Modal Sosial KPK Semakin Tergerus
Jajak pendapat ”Kompas” menunjukkan, 56,9 persen responden tak puas pada kinerja KPK mencegah dan memberantas korupsi. Sinyal ini dinilai perlu menjadi bahan refleksi KPK untuk terus berbenah.
JAKARTA, KOMPAS - Kepercayaan publik yang menjadi salah satu modal sosial Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memotori pemberantasan korupsi di Indonesia semakin tergerus. Apabila penyebab penurunan tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin KPK akan kehilangan relevansi dan legitimasi di masyarakat.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020 terhadap 591 responden di 33 provinsi mengindikasikan adanya penurunan tingkat keyakinan dan persepsi positif responden terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kendati begitu, KPK masih dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang paling dipercaya responden (53,3 persen).
Sebanyak 54,9 persen responden yakin pemberantasan korupsi oleh KPK akan lebih baik, sedangkan responden yang menjawab tidak yakin 41,6 persen dan sisanya tidak tahu. Hal ini memburuk dibandingkan jajak pendapat Kompas pada Januari 2020, yakni 76,8 persen menjawab yakin dan 19,8 persen tidak yakin. Dari sisi tingkat kepuasan terhadap kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, 56,9 persen responden menyatakan tidak puas. Persentase ini lebih buruk dibandingkan jajak pendapat sebelumnya, 35,9 persen.
Dari sisi tingkat kepuasan terhadap kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi, 56,9 persen responden menyatakan tidak puas. Persentase ini lebih buruk dibandingkan jajak pendapat sebelumnya, 35,9 persen.
Selain itu, citra KPK juga memburuk. Hasil jajak pendapat Juni 202 menunjukkan, 44,6 persen responden menjawab citra KPK baik. Sementara pada jajak pendapat Januari 2020 terdapat 64,2 persen responden yang menjawab baik. Persepsi masyarakat terkait citra KPK tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapatsecara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020. Pada Mei 2017, sebanyak 82,8 persen responden menjawab citra KPK baik.
Baca juga: KPK Tetap Menjadi Harapan Pemberantasan Korupsi
”Jika kepercayaan publik terus menurun, pada muaranya KPK akan kehilangan relevansinya dan kehilangan legitimasi di hadapan publik,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/6/2020).
Sigit menuturkan, penurunan kepercayaan publik kepada KPK dipicu oleh beberapa hal. Menurut dia, kinerja KPK belakangan ini dalam memberantas korupsi tidak lebih baik jika dibandingkan kinerja KPK pada tahun-tahun sebelumnya. Dia mencontohkan, beberapa buronan juga belum tertangkap meskipun pada 2 Juni 2020 KPK berhasil menangkap bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Selain itu, dia juga menilai, kepercayaan publik yang turun ini juga dipengaruhi oleh semakin ragunya masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam mendukung pemberantasan korupsi. Menurut Sigit, sejumlah pendapat muncul bahwa perangkat legislasi (Undang-Undang KPK yang baru), struktur kelembagaan (tata kelola KPK), dan komitmen politik (dukungan pemerintah) untuk memberantas korupsi tidak cukup meyakinkan.
Proses penegakan hukum terkait kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik senior KPK, Novel Baswedan, ujarnya, juga ikut berkontribusi dalam membentuk persepsi masyarakat. ”Kehadiran negara untuk memastikan tegaknya keadilan dalam kasus (Novel Baswedan) ini menimbulkan pertanyaan bagi banyak pihak. Banyak yang menilai, pengungkap kasus menghadapi kendala yang bersifat yuridis (teknis prosedural) maupun politis,” kata Sigit.
Regulasi
Manajer Departemen Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, tesis pembentuk UU yang mengatakan KPK akan makin kuat dengan hadirnya regulasi baru, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, sebagai perubahan kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak terbukti. Hal ini, lanjutnya, terlihat dari pendapat publik yang tecermin dalam jajak pendapat Litbang Kompas, Juni 2020.
”Rendahnya kepercayaan publik terhadap KPK menunjukkan, tesis pembentuk UU bahwa KPK akan lebih kuat di bawah eksekutif dan pilihan pimpinan dengan latar belakang penegak hukum tidak terbukti. Karena publik meyakini kekuatan KPK bukan pada profesi atau latar belakang pimpinannya, tetapi bagaimana independensi dan sepak terjang lembaga itu dalam memberantas korupsi,” kata Wawan.
