Yiruma dan Ingatan yang Dibingkai
Konser pianis Yiruma di JIExpo Convention and Theater ramai penonton. Dia malah tak ingin penonton melihat dirinya.
Pianis dan komposer musik asal Korea Selatan, Yiruma, menuntaskan dua malam pertunjukannya di Jakarta, 26-27 April 2024. Lagu-lagu sendu instrumentalia mengharukan kalbu penggemarnya yang wangi-wangi di gedung JIExpo Convention Center & Theater, Kemayoran. Komposisinya dibuat untuk menikmati ingatan.
Gegap gempita konser yang merupakan bagian dari tur keliling dunia Yiruma ini telah mendengung sejak awal 2024. Karcis mulai dijual pada Maret dengan harga termurah Rp 995.000 dan termahal Rp 2,3 juta. Semuanya ludes terbeli dalam waktu sehari saja.
Menjelang hari pertunjukan masih banyak orang yang mencari karcis lewat media sosial, berharap ada yang batal datang. Calo konvensional juga banyak berkeliaran mencari lebihan karcis di arena pada Jumat (26/4/2024) dan Sabtu sore.
Di hari pertama, penonton mulai berdatangan pada Jumat sore. Pintu gedung utama dibuka pukul 16.00, sementara konser dimulai pukul 19.30. Sembari menunggu, pengunjung bisa membeli kudapan dan minuman. Santapan dari luar tak boleh masuk. Di dalam, air minum dijual dalam kemasan botol kaca.
Gerai pernak-pernik juga dibuka. Manajemen Yiruma menjual merchandise berupa poster, payung, dan buku partitur karya-karya terbaiknya. Buku musik dengan banderol Rp 800.000 itu cukup banyak ditenteng para penggemar. Terasa betul bahwa pengunjung memang penggemar karya musisi berusia 46 tahun ini.
Konser piano ini terkesan santai. Tak ada keharusan berpakaian resmi layaknya resital formal. Tak heran, karya-karya Yiruma sebenarnya memang bernuansa pop, tapi diracik dengan formula klasikal. Dengan paduan ini, Yiruma menuai popularitas. Lagunya kerap dipakai sebagai latar drama televisi Korea Selatan. Nomor ”When the Love Falls” bisa jadi yang paling akrab di telinga penyuka drama Korsel. Lagu ini jadi lagu utama serial Winter Sonata di awal dekade 2000-an.
Meski drama seri itu mengudara pada 2002—di Indonesia ditayangkan SCTV—lagunya panjang umur. Belakangan, lagu itu, dan karya Yiruma lainnya, kerap melatari potongan video bernuansa sendu di media sosial. Maka tak heran, rentang usia penggemar Yiruma relatif lebar.
Begitulah yang terlihat di arena pertunjukan akhir pekan lalu. Tak sedikit pasangan muda yang datang membawa anak kisaran umur tujuh tahun. Kaum remaja juga tak kalah banyaknya. Usia boleh beragam, tapi urusan pakaian sepertinya mereka sepakat untuk berdandan necis nonformal. Tak terlihat penonton yang pakai kaus Metallica lusuh, misalnya. Semuanya well-dressed. Rasanya inilah kerumunan berkelas yang tak bakal mengeluh botol minumnya ditapis petugas keamanan.
Lampu di dalam auditorium meredup beberapa menit sebelum pukul 19.30. Penonton telah duduk di kursi empuk berundak. Melalui pengeras suara, penonton diingatkan untuk tidak merekam pertunjukan dalam bentuk foto ataupun video. Lampu sorot menyinari piano gran bermerek Yamaha.
Sang bintang muncul dari sisi kiri panggung. Dia memakai blazer monokrom yang tak dikancingkan. Rapi tapi kasual. Tepuk tangan mengiringi langkahnya menuju kursi piano. Lembar-lembar partitur dia susun sedemikian rupa. Jemarinya ia renggangkan sejenak. Penonton senyap.
Baca juga: Palme d’Or untuk Studio Ghibli
Tentang kenangan
Nomor pertama ”Berryland Road” dari mini-album Room with A View, yang dirilis di bulan-bulan awal pandemi Covid-19, jadi nomor pembuka. Judul lagu itu diambil dari nama jalan tempat ia tinggal ketika menempuh studi komposisi musik di King’s College, London, Inggris. Yiruma mengabadikan kenangannya melalui lagu itu.
Kenangan serupa terpapar di nomor ”Room with A View” yang dimainkan di paruh kedua konser. Lagu itu ditulis ketika pandemi, tapi inspirasinya berasal dari masa tinggalnya di London. Kepada Udiscovermusic.com, Yiruma, yang bernama lahir Lee Ru-ma, menceritakan, ”Ibuku mengecat kamarku dengan warna kuning. Awalnya aku tidak suka. Tapi, setiap hari, cahaya yang masuk terlihat lebih terang, di antara sendunya cuaca London. Itu memberiku perasaan hangat.” Tak heran, musiknya memang sendu, tapi menyiratkan kebahagiaan.
Penonton terhanyut dengan nomor-nomor yang dimainkan, seperti ”Stay in Memory”, ”Maybe”, dan ”Passing By”. Lagu yang disebut terakhir ini, kata Yiruma, bercerita tentang penyesalan. ”Tapi aku tetap menulis lagu lagi, jadinya agak sedih,” ucapnya. Yiruma bercerita tentang lagu-lagunya di antara jeda dua-tiga lagu.
Penuturan itu dia sampaikan sangat santai, cenderung komedi. Misalnya, setelah memainkan dua nomor awal, Yiruma memberi tips bagaimana menikmati lagunya. ”Sematkan ingatanmu pada lagu yang kumainkan, ingatan baik ataupun yang tidak. Dengan begitu, lagu itu jadi melekat dengan memorimu,” ujarnya. Begitulah cara Yiruma menyarankan membingkai ingatan dan kenangan.
Ini makin mewujud dalam nomor ”Framed”. Sorot lampu dari atas membentuk persegi yang mengitari sang pianis dengan pianonya. Lampu panggung temaram. Untaian nada yang relatif sederhana itu membuai penonton, mengembara dengan kenangannya masing-masing. Lagu berujung kresendo, dan usai tiba-tiba. Sedikit mengejutkan. Ini menjadi pemungkas sesi pertama.
Baca juga: Remaja Masjid, Gaul dengan Jazz
Musik tanpa lirik itu tak dibiarkan mengambang begitu saja. Yiruma kerap bercerita tentang latar lagunya di sela jeda dua-tiga lagu. Cerita itu sesekali dibumbui komedi. Misalnya ketika lagu ”Blind Film” usai. ”Lagu itu kutulis setelah menonton film dengan mata terpejam. Imajinasi yang muncul menjadi inspirasi. Nah, saranku, begitulah kalian menikmati konser ini. Kalian tak perlu melihat aku, pria kurus berusia 46 tahun ini, ha-ha-ha,” begitu katanya, yang memantik tawa.
Melankoli dan tawa berkelindan di konser yang berlangsung hampir dua jam itu. Tak kurang dari 20 nomor dia bawakan, termasuk dua kali encore. Lagu di salah satu encore itu adalah ”Mantan Terindah” ciptaan Yovie Widianto. Penonton menggumamkan liriknya. Seusai lagu itu, dia pamit, tapi tak lama. Nomor ”Somewhere Over the Rainbow” dipiih jadi penutup dan digumamkan penonton saat meninggalkan amfiteater.