RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunda, Keadilan bagi Korban Terhambat
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai sebagai ruang aman bagi korban untuk bicara tanpa tekanan untuk menunjukkan bukti. Sayang DPR malah menarik pembahasan RUU tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan menarik sejumlah Rancangan Undang-Undang dari Program Legislasi Nasional Tahun 2020, termasuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal ini dinilai meresahkan karena dapat menghambat proses keadilan dan perlindungan bagi para korban kekerasan seksual.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan RUU usulan DPR yang dibahas sejak 2016. RUU PKS kemudian masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Pada rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR kemarin, Selasa (30/6/2020), 13 RUU diusulkan ditarik dari Prolegnas 2020. Pandemi Covid-19 menjadi alasan DPR menurunkan target penyelesaian RUU dalam Prolegnas 2020. RUU yang ditarik dari Prolegnas 2020 dapat dimasukkan kembali ke Prolegnas 2021.
Wacana penarikan RUU PKS dari Prolegnas 2020 disayangkan sejumlah pihak. Padahal, RUU PKS diyakini dapat memberikan perlindungan terhadap korban, baik dalam pelayanan, pemulihan, maupun memperjelas hukum yang dapat menjerat pelaku kekerasan seksual. RUU PKS juga diyakini dapat memberi keadilan dan meminimalkan budaya menyalahkan korban (victim blaming).
Pengurus Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia, Budi Wahyuni, mengatakan, RUU PKS sangat dibutuhkan karena perlindungan hukum untuk korban kekerasan seksual masih minim. Wacana penarikan RUU itu dari Prolegnas akan semakin menjauhkan keadilan dan perlindungan yang ingin dicapai.
”Wacana ini sangat memprihatinkan. Kami jadi mempertanyakan komitmen wakil rakyat dan kepedulian mereka terhadap para korban kekerasan seksual,” kata Budi saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Kami jadi mempertanyakan komitmen wakil rakyat dan kepedulian mereka terhadap para korban kekerasan seksual.
RUU PKS dinilai sebagai ruang aman bagi korban untuk bicara tanpa tekanan untuk menunjukkan bukti. Dengan sistem peradilan yang ada sekarang, tindak lanjut dari kekerasan seksual sering terkendala oleh bukti, misalnya hasil visum et repertum dan visum psikiatrikum. Hal ini bisa merugikan korban. Sebab, sejumlah kasus tidak dapat dibuktikan dalam bentuk fisik.
Mandeknya pengesahan RUU PKS dinilai akan menutup ruang aman tersebut. Hal itu juga akan menghambat edukasi publik tentang pentingnya melindungi korban kekerasan seksual.
”Selama ini, perempuan kerap diposisikan sebagai penyebab kekerasan seksual. Misalnya, perempuan disalahkan karena dianggap membangkitkan hasrat seksual laki-laki. Hal ini dianggap sebagai ’kelaziman’ dan tidak bisa dibenarkan. Rape culture (budaya perkosaan) dan victim blaming (menyalahkan korban) tidak boleh dilanggengkan karena melanggar hak asasi dan merendahkan martabat korban. Itu sebabnya RUU PKS dibutuhkan,” kata Budi.
Ketinggalan zaman
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengatakan, hukum yang ada sekarang sangat terbatas untuk mendefinisikan kekerasan seksual berserta kriminalisasinya. Yang termasuk dalam kekerasan seksual menurut hukum ialah pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan.
”Definisi kekerasan seksual sangat sempit seperti di abad ke-18. Banyak korban yang tidak mendapatkan keadilan karena hukum yang berlaku belum menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini. Bisa saja pidana untuk pelaku tidak sebanding dengan penderitaan korban,” kata Siti.
Perlindungan hukum terhadap korban pun dinilai tidak progresif dengan perubahan zaman. Siti mencontohkan, selama ini suatu kasus baru bisa disebut pemerkosaan jika ada kekerasan, ancaman kekerasan, serta penetrasi alat kelamin. Di sisi lain, pemerkosaan di masa kini bisa didefinisikan sebagai tindakan yang tidak didasari persetujuan (consent) pihak terkait.
Komnas Perempuan mencatat, ada 46.698 kasus kekerasan seksual sepanjang 2011-2019. Kasus ini terjadi terhadap perempuan, baik di ranah privat maupun publik.
Selama ini, perempuan kerap diposisikan sebagai penyebab kekerasan seksual. Misalnya, perempuan disalahkan karena dianggap membangkitkan hasrat seksual laki-laki. Hal ini dianggap sebagai ’ ’kelaziman’ dan tidak bisa dibenarkan.
Sepanjang 2018 hingga Januari 2020, ada 115 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan. Pelaku kekerasan seksual berasal dari beragam latar belakang, termasuk pejabat publik. Pelaku terbanyak yang dicatat Komnas Perempuan pada periode ini adalah aparatur sipil negara (26 kasus), polisi (20 kasus), guru (16 kasus), dan aparat militer (12 kasus).
”Saya harap DPR melihat perkembangan kasus kekerasan seksual yang terjadi sekarang. Saya juga berharap agar RUU PKS kembali dibahas dengan mengedepankan kepentingan korban,” ucap Siti.
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu mengatakan, RUU PKS sangat penting untuk segera dibahas dan ditetapkan sebagai RUU prioritas 2020. Sebab, penanganan korban kekerasan seksual tergolong kompleks sehingga butuh peran negara.
”Jika negara menyerah karena kesulitan itu, korban akan menjadi korban untuk kesekian kali,” kata Erasmus melalui keterangan tertulis.