Pearl Jam masa kini diproduseri penggemar berat yang umurnya separuh dari para personel. Mereka siap tur panjang lagi.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Album studio ke-12, Dark Matter, terasa seperti penuh penerimaan diri bagi personel Pearl Jam, bahwa mereka tak lagi tersulut amarah remaja, tetapi tak melupakan asal-usulnya sebagai band rock. Rasanya mereka tak mau jadi band nostalgia belaka. Kecintaan seorang penggemar berat mengembalikan spontanitas menulis lagu mereka.
Sulit rasanya menulis tentang Pearl Jam tanpa menyandingkan dengan Nirvana, Soundgarden, dan Alice in Chains. Empat nama ini adalah ”duta besar” citra musik rock yang bernuansa lebih suram yang berasal dari Seattle, Washington, Amerika Serikat. Mereka muncul di era yang sama, dari kota yang sama, dan menuai kesuksesan layaknya kerja kolektif.
Itu mungkin sepenggal kisah yang terus-menerus diulang ketika berbicara tentang genre ”grunge”; istilah yang dibuat media massa untuk rombongan alternatif rock asal Seattle ketika itu. Karena bersifat generik, umur genre ini pendek. Kematian Kurt Cobain pada 1994 seperti bendera setengah tiang bagi grunge. Band atau album yang muncul sepeninggal Cobain terasa seperti pengulangan formula dari empat band besar itu.
Tiga dekade kemudian, tinggal dua nama yang tersisa, yakni Pearl Jam dan Alice in Chains. Selama tiga puluhan tahun itu pula, Pearl Jam konsisten mencetak album baru. Lagu-lagu itu biasa diiringi dengan tur dunia yang panjang. Pearl Jam seperti menolak disebut sebagai band nostalgia yang tak perlu menulis lagu baru lagi.
Penggemar masih mendambakan lagu ikonik dibawakan di panggung, seperti ”Alive”, ”Jeremy”, ”Betterman”, ”Do the Evolution”, atau ”Spin the Black Circle” yang pernah menyabet Piala Grammy itu. Tapi, dari tahun ke tahun, nomor klasik itu disandingkan dengan lagu-lagu terkini macam ”1/2 Full”, ”Lightning Bolt”, atau ”Dance of the Clairvoyant” dari album Gigaton keluaran 2020.
Pengalaman menonton Pearl Jam itu, seperti yang tergambar di film dokumenter Pearl Jam: Let’s Play Two (2017), yang selalu menarik penggemarnya datang dan datang lagi. Di film itu dikisahkan penggemar Pearl Jam senantiasa berdatangan dari berbagai belahan dunia. Menonton satu kali tak pernah cukup.
Kondisi itu membuat ikatan Pearl Jam dan penggemarnya erat. Rasanya tak banyak band rock di masa kini yang masih kedatangan penonton dari Argentina meski konsernya di Portugal. Pearl Jam adalah satu di antaranya.
”Kami dan audiens seperti ada ikatan tersendiri, layaknya saudara yang sesekali bertemu,” kata gitaris dan vokalis Eddie Vedder (59) ketika diwawancarai The Ringer. Lagu baru ibarat oleh-oleh dari ”saudara jauh” itu. Maka dari itu, Pearl Jam masih konsisten membuat album.
Album ke-12 itu meluncur 19 April silam menyandang titel Dark Matter. Lagu pertama yang mengudara berjudul sama dengan albumnya. Itu sapaan awal Eddie Vedder dan kawan-kawan kepada penggemarnya.
Lagu itu dibuka dengan gebukan bertubi-tubi dari Matt Cameron (61). Rasanya sudah lama band ini tak membuka lagu dengan permainan drum setelah ”In My Tree”. Lagu dari album No Code keluaran 1996 itu masih diisi permainan drum Jack Irons, personel awal Red Hot Chili Peppers. Tapi tempo ”Dark Matter” lebih menggebu.
