Tantowi Yahya, Si Bocah ”Country” Melihat ke Belakang
Tantowi Yahya mempersembahkan konser ”The Journey of My Life”. Jiwa ”country” masih membara dalam dirinya.
Tantowi Yahya adalah pembawa acara, politisi, musisi, dan mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru. Meski beberapa tahun terakhir namanya lebih beken sebagai politisi, ia tetaplah seorang bocah yang mencintai musik country. Dalam konser ”The Journey of My Life” di Jakarta, Sabtu (4/5/2024), Tantowi menunjukkan bagaimana musik setia memengaruhi dan mengiringi perjalanan hidupnya.
Dari sisi kiri panggung di Ballroom Djakarta Theater XXI, Tantowi melangkah ke tengah panggung sambil menyanyikan ”Islands in the Stream” (1983) oleh Kenny Rogers dan Dolly Parton. Didampingi Thomshell Band, wajah Tantowi semringah menyambut ratusan penonton yang sudah hadir sejak pukul 19.00.
Malam itu, Tantowi membawakan total 32 lagu berbagai genre, mulai dari country, pop, rock, disco, hingga opera. Dengan suara khas yang nyaring tetapi sentimental, Tantowi tetap membawa jiwa country di setiap lagu. Sesekali dia meluangkan waktu untuk bercerita dengan penonton.
”Saya senang sekali konser ini sold out. Bukan karena saya bagus, melainkan karena saya banyak teman dan yang beli tiket konser ini teman saya semua. Enaknya konser di depan teman, bagus dan nggak bagus, saya tetap dapat tepuk tangan,” kata Tantowi sambil nyengir.
Tantowi melanjutkan pertunjukan dengan menyanyikan lagu ”I Am... I Said” (1971) dari Neil Diamond. Menurut dia, lagu ini mewakili perjalanan hidupnya.
Tantowi lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 63 tahun silam. Dia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya mantan olahragawan, lalu beralih kiai dan anggota Partai Persatuan Pembangunan yang sangat membenci Partai Golkar. Siapa sangka, Tantowi kemudian menjadi anggota penting di Partai Golkar.
Baca juga: Tantowi Yahya Bahagia Tinggal di Bali
Sementara itu, ibu Tantowi adalah sosok yang selalu mendukung karier ayahnya sama seperti yang dilakukan istrinya, Dewi Handayani. Setelah tumbuh di Palembang, Tantowi menuntut ilmu di Yogyakarta dan Bandung, Jawa Barat. Ia kemudian bekerja di Jakarta dan pernah tinggal di Selandia Baru sebagai duta besar. Usai menjalankan tugasnya di ”Negara Kiwi” itu, Tantowi kini menghabiskan waktu di Bali.
Konser Tantowi menyertakan penghormatan ke musisi-musisi Indonesia yang menginspirasinya. Bersama sejumlah bintang tamu, dia menampilkan lagu ”Nona Anna” dari Ade Manuhutu, ”Jatuh Cinta” (1990) dari Eddy Silitonga, ”Lidah Tak bertulang” dari Bob Tutupoly, ”Bimbi” (1978) dari The Rollies, dan ”Karmila” dari Farid Hardja.
”Lagu-lagu ini menempel di saya, sering saya nyanyikan ketika saya masih kecil. Semuanya sudah almarhum, tetapi lagu-lagu ini untuk mengenang sekaligus ucapan hormat dan salut kepada mereka,” tutur Tantowi.
Selain musik country, Tantowi juga mempersembahkan dua lagu versi opera bersama Andrea Miranda, yakni ”Don't Cry for Me Argentina” (1976) oleh Julie Covington dan ”All I Ask of You” (1986) dari musikal The Phantom of the Opera. ”Saya benar-benar mencintai musik. Kalau 24 jam dalam hidup saya, mungkin 20 jam saya mendengarkan musik dan 4 jam untuk tidur. Semua jenis musik saya dengarkan,” katanya.
Saya benar-benar mencintai musik. Kalau 24 jam dalam hidup saya, mungkin 20 jam saya mendengarkan musik dan 4 jam untuk tidur. Semua jenis musik saya dengarkan.
Konser Tantowi Yahya makin meriah berkat kehadiran bintang tamu lainnya, seperti saat Lilo KLa menyanyikan ”To Love Somebody” (1967) dari Bee Gees. Duo Fauzi Fauzan ikut meramaikan suasana dengan menyanyikan ”Devoted to You” (1958), ”All I Have to Do Is Dream” (1958), dan ”Let It Be Me” (1955) dari The Everly Brothers.
Tantowi juga menampilkan medley empat lagu countrydan beberapa lagu country lainnya, termasuk duet ”Making Believe” (1955) d bersama Ikke Nurjanah. Setelah itu, ia mengajak penonton berdansa saat Johan Untung melantunkan lagu-lagu film Saturday Night Fever (1977).
Sebetulnya, suasana konser pada malam itu lebih terasa seperti acara temu kangen. Namanya juga mantan pembawa acara ”Who Wants to Be a Millionaire?”, sesekali Tantowi mengeluarkan guyonan dan ledekan yang mengocok perut. Dia mengancam akan menaikkan harga konser empat kali lipat untuk melihat siapa yang masih mau membeli tiket konsernya. Jika masih dibeli, Tantowi akan percaya orang itu adalah sahabat sejatinya.
