Masyarakat Sipil Laporkan Pihak-pihak yang Dianggap Fasilitasi Joko Tjandra
Sejumlah pihak dilaporkan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil karena dianggap memfasilitasi buronan kasus ”cessie” Bank Bali, Joko Tjandra, dalam mengurus sejumlah hal. Laporan disampaikan ke Polri dan Ombudsman RI.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kelompok masyarakat sipil mendesak agar peranan pihak-pihak yang memfasilitasi buronan cessie Bank Bali, Joko Tjandra, dalam proses masuk ke Indonesia hingga mendaftarkan peninjauan kembali perkaranya diusut tuntas. Mereka juga mulai melaporkan sejumlah pihak ke Kepolisian Negara RI ataupun ke Ombudsman RI.
Komite Anti Korupsi Indonesia, Senin (6/7/2020), melaporkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pengacara Joko Tjandra ke Bareskrim Mabes Polri. Politisi Partai Gerindra, Arief Poyuono, dalam kapasitas pribadi, juga turut melaporkan mereka. Sementara itu, Selasa (7/7), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia direncanakan melaporkan sejumlah pihak ke Ombudsman RI terkait dugaan malaadministrasi terkait penanganan Joko Tjandra.
Seperti diberitakan, Joko Tjandra divonis 2 tahun penjara terkait perkara cessie Bank Bali pada 2009. Sehari sebelum Mahkamah Agung membacakan putusan PK, Joko meninggalkan Indonesia ke Papua Niugini.
Setelah buron selama sekitar 11 tahun, pada 8 Juni 2020, ia mengurus KTP-elektronik di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan, kemudian KTP-el itu, di hari yang sama, digunakan untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya di PN Jakarta Selatan. Di persidangan 29 Juni dan 6 Juli 2020, Joko Tjandra tak hadir. Majelis hakim memberi kesempatan terakhir bagi Joko untuk hadir di sidang pada 20 Juli 2020.
Saat dihubungi, Selasa (7/7), Arief Poyuono mengatakan bahwa seluruh fasilitator yang menghalangi eksekusi terpidana Joko Tjandra harus diusut tuntas. Menurut dia, siapa pun yang menghalangi eksekusi tersebut dapat dilaporkan karena melakukan tindak pidana melindungi atau menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.
”Joko Tjandra berada di Indonesia pada 8 Juni 2020. Dia bahkan datang langsung ke PN Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK putusan Mahkamah Agung. Namun, di situ dia tidak ditangkap. Joko juga mangkir dari sidang pemeriksaan selama dua kali. Patut diduga ada pihak-pihak yang menyembunyikan dia,” tutur Arief.
Perbuatan itu, kata Arief, bisa dikategorikan melanggar Pasal 221 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan. Selain itu, juga Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.
Arief menilai bahwa delik aduan tersebut dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri sebagai wujud kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem hukum di Indonesia. Presiden, kata dia, dalam berbagai kesempatan kerap mengungkapkan komitmennya terhadap hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, kata Arief, masih ada tindakan menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice). Negara seolah kalah terhadap terpidana kasus korupsi yang sudah menjadi buronan selama 11 tahun. Ironisnya, hal tersebut terjadi di era kecanggihan teknologi. Hal ini memunculkan anggapan di masyarakat bahwa ada pembiaran yang dilakukan oleh negara.
”Laporan kami sudah diterima oleh Bareskrim Mabes Polri. Selanjutnya, kami akan di-BAP,” kata Arief.
Perihal hak imunitas kuasa hukum Joko Tjandra, Arief menyadari dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juncto Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 diatur bahwa advokat tak dapat digugat secara perdata atau pidana ketika membela kliennya, baik di dalam maupun di luar persidangan. Namun, dia berpendapat ada batasan dalam hak imunitas itu. Hak imunitas hanya dapat melekat jika advokat menjalankan profesinya dengan baik, tidak melanggar kode etik, dan peraturan perundangan yang berlaku.
Sekretaris Jenderal Perhimpuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, unsur menghalang-halangi proses hukum dapat dipenuhi jika sebelumnya memang sudah ada upaya optimal dari negara untuk mengejar Joko Tjandra. Misalnya, sudah ada publikasi informasi tentang Joko Tjandra yang berstatus buronan dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Selain itu, juga terkait dengan apakah memang yang bersangkutan sudah berkali-kali tidak hadir dalam pemeriksaan perkara PK yang diajukan di PN Jaksel. Indikator untuk memenuhi unsur dari obstraction of justice itu adalah upaya dari penegak hukum. Apakah dia menghalangi pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan atau apa.