Pola drum di intro itu segera ditemani cabikan bas Jeff Ament (60) yang berbalut distorsi. Sontak terasa bunyi di lagu itu terdengar mahal. Terasa betul kematangan racikan bunyi di studio. Bunyi gitar rhythm Stone Gossard (57) dan melodi dari Mike McCready (57) makin menguatkan kesan itu. Separasi antarinstrumen terdengar jelas.
Peran produser
Produksi suara yang rapi itu mengingatkan pada album solo Vedder Earthling (2022). Album itu diproduseri oleh Andrew Watt. Nah, Watt inilah yang menjadi produser album Dark Matter. Dalam beberapa wawancara Watt dipuji-puji personel band sebagai tokoh penting yang merekatkan mereka.
”Dia pekerja cekatan. Jauh lebih muda dari kami. Umurnya 33 tahun. Dia punya telinga yang mengagumkan, dan dia juga bisa main gitar,” puji McCready kepada majalah Goldmine. Watt, kata dia, kadang tegas memerintah. ”Enggak masalah selama dia punya visi yang jelas menyatukan kami sebagai band yang lebih baik,” lanjut McCready.
Kaitan Watt dengan band ini menarik. Dia mengaku sebagai penggemar berat Pearl Jam setelah mendengar album Ten milik abangnya. ”Mungkin ibuku sedang melahirkanku ketika mereka menulis lagu ’Release’,” kata Watt kepada Rolling Stone. Sejak mendengar album Ten itu, sekitar berusia 10 tahun, Watt langsung terobsesi dengan band ini.
”Aku menonton konser mereka mungkin jauh lebih banyak dari siapa pun. Ada sekitar 40 kali lah. Aku punya setiap kaus keluaran mereka. Konser favoritku adalah ketika mereka tampil di Philadelphia di malam Halloween 2009,” katanya.
Umurnya 33 tahun. Dia punya telinga yang mengagumkan, dan dia juga bisa main gitar,
Watt, seperti yang diketahui McCready, sebelumnya adalah produser untuk artis pop seperti Justin Bieber, Selena Gomez, dan 5 Seconds of Summer. Dia mulai masuk di kancah rock pada 2020 ketika Ozzy Osbourne merekrutnya untuk album Ordinary Man. Namanya makin kukuh di kancah rock kawakan dengan menggarap album Iggy Pop Every Loser dan Hackney Diamonds dari Rolling Stones.
Di antara produksi besar itulah, Watt mengerjakan album solo Vedder, idolanya. Dasar hoki, Watt direkrut jadi pengiring band tur Vedder bersama drummer Chad Smith, Glen Hansard, dan Josh Klinghoffer. Kiprah itu membuat McCready menganggukkan kepala untuk Watt sebagai produser baru Pearl Jam. Dan, Watt berhasil ”memaksa” McCready membuat isian melodi di semua lagu.
Tuah sebagai penggemar garis keras berdampak baik juga buat band. Watt seperti sudah tahu bagaimana mengarahkan om-om ini menggarap lagu. Perlu diketahui, semua materi Dark Matter ditulis di studio berbarengan antara band dan produser. Vedder atau Gossard tak membawa materi persiapan layaknya yang mereka lakukan di beberapa album belakangan.
Beberapa lagu beraroma masa lalu. Nomor ”React, Respond” bisa membawa memori penggemar lama pada lagu ”Whipping” dari album Vitalogy (1994). Simak juga ”Upper Hands” yang redup seperti ”Nothing as It Seems” (2000). Ada juga lagu asyik yang melodius seperti ”Wreckage” yang enak buat gitaran layaknya ”Nothingman” (1994).
Kalau boleh membandingkan, ikatan kimiawi band dengan Andrew Watt terasa lebih kuat dibandingkan dengan Josh Evens di album Gigaton. Ah, sudah terbayang menyimak lagu ”Dark Matter” dibawakan di konser. Pada saat Anda membaca tulisan ini, Pearl Jam memulai tur di Amerika Utara. November nanti, mereka melawat ke Australia. Berminat berangkat atau berharap mereka mampir di Indonesia?