Pada momen lainnya, Tantowi menyapa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang terlambat hadir karena harus menghadiri acara kondangan terlebih dulu. ”Mohon maaf (sesi) makan malamnya sudah lewat. Bisa dibungkus,” ujar Tantowi diiringi tawa penonton.
Royalti musik
Bukan gaya Tantowi jika konsernya sekadar menjadi potret napak tilas hidupnya. Jiwa diplomat dalam dirinya masih bergelora.
Dalam konser tersebut, sejumlah pejabat hadir. Sebutlah Sandiaga Uno, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Beberapa pengusaha, politisi, penyanyi, dan artis ikut datang, antara lain Vina Panduwinata, Widyawati, Agum Gumelar, Benny Suherman, dan adik Tantowi, Helmy Yahya.
Usai menyenandungkan ”Karmila”, Tantowi turun panggung untuk menghampiri musikus Candra Darusman. Dia memberikan Candra waktu untuk bicara soal royalti dan hak cipta musik. Candra dulu bekerja di World Intellectual Property Organization (WIPO).
”Copyright dan intellectual property itu penting untuk kemajuan negara. Untuk Indonesia, sejak awal tahun 1990-an, performing rights lagu-lagu di radio, televisi, tempat hiburan itu dibayar ke pencipta lagu melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Masih ada tantangan soal kepercayaan dan transparansi, tetapi saya sebagai pengawas sistem ini meyakinkan royalti itu sampai ke pencipta lagu,” kata Candra.
Tantowi melanjutkan ”lobi” halus itu dengan menyentil kisah Morris Albert, musisi Brasil, yang kaya berkat royalti lagu ”Feelings” (1974). Selepas itu, Tantowi menyanyikan ”Janji Suci” diiringi permainan kibor Yovie Widianto.
Usai penampilan tersebut, Yovie ikut nimbrung tentang royalti. Pada 2020, Yovie mendapat penghargaan komposer terbaik di Mnet Asian Music Awards di Korea Selatan.
”Semenjak itu, streaming lagu-lagu saya terus naik dan sampai hari ini lebih dari 2 miliar streaming di seluruh dunia. Jadi, kita harus percaya diri bahwa bangsa Indonesia punya bakat, yang penting kita harus punya blueprint dan grand design yang jelas untuk industri kreatif,” tutur Yovie sebelum meninggalkan panggung.
Diplomasi musik
Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, Kevin Burnett, turut menghadiri konser tersebut. Diplomasi Tantowi berlanjut ketika membawakan lagu-lagu yang digemari di Selandia Baru, seperti ”Ten Guitars” (1966) oleh Engelbert Humperdinck.
Dalam sesi lainnya, Tantowi membawakan lagu ”Mimpi Sedih” bersama penyanyi Ambon, Mark Pattie. Tantowi menyanyikan lirik bahasa Indonesia, sedangkan Mark menyanyikan bahasa Maori.
Baca juga: Selebrasi 33 Tahun Karier Kris Dayanti
Lagu ”Mimpi Sedih” merupakan karya A Riyanto yang populer di era 1970-an. Penyanyi Emilia Contessa, Tetty Kadi, Broery Marantika, dan Rio Febrian pernah menyanyikan lagu ini. Tantowi sempat kaget mendapati lagu sentimental ini terkenal di Selandia Baru dan negara-negara Asia Pasifik dalam bahasa setempat, seperti Samoa, Fiji, dan Kepulauan Cook.
Menurut Tantowi, rupanya dulu penyanyi legendaris Selandia baru bernama Prince Tui Teka pergi ke Singapura. Teka jatuh cinta pada lagu ini. Teka lalu menggubah ”E Ipo” (1982) yang populer berdasarkan melodi ”Mimpi Sedih”.
”Lagu ini menjadi senjata diplomasi saya. Ketika tampil di publik Selandia Baru dan negara Pasifik, saya selalu membawakan lagu ini. Pertama saya menyanyikan dalam bahasa setempat lalu saya sambung dalam bahasa Indonesia,” tutur Tantowi.
Lagu ”Mimpi Sedih” menjadi senjata diplomasi saya.
Tantowi pernah merekam lagu itu bersama Shane Reti yang sekarang menjadi Menteri Kesehatan Selandia Baru. Gara-gara lagu ini, Tantowi juga sukses berdiplomasi di negara-negara Asia Pasifik. Hasilnya, Indonesia berhasil menggelar acara Pacific Exposition.
Usai menyanyikan ”Mimpi Sedih” bersama Mark Pattie, Tantowi menghampiri Dubes Kevin Burnett yang masih keturunan Maori sembari berkelakar lagu ini adalah kontribusi Indonesia untuk Selandia Baru. ”Ini adalah lagu yang populer di Selandia Baru. Jadi senang mendengar versi orisinal lagu ini,” ujar Burnett.
Setelah dua jam bersenang-senang, Tantowi dan Thomshell Band mengakhiri konser dengan lagu ”When Will I See You Again” (1974) dari The Three Degrees. Sebuah penutup yang manis. Di akhir lagu, senyum kembali merekah di wajah sang musisi. Tantowi telah membuktikan bahwa siapa pun dan apa pun tidak bisa melunturkan country dalam dirinya.