Novel Baswedan: Kalau Hukum Rusak, Sulit Kita Bercita-cita Menjadi Negara Maju
Meski telah memaafkan pelaku, Novel Baswedan akan terus melawan agar pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya diproses hukum secara adil dan fair. Hal itu dilakukan demi tujuan besar, yaitu keadilan dan kemanusiaan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan menegaskan akan terus memperjuangkan penegakan hukum atas kasus yang menimpa dirinya demi kepentingan bangsa. Ia ingin penegakan hukum di Indonesia diperbaiki agar dapat menjadi negara yang maju.
Pernyataan tersebut diungkapkan Novel dalam acara bincang-bincang secara daring bersama Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Minggu (14/6/2020) malam. Dalam acara bertajuk ”Sebuah Novel Tanpa Judul” tersebut, Novel mengungkapkan bahwa dirinya berani melawan karena bukan untuk kepentingannya sendiri.
”Orang itu mau dihukum 100 tahun pun saya tidak untung. Orang itu dibiarkan saja, saya tidak rugi. Namun, ini adalah kepentingan kemanusiaan. Ini kepentingan keadilan. Ini kepentingan masyarakat luas. Kalau itu dibiarkan, rusak hukum kita. Rusak semua perspektif dan ini yang menjadi perjuangannya,” kata Novel.
Orang itu mau dihukum 100 tahun pun saya tidak untung. Orang itu dibiarkan saja, saya tidak rugi. Namun, ini adalah kepentingan kemanusiaan. Ini kepentingan keadilan. Ini kepentingan masyarakat luas. (Novel Baswedan)
Dua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel pada 11 April 2017 itu telah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dua pelaku tersebut, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, merupakan anggota Polri. Selain dua pelaku lapangan, hingga sekarang auktor intelektualis dalam kasus tersebut belum juga ditangkap.
Kasus ini semakin memanas ketika jaksa penuntut umum, Kamis (11/6/2020), hanya menuntut dua terdakwa dengan pidana 1 tahun penjara. Salah satu alasannya, pelaku tak sengaja menyiramkan air keras ke arah kepala Novel sehingga menyebabkan mata penyidik senior KPK tersebut cacat. Pelaku, menurut jaksa, sebenarnya hendak menyiramkan air keras ke badan Novel.
Novel mengungkapkan, dirinya telah memaafkan siapa pun pelaku yang menyerangnya. Namun, ia harus melawan ketika ada kejanggalan dan ketidakjujuran dalam proses hukum yang dijalankan.
Masalah hukum itu masalah yang mendasar. Kalau hukum rusak, jauh dari keadilan, (maka) sulit kita berharap kita bercita-cita menjadi negara maju, apalagi negara yang makmur. (Novel Baswedan)
Ia merasa mempunyai kewajiban untuk menentang setiap hal yang tidak benar, termasuk ketika para jaksa hanya menuntut 1 tahun penjara kepada para pelaku penyiraman air keras dengan alasan karena faktor ketidaksengajaan.
Novel membawa masalah tersebut ke publik melalui media sosial dan media massa agar Presiden Joko Widodo ikut bertanggung jawab menghentikan ketidakbenaran tersebut dan meluruskan persoalan ini.
”Masalah hukum itu masalah yang mendasar. Kalau hukum rusak, jauh dari keadilan, (maka) sulit kita berharap kita bercita-cita menjadi negara maju, apalagi negara yang makmur,” ujar Novel.
Ia mengingatkan, agar Indonesia menjadi negara yang maju, makmur, dan hebat, penegakan hukum harus diperbaiki. Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu dan harus dilakukan sebaik-baiknya. Jika hukum masih bisa diakali, akan berpengaruh ke bidang lain, salah satunya ekonomi.
Novel menegaskan akan selalu berjuang menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia meskipun banyak yang menghinanya. Novel tidak peduli dengan cacian terhadap dirinya karena hal tersebut sama pentingnya dengan memberantas korupsi
Wakil Ketua KPK tahun 2015-2019 Laode M Syarif dalam diskusi secara daring Ikatan Keluarga Alumni Universitas Hasanuddin wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (IKA UH Jabodetabek) mengungkapkan, dirinya melihat langsung kondisi Novel Baswedan yang berakibat cacat permanen.
Menurut Laode, untuk merumuskan tuntutan yang memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan dalam kasus yang menimpa Novel tidak sulit.
”Bukan hal sulit untuk merumuskan suatu tuntutan yang memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan. Akibatnya jelas, niatnya juga untuk membuat seseorang menderita,” kata Laode dalam rilis media.
Ketua IKA UH Jabodetabek Muhammad Ismak melihat sejak awal cukup banyak kejanggalan dalam kasus ini. Ia pun mendorong adanya penegakan hukum yang adil untuk masyarakat.
Ismak tidak ingin masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Keadilan adalah jaminan hidup masyarakat. Ketidakadilan akan meruntuhkan tatanan masyarakat.
Keadilan adalah jaminan hidup masyarakat. Ketidakadilan akan meruntuhkan tatanan masyarakat.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengungkapkan, tuntutan dari JPU minus kepentingan keadilan bagi korban. Menurut Julius, tidak terlihat fakta dan bukti signifikan yang merepresentasikan keadilan bagi korban.
”Dampak kebutaan, pengobatan tahunan, dan tidak dapat berkegiatan secara normal seolah tidak dipertimbangkan sebagai indikator dalam menentukan tuntutan,” kata Julius.