Proses Asimilasi Narapidana Bisa Dicabut jika Kembali Melanggar Hukum
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memastikan narapidana kategori tindak pidana umum dan tak melakukan kejahatan luar biasa yang jalani asimilasi tak hanya diawasi, tetapi juga dicabut lagi jika melanggar hukum.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memastikan narapidana dalam kategori tindak pidana umum dan tidak melakukan kejahatan luar biasa yang menjalani asimilasi tidak hanya akan diawasi secara ketat oleh balai pemasyarakatan, tetapi juga akan dicabut hak asimilasinya jika terbukti melakukan kembali pelanggaran hukum.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Nugroho, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (5/4/2020), mengatakan, pihaknya juga bisa mencabut hak asimilasi narapidana jika mereka didapati melanggar hukum. Pelanggaran hukum itu, misalnya, napi sulit dihubungi atau meresahkan warga sekitar. Oleh karena itu, laporan pelanggaran dari narapidana bisa berasal dari ketua rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW), lurah, atau kepolisian setempat.
”Kalau ditemui pelanggaran, asimilasi bisa dicabut sementara oleh bapas (balai pemasyarakatan). Pencabutan tetap oleh kepala lembaga pemasyarakatan (kalapas) atau kepala rumah tahanan (karutan). Setelah dicabut, kami akan berkoordinasi dengan polisi untuk menangkap napi itu kembali,” ujar Nugroho.
”Bapas semaksimal mungkin menggunakan media daring untuk mengawasi mereka semuanya. Kondisi mereka akan selalu dicek dan masalah apa yang dialami oleh mereka ketika bermasyarakat.”
Menurut Nugroho, narapidana yang menjalani asimilasi akan dibimbing dan diawasi secara ketat oleh pembimbing dari bapas. Seminggu sekali, narapidana harus melaporkan keberadaannya kepada pembimbing bapas. Pelaporan mencakup kondisi kesehatan serta hubungan sosial mereka dengan keluarga dan masyarakat setempat. Di tengah pandemi Covid-19, pembimbingan dan pengawasaan tidak dilakukan secara fisik, tetapi melalui media dalam jaringan, seperti panggilan video, telepon, atau melalui pesan singkat.
”Bapas semaksimal mungkin menggunakan media daring untuk mengawasi mereka semuanya. Kondisi mereka akan selalu dicek dan masalah apa yang dialami oleh mereka ketika bermasyarakat,” kata Nugroho.
Sebelumnya, program asimilasi untuk narapidana dewasa dan anak didasarkan pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun 2020 serta Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020. Program asimilasi tersebut dikecualikan terhadap narapidana yang melakukan kejahatan luar biasa, seperti narkoba, korupsi, dan terorisme seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, meskipun sejumlah anggota DPR mendesak pemerintah.
Hingga hari ini, berdasarkan catatan Kemenkumham, total narapidana yang telah menjalani program asimilasi di sejumlah lembaga pemasyarakatan mencapai 31.786 orang.
Butuh pengawasan ketat
Peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, mengingatkan, agar bapas tidak boleh lengah mengawasi narapidana di tengah pandemi
Covid-19. Informasi pelanggaran hukum yang dilakukan kembali di tengah masyarakat harus disikapi dengan tegas. Koordinasi pengawasan juga bisa ditingkatkan bersama kejaksaan.
”Sesekali dibutuhkan visitasi napi secara acak di rumah untuk memastikan bahwa dia ada di rumah dan tidak ke mana-mana, serta diawasi oleh keluarga. Jadi, kalau dia tidak ada di rumah dengan alasan yang tidak bisa diterima, itu pelanggaran berat dan bisa dikembalikan ke lapas,” kata Gatot.
”Sesekali dibutuhkan visitasi napi secara acak di rumah untuk memastikan bahwa dia ada di rumah, dan tidak ke mana-mana, serta diawasi oleh keluarga. Jadi, kalau dia tidak ada di rumah dengan alasan yang tidak bisa diterima, itu pelanggaran berat dan bisa dikembalikan ke lapas.”
Dalam pembebasan narapidana itu, Gatot mengingatkan kembali agar Kemenkumham tegas dan konsisten mengikuti Peraturan Menkumham Nomor 19 Tahun 2020 serta Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020.
”Yang dibebaskan itu dikecualikan dari yang tersangkut PP No 99/2012. Konsisten di situ saja. Tidak perlu lagi terjebak di konteks politik. Wacana itu, kan, muncul karena ada rapat kerja, ada perbincangan politik sehingga terseret di situ. Tegas saja pada aturan, hukum, serta untuk kepentingan kemanusiaan dan keadilan,” kata Gatot.
Terkait dengan pengurangan kepadatan di lapas, Gatot menyarankan, jika pemerintah masih ingin mengurangi kepadatan di lapas, Kemenkumham bisa mengajukan nama narapidana bebas untuk diproses terlebih dahulu lewat penerimaan grasi.