”Selama ini, kami belum mengetahui atau belum optimal tentang status Joko Tjandra sebagai DPO. Tahu-tahu masyarakat tahu bahwa dia ada di Indonesia dan ajukan PK ke pengadilan,” tutur Julius.
Sementara itu, Kuasa hukum Joko, Andi Putra Kusuma, sebelumnya menolak tuduhan bahwa dirinya dan tim kuasa hukum telah menyembunyikan Joko S Tjandra. Sebab, ketika mendaftarkan permohonan PK di PN Jaksel pada 8 Juni lalu, Joko tidak ditangkap.
Andi melanjutkan, mengutip keterangan tertulis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sejak 2014, Joko tidak lagi dicekal atau dicegah pihak Imigrasi karena tidak ada lagi permintaan sebagai daftar pencarian orang dari Kejaksaan Agung. Oleh karena itu, sejak 13 Mei 2020, Kemenkumham menghapus nama Joko S Tjandra dari sistem daftar pencarian orang. Baru pada 27 Juni 2020, nama Joko S Tjandra kembali masuk ke dalam DPO pihak Imigrasi, baik untuk pencegahan maupun pencekalan.
”Andai kata Pak Joko masuk (ke Indonesia) pada rentang waktu 8 Juni itu, kan, sedang tidak ada pencegahan. Jadi, dari mana saya menyelundupkan karena untuk bisa sampai ke PN Jaksel ini harus melewati Imigrasi, kepolisian, dan lainnya. Harusnya dipertanyakan kenapa bisa sampai ke sini,” papar Andi.
Laporan ke Ombudsman
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) hari ini direncanakan melaporkan sejumlah pihak kepada Ombudsman RI tentang dugaan malaadministrasi dan kesegajaan melanggara aturan dalam kasus Joko Tjandra.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, MAKI akan melaporkan tiga pihak ke Ombudsman RI, yaitu Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat NCB Interpol, dan Kelurahan Grogol Selatan. Ditjen Imigrasi dilaporkan karena dianggap melakukan malaadministrasi atau sengaja membiarkan Joko Tjandra keluar-masuk Indonesia tanpa hambatan.
Sementara itu, Sekretariat NCB Interpol Indonesia dilaporkan karena mengirimkan surat kepada imigrasi bahwa masa cekal DPO Joko Tjandra tersebut telah habis dan tidak diperpanjang oleh Kejaksaan Agung. Adapun Lurah Grogol Selatan dilaporkan karena telah memberikan KTP elektronik kepada Joko Tjandra dalam durasi sangat kilat.
”Siang ini, kami akan melaporkan dugaan malaadministrasi itu kepada Ombudsman RI,” kata Boyamin.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh dalam siaran persnya, Selasa, menuturkan, dalam database kependudukan, Joko Tjandra masih tercatat sebagai warga negara Indonesia (WNI). Sampai saat ini, Ditjen Dukcapil dan Dinas Dukcapil Provinsi DKI belum pernah menerima informasi tentang pelepasan kewarganegaraan.
Ditjen Dukcapil membutuhkan informasi dan data dari Kemenkumham terkait kewarganegaraan Joko Soegiarto Tjandra. Apabila terbukti yang bersangkutan sudah menjadi WNA, KTP-el dan KK WNI akan dibatalkan oleh Dinas Dukcapil DKI.
Sampai saat ini, kata dia, dukcapil tidak memiliki data tentang data cekal dan buronan. Selain itu, dukcapil belum pernah mendapatkan pemberitahuan tentang subyek hukum yang menjadi buronan atau DPO dari pihak yang berwenang.
Agar kasus seperti ini dapat dicegah, Ditjen Dukcapil dan Dinas Dukcapil perlu diberi pemberitahuan tentang data orang yang dicekal, DPO/buronan
Ditjen Dukcapil, kata Zudan, juga sudah mendapat laporan dari Lurah Grogol Selatan bahwa petugas di kelurahan tidak ada yang mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah buron sehingga memproses permohonan seperti biasa.