Kinerja KPK yang tak menonjol, menurut dia, menjadi salah satu faktor kenapa publik tidak puas pada kerja KPK. Dalam enam bulan pertama masa jabatan pimpinan KPK periode 2019-2023, terjadi tiga kali operasi tangkap tangan. Satu di antaranya dilimpahkan ke kepolisian. Sebagai pembanding, KPK periode 2015-2019 melakukan 87 tangkap tangan atau berkisar 21-22 kali per tahun. Melihat hal itu, katanya, wajar apabila masyarakat jadi tidak yakin kepada KPK.
Masih adanya keyakinan terhadap KPK, walau cenderung turun, seharusnya menjadi modal bagi KPK untuk memperbaiki diri
”Masih adanya keyakinan terhadap KPK, walau cenderung turun, seharusnya menjadi modal bagi KPK untuk memperbaiki diri,” ucapnya.
Memperbaiki diri
Persepsi masyarakat yang cenderung memburuk terhadap KPK terjadi pada saat pekerjaan rumah untuk memberantas korupsi masih jauh dari selesai. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2019 untuk Indonesia masih 40 dari skor maksimal 100. Semakin tinggi nilai semakin dipersepsikan sebuah negara bebas dari korupsi. Indonesia berada di peringkat ke-85. Capaian ini sedikit membaik dari tahun sebelumnya, yakni skor 38 dengan peringkat ke-89 dari total 180 negara yang dikaji (Kompas, 24/1).
Selain itu, Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS) juga masih memberi sinyal mengkhawatirkan terkait korupsi kecil-kecilan (petty corruption). Nilai IPAK 2020 mencapai 3,84 dari skala 5 (semakin besar skor, masyarakat semakin cenderung antikorupsi). Ada kenaikan skor 0,14 poin dibandingkan tahun 2019.
Meskipun skor IPAK naik, persepsi masyarakat terhadap korupsi di lingkup publik masih perlu diperbaiki. BPS menyampaikan, dari dimensi persepsi, ada tren masyarakat makin permisif terhadap korupsi, yakni terjadi penurunan skor pada dimensi ini, dari 3,80 pada tahun 2019 jadi 3,68 di tahun 2020. Namun, dari dimensi pengalaman ada peningkatan skor, yaitu dari 3,65 menjadi 3,91 (Kompas.id, 15/6/2020).
Di tengah kondisi tersebut, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril mengatakan, hasil survei Litbang Kompas ini bisa menjadi masukan berharga bagi KPK untuk memperbaiki diri.
“Rendahnya kepercayaan publik mengakibatkan kredibilitas upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK terkikis. Padahal, selama ini KPK bertahan karena adanya dukungan publik,” katanya.
Terkait hal itu, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, hasil jajak pendapat Kompas tersebut akan menjadi penyemangat kerja KPK ke depan. KPK memiliki strategi Arah Kebijakan Umum 2020 yang saat ini sudah disusun. Strategi tersebut, yakni optimalisasi pengembalian kerugian negara dari hasil korupsi, optimalisasi pencegahan korupsi yang efektif dan penguatan pemantauan.
“KPK akan berupaya melakukan kerja yang terbaik,” kata Ali Fikri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, pimpinan KPK menghadapi tantangan berat untuk mengubah rasa pesimistis publik terhadap KPK. Dengan segala kelemahan yang ada, KPK harus mampu membuktikan diri masih tangguh. Peristiwa penangkapan Nurhadi seharusnya bisa menunjukkan kekuatan KPK. Sayangnya, komunikasi ke masyarakat yang dilakukan KPK tak maksimal untuk memperlihatkan kinerja tersebut.
Sosialisasi pencegahan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji saat dihubungi mengungkapkan, penurunan keyakinan masyarakat terhadap KPK tersebut terjadi kemungkinan karena hal itu berbasis pada dimensi penindakan, yakni selalu berharap adanya tangkap tangan dari KPK.
Indriyanto meyakini, penurunan dari sisi dimensi penindakan ini tidak akan membuat tingkat kepercayaan publik kepada KPK semakin tergerus. Sebab, dimensi pencegahan menunjukkan penegakan hukum yang lebih baik.
Oleh karena itu, KPK sebaiknya lebih aktif melakukan sosialisasi pencegahan pemberantasan korupsi. Mereka dapat lebih aktif meningkatkan edukasi atau publikasi secara masif dalam pencegahan pemberantasan korupsi.
“Dengan pola ini setidaknya dapat memperjelas pemahaman publik bahwa pencegahan adalah basis dan kunci utama bagi pemberantasan korupsi,” kata Indriyanto.