyubsidi para koruptor. Sebab, biaya sosial korupsi minimal 2,5 kali lipat daripada kerugian negara. Biaya sosial akan jauh lebih besar jika kasus korupsi yang diungkap terkait dengan sumber daya alam.
Selain itu, total hukuman finansial atau denda yang dibayarkan kepada negara hanya 10,42 persen atau Rp 21,26 triliun dari total kerugian negara akibat korupsi senilai Rp 203,9 triliun. Sisa kerugian negara tersebut akhirnya ditanggung oleh rakyat, yaitu para pembayar pajak.
”Seluruh negara maju seperti Inggris, Singapura, dan Korea Selatan itu telah lebih dulu mereformasi hukum mereka, salah satunya adalah penegakan hukum terhadap koruptor. Jika Indonesia malah mundur ke belakang dalam upaya pemberantasan korupsi, kapan bisa maju?” ujar Rimawan.
Ia lantas mencontohkan UU KPK hasil revisi, yaitu UU No 19/2019. Independensi KPK, kemudian kewenangan KPK terdampak oleh revisi itu. Hal itu membuat pemberantasan korupsi oleh KPK tak seperti sebelum terbitnya UU tersebut. Ia pun khawatir dampak dari hal itu akan membuat korupsi kian marak. Imbasnya ke investasi. Investor akan ragu menanamkan modalnya di Indonesia.
Melemahkan KPK
Sementara itu, dosen Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Trisno Raharjo, menambahkan, sejumlah kajian menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia belum dapat ditangani oleh regulasi maupun lembaga penegak hukum yang independen. Ironisnya, KPK yang selama ini independen justru dikoyak dengan UU No 19/2019.
Terkait keberadaan Dewan Pengawas KPK, misalnya, hal itu menurut dia melanggar konvensi antikorupsi yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Berdasarkan konvensi internasional itu, KPK seharusnya diperkenankan memiliki kebijakan khusus.
Apabila harus meminta izin dalam hal penyidikan pun, seharusnya izin itu dikeluarkan oleh pengadilan. Ini pun ketentuannya dapat fleksibel, seperti diatur dalam UU Pidana, bahwa penyitaan aset dapat dilakukan terlebih dahulu meski belum mendapatkan izin dari pengadilan.
Trisno juga menyoroti soal kewenangan penyadapan yang saat ini diatur dalam revisi UU KPK. Dalam aturan baru itu, bukti penyadapan harus dimusnahkan apabila tidak berhubungan dengan pembuktian. Menurut Trisno, hal tersebut berbeda dengan ketentuan penyadapan yang ada dalam UU Narkotika dan UU Terorisme. UU Terorisme misalnya lebih leluasa memberikan aturan soal penyadapan.
”Ini menunjukkan bahwa negara kita sangat tidak peduli terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab, dalam aturan penyadapan ini saja, korupsi kalah dengan kasus narkotika dan terorisme,” kata Trisno.